Mind Blown

138 21 0
                                    

Kurasakan perut kanan ku yang sakit saat kesadaranku kembali. Mataku kubuka perlahan dan pandanganku masih kabur. Kepalaku pusing sekali. Aku pasti ada dirumah sakit.

"Hey." Ternyata ada Barry yang duduk disamping kasurku dan sepertinya dia baru bangun.

Aku menyunggingkan sedikit senyuman dibibirku.

"Kau tidak usah banyak bergerak dulu, oke?" Ucapnya saat aku mencoba untuk duduk dan aku mengeluh sakit di perutku.

Perutku diperban dan Barry bilang memar.

"Kenapa kau berjalan menuju mobil yang kencang itu?"

"Untuk mendapatkan perhatianmu. Karena kau tidak membalas seluruh pesanku. Dan aku mendapatkannya sekarang," jawabku lirih. Kubiarkan air mataku mengalir.

"I'm sorry Saara. I didn't kn-"

"You don't need to say sorry. I should say thanks to you because ... you came here." Kugenggam tangannya erat. "Please stay."

Barry megangguk dan mencium punggung tanganku. Kupejamkan mataku sejenak karena kepalaku masih pusing.

-

Mataku kembali terbuka dan kali ini kepalaku sudah tidak pusing lagi. Namun tidak ada Barry lagi disampingku.

"Barry? Bar?" Suaraku sedikit ku besarkan agar siapa saja bisa mendengar.

Pintu kamar ini dibuka dan masuklah Justin. Dia membawa sebuket mawar merah ditangan kanannya. Persis seperti waktu dulu aku dirawat dirumah sakit karena insiden itu.

Tapi kali ini aku tidak marah, melainkan sangat senang. Tidak sepenuhnya senang karena yang kubutuhkan disini adalah Barry.

"Hey beautiful." Dia menaruh bunga itu dimeja dan menghampiriku lalu mencium ujung keningku.

Dia duduk di kursi samping kasur.

"Why you put yourself in danger? Aku dengar kau tertabrak mobil yang melaju kencang."

Aku bingung ingin bercerita padanya atau tidak.

"Aku tidak melihat mobil itu. Ya aku memang sangat ceroboh." Dia menggenggam tangan kananku erat.

"Ini seperti masa lalu saja. Aku terbaring dan kau menjengukku. Tapi beda cerita." Justin hanya tertunduk diam.

"Kau tahu dari mana kalau aku dirumah sakit?"

Aku penasaran sekali siapa yang memberitahunya. Akupun tidak tahu siapa yang membawaku kesini. Yang pasti ambulan.

"Uh ... Barry called me. Using your phone." Barry? Berarti dia yang membawaku kesini? Dia tahu aku datang kesana dan ... dia pasti melihat aku berjalan menuju mobil itu.

"You want me to call him? I can do that for you." Justin mengeluarkan handphonenya dan kucegah dia sebelum dia menelpon Barry.

"Tidak. Kau tidak perlu meneleponnya." Kuhapus air mata yang meluncur cepat di pipiku. Aku tidak ingin ketahuan Justin.

Ini benar-benar sangat aneh. Padahal Barry berjanji akan disini menemaniku. Tapi dia malah pergi dan membiarkan Justin disini bersamaku.

Aku tahu dia paling tidak suka kalau aku dekat dengan Justin. Atau setidaknya, dia ada disisiku kalau sudah ada Justin. Tapi ini tidak. Perasaanku berubah menjadi tidak enak.

Apa jangan-jangan dia sudah tidak ada rasa lagi denganku?

"Bar? Earth to Bara." Suara Justin membuyarkan lamunanku.

"Ah maafkan aku. Aku sedang memikirkan sesuatu." Jangan sampai Justin tau kalau aku dan Barry sedang bermasalah.

"Kalau kau punya masalah, kau bisa bercerita padaku. Oke?"

I am Your Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang