Heal the Feeling

143 19 0
                                    

Seminggu sudah semenjak aku masuk rumah sakit. Aku sudah menjalani hariku seperti biasa.

Tapi, kekosongan masih berada didalam hatiku. Semenjak hari itu, dia tidak meneleponku lagi. Bahkan, handphoneku masih berada pada dirinya.

Aku tidak peduli sekalipun handphoneku rusak atau hilang. Yang aku pedulikan disini yaitu perhatian Barry seorang.

Walaupun hadirnya Justin mengisi kekosongan hatiku, tetap saja hatiku tidak terisi sepenuhnya.

"Dia bilang padaku kalau dia ingin bertemu denganmu," kata Justin setelah dia mematikan panggilan dari Julia.

Aku langsung masuk kamar untuk bersiap-siap. Untuk kalian tahu, setelah aku keluar dari rumah sakit, Justin setia menemaniku selama 2 hari ini. Dia bahkan menginap di apartemenku. Aku dan Barry.

Seperti ada yang aneh. Tidak ada kompetisi diantata mereka. Seolah-olah Barry menyerah dan membiarkan Justin menang. Mungkin.

Tapi mungkin inilah yang terjadi. Yang mungkin dulunya aku inginkan hal ini, sekarang aku merasa menyesal pernah berharap seperti itu.

"You ready?" Justin sudah berdiri di depan pintu menungguku yang melamun.

"Sure." Aku berdiri dan berjalan keluar kamar diikuti olehnya.

-

"I'll be waiting in the car." Aku hanya tersenyum dan keluar mobil untuk bertemu dengan sahabatku.

Aku masuk kedalam restoran dan mencari dimana Julia. Ah itu dia. Aku menghampirinya.

"Hi Ms. Allen." Kupeluk dia erat. Aku sampai ingin menangis dipelukannya. Namun kuurungkan niatku dan tersenyum selebar mungkin.

"Aku sudah sangat rindu padamu."

"Aku juga. Maafkan aku atas kejadian itu. Aku tidak bisa datang karena aku harus terbang ke Milan."

"Tidak apa-apa. Kita bertemu disini saja aku sudah senang."

Julia lalu mengambil sesuatu dari tasnya. "Ini."

Dia memberikan handphoneku.

"Dari Barry." Aku mengambil handphone tersebut dan aku tekan tombol kunci. Wallpapernya sudah berubah menjadi fotoku sendiri. Padahal ... sudahlah.

"Thank you." Aku tersenyum tipis lalu kumasukkan handphoneku kedalam tas.

"What's happening between you and Barry?"

Aku hanya diam dan mengangkat kedua pundakku.

"Ayolah. Kau harus cerita padaku." Julia memaksaku. Aku hanya bisa tertunduk lemas. "Dia bilang padaku kalau semuanya baik-baik saja dan aku tahu dia berbohong."

Air mataku mulai turun. "Dia pulang kerumahnya."

"What? Kalian tidak tinggal bersama lagi?" Julia sangat terkejut sampai memukul meja dengan kedua tangannya.

"Yeah ...," jawabku pelan. "Bermulai saat aku pergi ke Hawaii bersama Justin untuk syuting video klipnya. Lalu dia tidak menjawab teleponku dan ... sesuatu terjadi. Dan ... dia mengabaikanku."

"And?" Tanya Julia penasaran. Aku sedikit memutar bola mataku. Karena aku pikir dia sudah tau.

"Dan ... aku kerumahnya untuk bertemu dengannya dan dia tidak ingin bertemu. Lalu ... aku menabrakkan diriku pada mobil agar dia mau bertemu denganku."

"You are a really crazy woman." Julia tersenyum kesal.

"Itu hanya satu-satunya cara agar dia mau bertemu denganku." Kini giliran aku yang memukul meja.

"Hold on, kau bilang sesuatu terjadi di Hawaii sampai Barry marah. Apa itu?" Julia menatapku sinis. Matilah aku.

"Aku ... aku dan ... Justin ... kami berciuman." Matilah aku habis ini.

"Wow." Singkat sekali jawabannya. Dia tidak marah? "Pantas saja Barry marah."

"Sebenarnya siapa yang kau cintai?" Suara Julia terdengar sangat kesal. Namun dia tidak menunjukkannya.

"I don't know. I love Barry and ... i can't help it i still in love with Justin." Aku membiarkan air mataku jatuh lagi untuk kesekian kalinya.

"Listen to me my dearest Saara Angeline Palvin, if you love two people at the same time, choose the second. Because if you really loved the first one, you wouldn't have fallen for the second."

Perkataannya langsung menusuk hatiku. Jadi aku harus pilih Justin dibandinh Barry? Mana mungkin aku harus meninggalkannya.

"Lupakan saja hal itu. Aku tahu kau sudah seminggu lebih tidak berhubungan dengan Barry." Julia tersenyum. Akupun membalas senyumnya. "You better call him. You got your phone back."

Aku rasa itu ide yang sangat bagus. Mengingat dia akan mengangkat atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha untuk mendapatkannya kembali.

Kuambil handphoneku lalu aku menelepon Barry.

Panggilan tersambung dan aku menunggunya untuk mengangkat.

"He's not answering." Aku menaruh handphoneku kembali pada tas ku.

"C'mon Saar. Coba telepon sekali lagi. Mungkin dia tidak mendengar." Julia membuat semangatku bangkit sedikit. Aku menarik kembali handphoneku dari tas dan mencoba untuk meneleponnya lagi.

"Hello?"

     -      -      -     -      -      -      -      -      -

Handphoneku tiba-tiba bergetar saat aku sedang makan siang bersama Iris dan Joe.

Dari Saara. Julia pasti sudah memberikan handphonenya. Aku tidak mengangkat ataupun menolak panggilan tersebut.

Aku hanya membiarkan mereka melihat handphone itu bergetar sampai waktunya selesai.

"Kau harus mengangkat panggilan itu." Joe memberi isyarat.

Aku hanya menggeleng pelan.

"Sampai kapan kau akan mengabaikannya?" Tanya Iris. Malas sekali aku menjawabnya.

"Sampai aku siap berhubungan lagi dengannya. Entah mungkin 2 atau 3 bulan lagi."

Getar di handphoneku berhenti dan kulanjutkan makan siang ini.

"Give her a chance." Joe menepuk pundakku. Aku menepisnya dengan pelan.

Handphoneku bergetar lagi saat aku akan mengambilnya dan hendak meninggalkan restoran.

Kulirik Joe dan Iris bersamaan. Mereka serempak mengangguk dan aku mengangkat panggilannya.

* * * * *

End of Part 37!

Jangan lupa beri vote dan komentar!!!

I need to tell you something

Cerita ini bakal berakhir!!!! Mudah2An kalian bakal suka dengan endingnya dan aku bakal buat cerita baru! Dengan hint Justin buka seorang entertain!!

I am Your Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang