Tepat pukul 7 pagi, aku berjalan keluar apartemen menuju rumah Barry. Dengan memakai kaus santai dan celana training, aku lebih memilih berjalan kaki dan menganggap ini bagian dari olah raga. Walaupun terbilang jauh, aku harus berusaha.
Ku telusuri jalanan yang masih sepi dan hanya ada beberapa mobil lewat.
Kupasang headset dan kumainkan lagu Justin. Hanya lagu-lagunya yang menjadi penyemangat hari-hariku.
Apa yang akan kukatakan pada Barry saat aku sampai disana? Apa dia akan marah padaku? Atau sebaliknya? Mungkin saja dia ingin menghilang sejenak.
Aku mampir di toko kopi. Aku memesan kopi panas agar aku tidak mengantuk. Sekarang sudah pukul setengah delapan dan sampai di daerah rumahnya saja belum.
Kubuang nafas sangat panjang. Tidak ada salahnya mencoba berkorban untuk Barry.
Kuteguk kopi ini perlahan sambil memikirkan masa lalu. Sebenarnya tidak baik memikirkan masa lalu. Apa lagi hal buruk.
Aku jadi ingat waktu aku mencoba menyayat kedua pergelangan tanganku saat dirumah sakit. Ya ... itu sangat bodoh sekali. Memalukan.
Aku hanya bisa tersenyum mengingatnya.
"Hei, kau Saara Palvin, bukan?" Seorang pria membuyarkan lamunanku dan duduk disampingku.
"Yes ...," jawabku menggantung. Aku tidak tahu siapa pria ini dan ... mau apa.
"Ah ..." Pria ini seakan lupa pada sesuatu. "I'm Wilson by the way."
Dia menyodorkan tangan kanannya dan aku menjabatnya dengan rasa kebingungan.
"Aku ... teman Julia." Pikiranku langsung tertuju pada saat Julia menceritakan seseorang bernama Wilson yang dia taksir sejak SMA. Aku tidak pernah tau bagaimana wajah Wilson dan aku tidak menyangka dia setampan ini.
"Bisa kah kau memberikan ini padanya?" Dia memberikan selembar kertas yang sudah dilipat rapi.
"Sure. By the way i have to go. Good bye." Aku bergegas keluar toko dan berjalan lagi menuju rumah Barry.
Sekarang sudah jam 8. Bisa-bisa aku sampai kerumahnya jam 9.
Aku mengeluarkan kertas tadi yang diberi oleh Wilson. Aku membukanya walaupun ini termasuk lancang. Dengan tujuan aku bisa tahu maksud dari Wilson baik atau jahat.
Ternyata dia memberikan sebuah nomor. Mungkin nomor teleponnya? Entahlah. Kukembalikan lagi kertas itu kedalam saku celana dan aku berlari kecil.
Butuh waktu hampir 2 jam untuk sampai kerumah Barry. Walaupun sangat lama dan dengan nafas yang terengah-engah, aku sampai didepan halaman rumahnya.
Mobil merahnya terparkir sangat rapi di garasi terbuka. Dia benar ada dirumah ini.
Dengan perasaan yang campur aduk dan sangat takut, aku melangkah menuju pintu rumahnya dan menekan tombol bel.
"Wait up." Suara seorang wanita terdengar dari dalam. Ini sudah pasti Iris (re: airis). Jantungku makin berdegup sangat kencang.
Pintu pun dibuka dan aku melihat Iris yang terkejut dengan kehadiranku didepan pintu rumahnya. Aku tersenyum tipis dan dia seperti tercengang melihat mukaku.
"Well ... i'm here to meet Barry." Aku tersenyum sangat kaku karena aku tidak dipersilahkan masuk?
"Uh ... you know ... Barry isn't at house right now." Iris pun tak kalah kaku saat menjelaskannya padaku.
"But ... his car is right there." Kutunjuk mobil merahnya.
"Ya ... but ... he just walk outside and i don't know when he will come back." Kurasa Iris menutupi sesuatu.
"Aku tahu dia tidak akan keluar tanpa mobilnya. Dan aku tahu dia ada didalam. Jadi tolong, aku ingi bertemu dengannya. Bar-"
"Dia tidak ingin bertemu denganmu, Saara. Itu yang dia bilang padaku."
Jantungku seperti berhenti berdetak selama beberapa detik sampai akhirnya berdetak lagi. Badanku lemas sekali.
Apa maksudnya dia tidak ingin bertemu denganku? Jadi ini mengapa dia tidak mengangkat telepon maupun membalas pesanku.
"I'm sorry." Pintu pun ditutup dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Kubalikan tubuhku dan aku berjalan meninggalkan rumahnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana cara agar bisa mendapatkan perhatiannya lagi?
Kulihat sebuah mobil kencang kearah berlawanan denganku. Dengan cepat aku berlari kearah mobil itu melaju.
- - - - - - - - - -
"Dia tidak ingin bertemu denganmu, Saara. Itu yang dia bilang padaku."
Kudengar Iris berkata sedikit tinggi pada seseorang saat aku akan turun kebawah untuk sarapan.
Langkahku langsung terhenti begitu saja. Saara.
Aku duduk di anak tangga hendak menguping percakapan mereka. Namun tidak ada suara setelah itu.
"I'm sorry." Kudengar suara pintu ditutup dan aku langsung turun kebawah.
"Is that ...?"
"Yes. And i told her what you said to me last night." Iris berjalan ke meja makan. "Aku jadi merasa bersalah padanya."
Aku yang sangat bersalah padanya. Meninggalkannya tanpa penjelasan.
Aku berjalan ke jendela untuk mengintip Saara berjalan. Dia berjalan sangat pelan dan tangannya seperti mengelap sesuatu di wajahnya. Pasti dia menangis.
Kulihat ada mobil berjalan dengan cepat lalu tiba-tiba Saara menyebrang begitu saja dan ..........
* * * * * *
End of part 35!
Saran utk ending cerita ini masih diterima kok dan makasih bagi yang udah kirim lewat message.
Jangan lupa komen dan vote ya. Makasih banyak utk kalian yang masih setia baca cerita ini dan makasih banget untung ada yg mau baca hehe.
Jangan lupa baca story2 aku yang lain!
KAMU SEDANG MEMBACA
I am Your Love Song
FanfictionThe Season 2 (sequel) of "You're a Song To Me" Saara living her new lifes and found someone who stole her heart. How about Justin? Let's find out! [Saara menjalani kehidupan barunya dan menemukan seseorang yang mencuri hatinya. Bagaimana dengan Just...