Question

226 29 0
                                    

"What if we meant to be together?" Aku bertanya pada Barry saat dia sedang menyetir.

"Well ... aku sangat bersyukur"

"Uh .... what if ..." Aku menggigit bagian bibirku. Barry sesekali melirik kearahku walaupun dia masih menyetir.

"What babe?"

"Bagaimana kalau kita tinggal bersama? Mungkin hari ini?" Aku diam menunggu jawaban dari Barry.

Dia tertawa sedikit dan membuatku bingung. "Are you sure babe?"

"Yes. Memangnya ada yang salah?"

"Tidak. Aku hanya berpikir kau masih ingin punya waktu untukmu sendiri."

"I wanna spend time with you like ... every second." Aku mencubit pipi kanan Barry kencang dan dia meringis kesakitan.

*

"It's fine. We can stay at my place." Aku membuka pintu apartemenku dan mempersilahkan Barry untuk duduk.

Untuk sementara ini aku dan Barry akan tinggal di apartemenku sampai kami menemukan tempat tinggal yang baru.

"Or maybe we stay at Joe's?" Tanya Barry.

"Lebih baik disini. Hanya kita bedua saja," jawabku sambil mengedipkan mata kiriku lalu berjalan ke kamar untuk mengganti baju.

"Saara you have a company," teriak Barry dari luar kamar. Dengan cepat aku memakai kaus santai dan celana panjang.

Aku membuka pintu kamarku dan melihat Justin sudah duduk berhadapan bersama Barry. Aku hanya bisa menelan ludahku dan ikut duduk disebelah Barry.

Aku memberi isyarat kepada Justin untuk cepat berbicara.

"Ah ... aku ingin mengajak Saara ke studio karena ini menyangkut tentang single kami yang akan dirilis."

Mataku melirik jam dinding. "But it's already midnight."

"Pergilah." Barry merangkulku sambil mengecup keningku. Hal yang seketika membuatku sangat canggung karena dia melakukannya didepan Justin.

Aku melihat mimik muka Justin yang sedikit berubah lalu ditutupinya dengan tersenyum.

Aku lalu pergi bersama Justin menuju studio tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu.

-

"Apa yang dia lalukan ditempatmu malam-malam?" Aku menyerngitkan keningku tanda keheranan. "Malah dia tadi bertelanjang dada."

Aku terkejut dan tertawa pelan. Ternyata Barry tadi membuka bajunya. Padahal aku ingin sekali melihat tubuhnya. Lol.

"What are you laughing at?" Justin terdengar sedikit kesal.

"From today, at this night, i'm gonna stay with him."

Badanku seketika terlempar kedepan lalu terhempas ke jok mobil dengan kencang. Jantungku rasanya mau lepas karena terkejut luar biasa.

"What the fuck, Justin?" Aku menoleh kearahnya. Wajahnya ikut terkejut.

"Kau benar-benar tinggal bersamanya sekarang?" Suaranya begitu pelan.

"Iya, Justin. Aku benar tinggal bersamanya," jawabku tak kalah pelan.

Aku sangat tahu Justin pasti kecewa. Dia pasti tidak bisa menerima hal ini.

"I'm ... i'm really sorry. Aku antar kau pulang lagi." Justin membanting setir ke kiri untuk putar balik arah.

"You said we are going to studio, aren't we?" Aku tak sengaja menyentuh lengannya dan dia langsung menjauhkan lengannya dari jemariku.

"Kalaupun kita tidak jadi ke studio, bisakah kita tidak usah dulu pulang?" Aku tetap memandang wajah Justin dari samping yang sedang serius menatap jalanan yang gelap.

"Okay," katanya singkat lalu fokus menyetir kembali.

Aku jadi mati gaya (gatau mau ngapain lg) karena Justin menjadi seketika tidak ramah.

Handphoneku bergetar dan kulihat Barry menelepon.

"Angkat saja."

Saran dari Justin pun kuterima dan aku langsung mengangkat telepon dari Barry.

"Hey babe," sapanya.

"Hey."

"Kau sudah berada distudio?"

"Ah belum. Aku masih dalam perjalanan." Sebenarnya aku tidak jadi kestudio, Barry.

"Beritahu aku kalau kau akan pulang."

"Okay babe." Aku langsung menyudahi panggilan ini.

"Nama panggilan baru, huh?" Justin langsung mengajakku bicara lagi setelah aku selesai bertelepon.

Aku hanya mengangguk pelan dan menghadap lurus kedepan.

"Don't worry. I'm cool with that."

Aku hanya bisa menghela nafas dan menatap lampu jalan yang cerah.

* * * * *

End of part 19.

I am Your Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang