Rambut yang masih basah dilap dengan tuala sambil sesekali membelek muka di cermin. Haish, kejap je stubble dah naik!
Baru sahaja Putra nak mencapai electric shaver di rak tepi cermin, loceng rumahnya berbunyi. Selamba sahaja dengan hanya memakai tuala, Putra meninggalkan bilik air.
Dia memang sedang menunggu kedatangan mama dan papanya. Sepatutnya petang tadi mereka sudah sampai dari Johor Bahru tapi ni dah malam pun tak sampai-sampai. Baru je Putra ingat nak call papanya habis mandi tadi.
Namun ketika membuka pintu, Putra ternganga tak percaya. "Li... Lili?"
"Put..."
Hanya itu yang mampu mereka ungkapkan. Lima tahun, bukan jangka waktu yang singkat.
Tak semena-mena titisan hangat mengalir di pipi Putra. Perlahan-lahan dia menggeleng. Tak percaya dengan kehadiran Lili. Momen yang dia dah lama nantikan, tetapi entah mengapa sekarang rasa surreal.
Melihat Putra yang semakin mengundur dari pintu, Lili menguatkan hati sendiri untuk masuk tanpa diundang. Entah mengapa, hatinya yang retak melihat air mata lelaki itu.
"Put, Lili minta maaf. Lili-"
"No! Stop there!" halang Putra tegas. Benar, dia sangat rindukan Lili. Tapi ini... kejutan yang langsung tak disangka.
"Put, I'm so sorry..."
"I said stop there, Emiliya!"
Wajah Putra yang tegang berbaur dengan pelbagai emosi Lili pandang dengan mata yang turut kabur dengan air mata. Putra kenal pandangan Lili itu. Pandangan terluka.
Tapi Putra lebih terluka. Dia ditinggalkan tanpa alasan selama lima tahun. Terkontang-kanting seorang diri. Mana Lili selama itu? Malah anaknya... selama ni Putra cuma mampu tatap filem ultrabunyi sahaja. Kelakar kan?
"Mana anak I?"
"Put..."
"I tanya, mana anak I? Sejak lahir Li, I tak pernah tengok pun anak I. I tak azankan anak I, I tak iqamatkan dia, I tak tengok dia membesar, tak pernah dengar dia panggil I 'papa' pun. Sekarang ni I tanya you satu soalan mudah. MANA ANAK I?!"
Lili pula yang sudah tersandar ke dinding dengan penuh ketakutan. Suara Putra, pandangan Putra, semuanya intimidating.
Dan kata ganti diri 'I-you'? Kata yang mereka tak pernah guna dan entah kenapa, bagai membina jurang di antara mereka.
"Lili..."
Tanpa sedar, Putra makin menghimpitnya. Malah tangannya sudah memerangkap tubuh Lili di antaranya dengan dinding. "...you tak jawab soalan I, sayang. I nak jumpa anak I,"
"Anak kita," ralat Lili. Tatapan intens Putra, Lili balas dengan pandangan lembut.
"Emir Ayden bin Amry Putra, anak kita,"
"Emir Ayden..." ulang Putra perlahan. Segaris senyuman terukir di bibirnya membayangkan si anak. Namun sebentar cuma. "Mana dia?"
Lili yang kelihatan takut-takut untuk menjawab semakin dirapati. Pipi gebu isterinya yang masih lembap dielus lembut.
Isteri. Hati lelakinya berbunga mahu menyebut gelaran itu. Si penyandang yang sudah pulang.
Dan entah bagaimana, Putra hanyut di dalam tatapan Lili. Mata bundar itu, bibir merah itu, pipi yang gebu dan merona itu. Segalanya tentang Lili yang dia rindui, dan kini berada benar-benar dalam jangkauannya? Amry Putra tak mampu menahan keinginannya yang tiba-tiba.
Pantas sahaja bibir mereka melekap.
"Mana Emir Ayden, sayang?" soalnya setelah melepaskan tautan bibir mereka.
Lili yang sudah merona semakin tidak keruan mendengar suara Putra yang berubah lembut. Cepat betul berubah tingkah. Bipolar ke apa dia ni?
"Dekat rumah arwah papa. Ada mama dengan papa jaga dia,"
"Hah? Macam mana you boleh jumpa mama dengan papa?"
Lili menggigit bibir tanpa sedar. With this proximity dan keadaan Putra yang hanya bertuala di pinggang, celaru juga otaknya mendapat soalan lelaki itu.
"Err... Lili baru sampai rumah. Then mama dengan papa pun tiba-tiba muncul. Rupanya diorang nampak Lili dengan Emir dekat airport and diorang ikut Lili sampai rumah. Mama yang suruh Lili tinggalkan Emir dengan diorang and datang sini,"
Sekali lagi bibir Lili yang dari tadi bergerak-gerak menjawab soalannya dikucup. Malah kini lebih dalam.
"Hmphh... P-Putra... no!" Lili menolak sedikit dada lelaki itu. Sekadar mencipta jarak.
"Why not, Lili? I miss you. I miss you so much. Lima tahun Li, I've lost your warth, your hugs, your smile. I'm still mad at you, no doubt. But please, for tonight, I nak kita lupakan semua tu. Let's talk about all of it tomorrow,"
"Put-"
Bibir Lili yang sudah membengkak kerana ulahnya ditahan dengan jari telunjuk. Mematikan kata wanita itu.
Sebelah lagi tangannya mengelus tangan Lili yang terlekap pada dadanya. Tangan yang meletak jarak di antara mereka.
"I miss you so much, Lili," tangan itu ditarik dan diletakkan ke pipinya. "So much that it hurts,"
Melihat mata Putra yang kembali berkaca, Lili mengusap rahang lelaki itu dengan lembut. Stubble di rahang Putra yang menggeletek jemarinya entah mengapa membuatkan dia teruja sama.
Lantas wajah Putra ditarik menunduk dan aktiviti yang tertangguh tadi disambung kembali. Lili tahu Putra masih marahkannya dan banyak benda yang Lili perlu jelaskan, tetapi esok masih ada.
Malam ni, dia nak dengar cakap Amry Putra. Lupakan segala masalah mereka. Malam ini sahaja..
IF YOU IF YOU
ajik neomu neutji anhatdamyeon
uri dasi doragal suneun eopseulkka
IF YOU IF YOU
neodo nawa gachi himdeuldamyeon
uri jogeum swipge gal suneun eopseulkka
isseul ttae jalhal geol geuraesseoIF YOU IF YOU
If it’s not too late
Can’t we get back together?
IF YOU IF YOU
If you’re struggling like I am
Can’t we make things a little easier?
I should’ve treated you better when I had you
Nak clarify sikit. Ni... Izham kata dia bukan atuk bongok masuk air ye seperti tomahan pada commentors dekat chapter sebelum ni hahaha
Izham tak masuk air. Dia masuk ketum je lol

ANDA SEDANG MEMBACA
Liliput ✔
Teen FictionSenyuman itu, dia kenal sejak lahir. Tawa itu, dia dengar kecil. Tangisan itu, dia saksikan sehingga mereka dewasa. Lili dan Putra. Liliput di mata dua orang ibu. Musuh di mata sesama sendiri. Kekasih di sudut hari paling dalam. "Give me your hand s...