Ten

16.5K 1.4K 75
                                    

Hidup telah mengajarkan kita bahwa cinta tidak bisa berisi "saling memandang" tapi cinta berisi "bersama-sama melihat satu arah yang sama"

Hal paling berat adalah melihat orang yang dicintai mencintai orang lain

♢♢♢

Rilly berjalan keluar ruangan itu bersama Kafka. Ia benar-benar merasakan kebahagiaan yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata lagi. Bagaimana dia tidak bahagia, kalau selama beberapa jam hanya berdua saja dengan Kafka. Apalagi Kafka memperlakukannya sangat manis, membuat jantung berdegup lebih kencang dari biasanya.

Rilly menghentikan langkahnya saat dirinya teringat sesuatu. Ia membalikan badan untuk melihat Kafka yang ada tepat di belakangnya. Kafka hanya menatap dengan tatapan datar, seperti biasa. Ia tidak peduli dengan Kafka yang seperti itu. Baginya, Kafka adalah seseorang yang mempunyai banyak kejutan di setiap perlakuannya.

Rilly tersenyum semanis mungkin, "Makasih ya buat yang tadi."

Kafka mengangguk, ia tidak mengatakan apapun lagi. Membuat Rilly harus memutar otak untuk mencari topik yang mungkin bisa membuat Kafka berbicara. Setidaknya, Rilly harus mengajak Kafka mengobrol sambil berjalan. Ya! Itu harus!

Rilly bergumam tidak jelas membuat Kafka yang ada di depannya, melihat ke arahnya heran. Otaknya benar-benar tidak bisa terpikir lagi mengenai topik yang bagus untuk menjadi bahan obrolan selanjutnya. Ia menghela napas panjang, saat ia benar-benar tidak bisa memikirkan apapun lagi. Tapi, ia tidak boleh menyerah! Jangan menyerah!

Mata Rilly berbinar saat ia teringat sesuatu, "Gue nggak nyangka kalau lo masih ingat soal gue takut petir dan selalu makai jaket waktu hujan."

"Gue nggak akan lupa," ucap Kafka pelan, ia melanjutkan perjalanan mereka yang sempat terhenti.

Rilly tersenyum saat mendengar ucapan Kafka, "Kenapa lo nggak akan lupa? Lo harus tahu, gue senang banget waktu lo ingat semua hal tentang gue. Gue ngerasa kalau gue ini istimewa bagi lo."

"Hm."

Rilly memegang lengan Kafka, membuat Kafka menghentikan langkahnya. Ia melihat Rilly dengan satu alis yang terangkat.

"Lo belum jawab pertanyaan gue!" Rilly cemberut.

Kafka menatap Rilly dengan bingung. Tatapannya seperti mengatakan, yang mana?

Rilly mendengus melihat Kafka yang masih saja tidak mau bicara. Mau ngikutin limbad kali dia! Semakin umurnya bertambah, semakin dikit juga dia bicara.

"Kenapa lo nggak akan lupa?!" ulang Rilly, ia menekankan setiap kata yang di ucapkannya.

Kafka menaikkan kedua bahunya. Dengan ekspresi datar, ia berlalu meninggalkan Rilly yang benar-benar sudah kesal dengannya.

"Iss!! KAFKA!" kesal Rilly.

Kafka kembali menghentikan langkahnya, ia melirik Rilly yang sudah tambah cemberut. Ia sangat senang melihat Rilly yang seperti itu. Apalagi melihat Rilly yang kesal terhadapnya. Melihat Rilly yang terus mengoceh tidak jelas. Entah kenapa, kelakuan Rilly itu membuat hatinya hangat dan membuat dia ingin selalu tersenyum.

Maaf gue nggak bisa jawab. Gue nggak akan pernah bisa lupain itu semua, karena gue adalah penyebab semua itu, batin Kafka.

Saat Rilly sudah berada di sampingnya, ia langsung merangkul Rilly. Membuat Rilly terdiam dan tidak mengoceh lagi. Bahkan Rilly sudah tersenyum seperti biasa. Ia tidak mudah mengerti, kenapa suasana hati Rilly cepat sekali berubah?

"Selamat pagi semua! Kembali lagi dengan gue, Zizi yang kali ini di temani oleh Sophia."

"Hai semua! Seharusnya kita disini bertiga, tapi kita nggak tahu yang satunya kemana. Kak Zizi tahu dia kemana?"

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang