Sixteen

14.3K 1.3K 80
                                    

Kalau ada typo atau kata-kata yang salah aku minta tolong untuk di komen, soalnya aku ngedit pakai find and replace. Jadi nggak ngebaca semuanya

♢♢♢


Ada kalanya kita perlu terima bahwa ada orang yang diciptakan untuk ada hanya di dalam hati kita. Tapi bukan di dalam hidup kita.

Kenapa ia bisa merasakan sakit untuk sesuatu yang bukan miliknya?

♢♢♢

Rilly melangkah kan kakinya dengan pelan dan santai menuju sekolahan. Kedua telinganya di pasangkan headset agar lebih menikmati perjalanan sebentarnya itu. Ia bersenandung pelan sambil mencoba menikmati pagi yang indah ini. Apalagi entah kenapa udara di sekitar menjadi lebih sejuk dari biasanya.

"Bila musim berganti. Sampai waktu terhenti, walau dunia membenci ku kan tetap disini."

"Bila habis sudah waktu ini. Tak lagi berpijak pada dunia, telah aku habiskan kisah hidupku hanya untukmu."

Rilly tersenyum kecil menyanyikan lagu itu. Ia tidak peduli dengan orang sekitarnya yang mungkin melihatnya aneh. Apa kata mereka sajalah yang penting dirinya senang dan tenang. Ngapain peduli sama mereka?

"Rilly!"

"RILLY!"

Rilly mendongakan kepalanya dan segera melepas headsetnya saat merasa ada yang memanggilnya. Siapa sih yang manggil? Ganggu aja.

"Rilly! Disini!" teriak orang itu lagi.

Rilly menoleh ke arah kanannya dan terlihat disana ada Zizi dan Sophia. Ck, ternyata mereka.

"Kenapa?" tanya Rilly yang balik beteriak.

"Kesini dulu," pinta Sophia.

Dengan malas Rilly menghampiri mereka dan kembali bertanya, "Kenapa?"

Zizi menyengir, "Bantuin kita yuk!"

Rilly mengerutkan keningnya, "Bantuin apa?"

Mata Sophia melebar mendengar pertanyaan Rilly, "Lo amnesia?"

"Ha?" Kedua mata Rilly berkedip bingung.

"Rilly, Rilly. Hari ini kan pemilihan ketua osis, jadi kita nggak belajar sama sekali," jelas Zizi.

Rilly menepuk keningnya pelan, ia benar-benar lupa tentang itu. "Gue beneran lupa, eh jadi kalian mau minta bantuan apa?"

"Bantuin kita ngeliput," jawab Zizi.

Rilly mengangguk mengerti, "Boleh deh, tapi gue taruh tas dulu di kelas ya."

"Barengan aja, tempat pemilihannya juga sejalan dengan kelas lo," ucap Zizi.

"Ya udah, ayo," ajak Rilly.

Sophia teringat sesuatu saat mereka sudah berjalan, "Lo beneran ya sama Kafka waktu itu?"

Rilly mengangguk, senyum kembali terukir di wajahnya. "Kenapa lo nggak percaya sih?"

"Wajar aja Sophia nggak percaya, soalnya gue juga nggak percaya. Gimana bisa Kafka gitu?" ucap Zizi yang benar-benar tidak percaya. Kafka? Mendengar nama itu yang melakukan hal-hal romantis, membuatnya sulit membayangkan dan percaya begitu saja.

Rilly menaikkan kedua bahunya, "Gue juga awalnya heran, Kak. But, nikmati aja. Mungkin itu pertama kalinya dan terakhir kalinya Kafka baka......"

Mulut Rilly seakan tidak bisa mengatakan apapun lagi, saat ia melihat seseorang di depannya. Bukan hanya Rilly, tapi juga Zizi dan Sophia. Pemandangan di depan mereka adalah pemandangan yang sedikit langkah namun tidak terlalu langkah. Dan pemandangan di depan mereka sangat-sangat cukup menyayat hati Rilly.

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang