Twelve

16K 1.4K 93
                                    

Bukan karena kekurangan cinta tapi karena kurang persahabatan yang membuat hidup tidak bahagia.


Sahabat adalah salah satu kunci sebuah kebahagiaan.

♢♢♢

Kafka melangkah mundur ketika melihat Rilly menangis dan Rafa yang langsung memeluknya. Ia lebih baik pulang dan segera pergi dari tempat ini.

"Eh ada Kafka."

Ucapan itu membuat Kafka menghentikan langkahnya.  Dengan sopan ia menyapa, "Sore Tan."

"Kafka mau ketemu Rilly? Rilly ada di taman belakang," ramah Mama Rilly.

Kafka tersenyum tipis, "Kafka mau pulang Tan."

"Loh? Kok cepat banget? Kamu kayak apa aja buru-buru pulang. Makan malam di sini aja," bingung Mama Rilly.

"Kafka udah ada janji, Tan," bohong Kafka.

Ekspresi mama Rilly terlihat kecewa dengan ucapan Kafka. "Yah, sayang banget. Tapi ya sudah lah, Tante nggak bisa maksa. Lagi pula, janji memang harus ditepati."

Kafka tersenyum tipis, "Makasih Tan, Kafka pamit dulu."

Setelah menyalami mama Rilly Kafka melangkah keluar dari rumah itu. Baru beberapa langkah ia ingin ke luar rumah itu, ia baru teringat sesuatu. Membuat ia membalikkan badan dan kembali menemui mama Rilly.

"Ada yang ketinggalan ya, Kaf?" tanya mama Rilly heran.

Kafka menggeleng, ia terlihat salah tingkah untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan. "Jangan bilang Rilly kalau Kafka ke sini."

Kening mama Rilly mengerut mendengar ucapan Kafka,"Memangnya kenapa? Bukannya tadi kamu kesini mau ketemu Rilly?"

Kafka menghela napas, ia masih saja memperlihatkan senyuman tipisnya.
"Tolong Tan."

Mama Rilly terlihat mempertimbangkan permintaan Kafka sampai akhirnya ia mengangguk. "Iya Tante nggak bilang ke Rilly. Kamu pulangnya hati-hati ya, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya."

Kafka mengangguk dan lagi-lagi ia menyalami mama Rilly sebelum keluar rumah. Saat masuk ke mobil, ia langsung menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari rumah itu secepat mungkin. Sore itu, mobilnya seakan membelah keramaian yang sedang terjadi di jalanan.

Bukannya pulang ke rumah, Kafka malah mengendarai mobilnya ke salah satu apartemen sahabatnya.Entah kenapa ia malas untuk pulang ke rumah.

Setelah memakirkan mobilnya di tempat seharusnya. Kafka turun dari mobil itu dan langsung menuju lift. Ia memejamkan mata sesaat sambil menunggu lift itu sampai ke lantai yang ia tuju.

Ting.

Tanpa terburu-buru, Kafka berjalan ke luar dari lift itu. Ia melangkah menuju apartemen yang ia tuju. Apartemen itu di kunci namun, bagi dirinya ia tidak perlu menekan bel atau menunggu pemilik apartemen itu untuk membukakan pintunya.

Dengan santai, Kafka memasukan password apartemen itu. Seakan-akan apartemen itu adalah miliknya. Sahabatnya itu, Ardan. Dia yang memberikan password ke Kafka tanpa rasa takut ataupun curiga. Bahkan Ardan menyuruh Aldi atau Kafka menganggap itu apartemen mereka sendiri. Jadi, tidak salah kalau ia seenaknya masuk dan keluar apartemen ini.

Saat Kafka masuk ke apartemen itu, ia langsung di sambut oleh kehebohan kedua sahabatnya. Ternyata mereka sudah berada disini terlebih dahulu.

Dengan santai dan tanpa suara, Kafka mendekati mereka. Ia langsung duduk di sofa tanpa disuruh. Satu tangannya sibuk mengotak-atik HP dan satu tangan yang lain, mengecilkan volume TV lewat remote.
Ia tidak menyukai kebisingan. Ardan maupun Aldi tidak protes, karena mereka masih terlalu serius dengan permainan yang sedang mereka mainkan.

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang