Eleven

15.6K 1.4K 62
                                    

Dear heart, why him?

Jika hati dapat memilih. Maka, hati akan memilih untuk mencintai seseorang yang sudah mencintai dirinya. Karena sesungguhnya, mencintai demi dicintai itu sifat manusia. Tapi, mencintai demi mencintai itu sifat malaikat.

♢♢♢

Seperti Kafka yang seorang most wanted di sekolah ini. Aldric juga seperti itu. Mereka berdua mungkin dari dulu sudah bersaing apalagi, mereka dari jurusan yang berbeda. Membuat mereka berdua mempunyai sesuatu yang berbeda. Membuat setiap orang memiliki sudut pandang dan penilaian yang berbeda pula terhadap mereka berdua.

Kafka yang seorang anak IPS dan Aldric yang seorang anak IPA. Aldric yang pintar dalam bidang seni dan Kafka yang pintar dalam bidang olahraga.

Kalau dalam segi ilmu, mereka pastinya pintar dalam bidang masing-masing. Organisasi lainnya? Selama ini, mereka selalu bersaing secara sehat.

Semua orang pasti sudah mengetahui kalau, Kafka pasti tetap yang paling unggul dari Aldric. Kafka tetap nomor satu dari Aldric. Tapi, apa semua itu bakalan bertahan sampai mereka tamat? Apa Aldric sendiri tidak pernah terpikir untuk menjadi yang pertama?

Ingat, jika ada sebuah perbedaan maka ada pula kesamaan di antara mereka.  Mereka mempunyai kesamaan dan kesamaan itu yang terkadang membuat hal-hal buruk muncul.

Kesamaan mereka? Satu hal yang sangat pasti itu adalah mereka sama-sama sedang mencalonkan diri sebagai ketua osis. Dan mungkin, sama-sama bersaing untuk bisa bersama dengan orang yang dicintai mereka.

"Aldric." Rilly tertegun.

Aldric tersenyum miring melihat Rilly yang hanya diam di tempatnya. "Kenapa lo kayak takut banget ngelihat gue?"

Rilly berusaha memutar otak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Aldric. Ia menelan saliva dengan susah payah, "Gue? Takut lo?! Hellllooo!! Lo pikir diri lo hantu apa?!"

Aldric menepuk puncak kepala Rilly pelan. Badannya yang lebih tinggi dari Rilly, membuat ia harus menunduk untuk meneliti wajah Rilly. "Lo boleh aja ngomong gitu, tapi wajah lo nggak sama sekali memerlihatkan hal itu."

Rilly mencoba menenangkan diri dan bersikap sesantai juga sebiasa mungkin. Matanya menatap Aldric dengan tatapan paling tajam, "Terserah lo!!"

Aldric tersenyum lebar. Ia sangat senang melihat Rilly mengalah begitu saja, "Makin suka gue sama lo, apalagi kalau lo ngalah sama gue."

Kali ini mata Rilly melebar mendengar ucapan Aldric. Ia sedikit terjekut mendengar ucapan Aldric, "LO SUKA GUE?!"

Aldric memutar bola mata malas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau perempuan di depannya ini bakalan tidak peka akan perasaan yang ia rasakan. "Menurut lo?"

Rilly menaikkan kedua bahunya tidak peduli, "Emang lo pernah cerita ke gue? Pernah ngomong? Pernah mengakui? Nggak, 'kan? Kalau nggak, ya wajar aja lah kalau gue nggak tahu!"

Mata Aldric terlihat gemas melihat Rilly yang menyerbunya dengan pertanyaan yang terlalu unik, menurutnya. "Jadi, lo mau dengar perasaan gue yang sebenarnya sekarang juga? Lo mau dengar pengakuan gue?"

Rilly menggeleng cepat mendengar pertanyaan Aldric tapi setelah itu ia terdiam. Matanya menyipit, "Ya terserah lo lah mau kapan! Gue ngak akan peduli juga."

Aldric menaikkan satu alisnya, "Kenapa?"

"Kalau lo itu Kafka pastinya gue peduli sayangnya, lo bukan Kafka!" Rilly tersenyum senang setelah mengatakan itu. Namun, beberapa detik kemudian matanya melebar dan ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa gue jawabnnya gitu?! batin Rilly.

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang