Apa yang dirinya takutkan adalah melihat dia menjadi orang lain dan terpuruk.
Ada saatnya hati ini lelah berjuang sendirian dan ini lah saatnya. Saat dimana ia lelah untuk berjuang.
Yakinlah, ada sebuah kenangan yang tidak seharusnya kamu ingat. Dan jangan pernah mengingat hal itu.
Where i can't be yours and you can't be mine.
♢♢♢♢
Rilly menatap pantulan dirinya didepan kaca. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri setelah tiga hari yang lalu membuat sebuah keputusan. Ia tidak begitu yakin dengan dirinya. Hal yang ia takutkan adalah menjadi luluh ketika melihat Kafka melakukan hal-hal yang manis. Dan keputusannya itu menjadi sia-sia saja karena ia pasti ingin kembali berjuang. Harapan itu pasti akan muncul lagi.
Rilly menatap ke seluruh ruangan yang biasa Kafka gunakan untuk beristirahat dan ia kembali teringat kejadian dulu. Disaat Kafka membawanya ke ruangan ini karena hari hujan dan ada petir. Saat itu, ia tidak membawa jaket dan itu mampu membuat Kafka marah. Manis.
Mengingat itu saja bisa membuatnya tersenyum dan semakin ragu.
Rilly menggeleng kuat saat keinginan untuk tidak berhenti berjuang kembali muncul. Ia harus..... harus membuat hati ini tidak ragu sehingga ia mampu untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Menghapuskan perasaannya ke Kafka.
Dengan perasaan yakin, Rilly melangkahkan kakinya menuju ruang osis. Ia harus mencari Kafka dan membuat dirinya yakin. Ia tidak boleh ragu.
"Rilly!" panggil Luke, wakil ketua osis.
Rilly tersenyum tipis, "Ada Kafka."
Luke menggeleng, "Sebelum lo tanya dimana Kafka, gue mau kasih saran ke lo."
Satu alis Rilly terangkat, "Saran? Saran tentang apa?"
Luke mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan menyerahkan kartu itu ke Rilly, "Gue tahu kalau lo benar-benar cinta sama Kafka dan mau aja perjuangin dia sampai kapan pun. Tapi bagi gue ini semua nggak benar. Seharusnya yang memperjuangkan itu Kafka bukan lo karena lo itu cewek. Bukan lo yang harusnya ngejar tapi Kafka."
Kening Rilly mengerut saat membaca kartu nama itu, "Psikiater cinta? Apa hubungannya omongan lo dengan ini?"
Luke menyengir, "Mungkin aja omongan gue nggak mau lo terima makanya gue kasih itu. Dia pasti bisa ngebuat lo yakin kalau omongan gue benar dan dia pasti punya cara yang bisa ngebuat lo ngejauh dari Kafka ataupun ngelupain Kafka."
Rilly mengernyit mendengar ucapan Luke. Apa sampai segitunya? Apa ia emang harus menemui psikiater ini? Mungkin ia harus memikirkannya nanti dan menyimpan kartu ini, "Gue bakalan mikirin itu nanti, sekarang dimana Kafka?"
"Lapangan basket," Luke menghela napas, ekspresinya terlihat sedih, "Kenapa dia selalu aja keras kepala? Udah gue larang buat main basket, masih aja ngotot buat main. Padahal tangannya belum pulih banget."
Itulah Kafka. Keras kepala. Apa yang dia inginkan dan dia pikir benar, pasti dia akan melakukannya walau seluruh orang melarangnya.
"Gue kasihan sama dia," tambah Luke.
Rilly menepuk pundak Luke, ia tersenyum.
"Gue kesana dulu ya.""Bilangin ke dia, jangan memaksakan sesuatu dan jangan berlebihan," pesan Luka.
Rilly mengangguk dan langsung berlari menuju lapangan basket. Kalau jam segini, pastinya Kafka ada dilapangan yang ada didalam. Dia pasti sedang sendirian. Pasti sendiri, apalagi melihat Luke yang kelihatan khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuanfen
Teen FictionMenurut kalian, apa pengertian bodoh? Apa bodoh itu orang yang tidak bisa memahami pelajaran sekolah yang sulit? Menurut Rilly bukan itu, karena tidak semua orang punya kemampuan yang sama. Menurut Rilly, bodoh itu dia. Dia yang bodoh karena tida...