Malam ini mungkin menjadi malam terburuk bagi keluarga Kafka dan Rilly. Di mana bintang di langit tidak terlihat. Karena tidak adanya bintang di seluruh langit, membuat langit terlihat sangat gelap. Beberapa kali Rilly melihat kilat yang terlihat sangat jelas dan rasanya sangat dekat dengan tempat ia duduk sekarang. Tetapi, bukan kilat yang membuat ia bergeming di tempat duduknya sekarang. Bukan juga karena hujan yang mungkin akan segera turun melainkan karena ia sedang menunggu Kafka menyelesaikan panggilan teleponnya. Rilly memang tidak mengetahui topik apa yang sedang mereka bicarakan. Namun, melihat ekspresi Kafka maka, ia bisa menyimpulkan sendiri bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan itu sangat lah buruk. Belum lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali mendengar bentakan Kafka yang sangat menusuk hatinya walau bentakan itu bukan di tunjukan untuk dirinya.
"Bawa dia, sekarang!"
Bentakan itu menjadi sebuah penutup percakapan Kafka dengan seseorang yang tidak Rilly ketahui. Tapi, ia harus tahu dan ia harus berani menanyakan hal itu. "Siapa yang Papa telepon malam-malam begini? Ada masalah ya? Kok sampai bentak-bentak gitu? Uratnya sampai kelihatan juga."
Bukannya menjawab pertanyaan Rilly, Kafka malah melangkah menjauh dari tempat Rilly. Membuat kening Rilly mengerut karena bingung dengan kelakuan Kafka. Firasat buruk mulai menghantuinya kalau hal seperti ini terjadi. Ia berdiri, berniat untuk mengikuti langkah kaki Kafka yang menghindar darinya. Namun, Rilly tidak bisa melanjutkan aksi mengikuti Kafka karena Kafka masuk ke dalam kamar mandi. Dengan sangat sabar ia menunggu suami tercinta keluar dari kamar mandi. Sebenarnya, ia sudah mengantuk karena ini sudah lewat tengah malam tapi apa boleh buat, ia terlalu penasaran dengan apa yang terjadi. Apa lagi Kafka tidak kunjung juga keluar dari kamar mandi, membuat firasat buruk menghantui Rilly.
"Pa," Rilly dengan pelan memanggil Kafka, "Kaf," masih juga tidak ada jawaban, ia mengetuk pintu kamar mandi. "Ada masalah sama perusahaan ya? Tumben banget gini."
Tidak berselang beberapa detik dari pertanyaan Rilly, Kafka membuka pintu kamar mandi.
"Ayo.""Ha? Ayo ke mana?" Ucapan Kafka semakin membuat Rilly bingung.
Melihat Rilly yang tidak juga bergerak membuat Kafka mengenggam tangan Rilly dan memaksa Rilly untuk mengikuti langkah kakinya. Ekspresi datar dan tatapan yang tajam masih di perlihatkan Kafka, bukan untuk Rilly tapi untuk seseorang yang akan mereka temui.
"Kalian belum tidur?! Kalian ngapain masih di sini?!" Rasa kantuk Rilly menghilang begitu saja ketika melihat ketiga anaknya yang masih berada di ruang tamu dengan raut wajah cemas yang terlihat sangat jelas.
Tunggu dulu! Kenapa cuman tiga?! Rilly langsung melepaskan genggaman tangan Kafka dan mendekati ketiga anaknya. "Aiden mana?"
Adelia, anak terakhir mereka langsung menunduk mendapati pertanyaan seperti itu. Ia berdeham pelan, "Itu Ma, Bang Aiden belum pulang."
"Apa?! Ini udah jam dua malam lewat dan Aiden belum pulang?!" Rilly mencoba menahan emosinya, "Umur kalian memang sudah lewat dari tujuh belas tahun dan kalian juga udah kuliah tapi, apa pantas jam segini belum pulang?! Kenapa nggak ada yang kasih tahu Mama?!"
Adham meringis pelan mendengar pertanyaan Mama. Dari nada suaranya, ia tahu Mama sedang menahan emosi walau begitu, suara Mama tetap membuatnya takut untuk bersuara. Apalagi melihat tatapan tajam Papa yang tidak pernah berubah dari dulu, masih menyeramkan malah mungkin tambah menyeramkan. Hanya saja, kalau ia tidak berbicara sekarang, mungkin saja riwayat Aiden akan selesai atau memang sudah selesai dari tadi. "Aiden lagi di jalan mau pulang kok, Ma."
Adnan yang berdiri dekat dengan Kafka langsung menatap Adham dengan tatapan terkejut. Mungkin, hanya ia sendiri yang mengetahui fakta bahwa Papa mereka sudah mengetahui apa yang terjadi dengan Aiden. Bahkan ia mengetahui bahwa sekarang ini Aiden pulang ke rumah bukan atas kemauannya sendiri melainkan, karena di paksa pulang atau lebih tepatnya di seret pulang oleh suruhan Papa. Setelah Aiden sampai ke rumah ini pasti akan ada sebuah pertengkaran. Adnan mengacak rambutnya frustasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuanfen
Подростковая литератураMenurut kalian, apa pengertian bodoh? Apa bodoh itu orang yang tidak bisa memahami pelajaran sekolah yang sulit? Menurut Rilly bukan itu, karena tidak semua orang punya kemampuan yang sama. Menurut Rilly, bodoh itu dia. Dia yang bodoh karena tida...