Twenty Three

13.1K 1.5K 228
                                    

Untuk informasi aja, 'Olin' itu panggilan Rilly. Olin itu dari nama Rilly. Nama panjang Rilly itu Caroline Rilly Matthew. Nah kenapa panggilannya berubah menjadi Rilly, itu bakalan terjawab nanti^^

♢♢♢


Hidup berakhir saat kamu berhenti bermimpi. Harapan hilang saat kamu berhenti percaya. Dan cinta gagal saat kamu berhenti peduli.

Apa yang kamu tutupi lama kelamaan akan terbuka dengan perlahan.

♢♢♢

Suara erangan pelan keluar dari mulut Rilly sewaktu Kafka selesai melakukan prosedur itu. Membuat Kafka tidak bisa meninggalkan kamar Rilly dan memutuskan untuk tetap tinggal disana. Menunggu dan mengawasi Rilly. Tidak ada kegiatan yang harus ia lakukan juga. Jadi tidak apa-apa jika ia menemani Rilly.

Selema beberapa jam Kafka tetap terjaga karena perasaan khawatirnya tidak pernah hilang saat mengetahui suhu badan Rilly yang tidak juga menurun. Biasanya, setelah memberikan obat pasti suhunya akan turun. Tapi kali ini tidak. Seakan tubuh Rilly sudah menolak obat-obatan itu.

Kafka menghela napas beratnya. Ia lelah dan bingung. Perasaan khawatir dan cemas menghampirinya. Apa semuanya akan berakhir? Apa ini sudah waktunya? Jika iya, apa ia sudah sanggup untuk menerima kenyataan yang akan terjadi nantinya? Mungkin ia harus menyiapkan dirinya.

Merelakan Rilly untuk pergi dari hidupnya. Mungkin itu pilihan yang tepat ketika waktu itu datang. Ia tidak ingin Rilly tersiksa karena dirinya atau karena apapun itu. Ia tidak ingin.

Apakah ini adalah akhir dari segalanya? Akankah ada sesuatu yang menyenangkan nantinya?

Kafka mengenggam tangan Rilly erat. Ia menatap wajah Rilly yang sedang tertidur. Tatapannya dalam, sangat dalam. Tatapan yang berbeda dari biasanya.

Bahkan wajah itu jelas sekali menunjukkan, kalau dia sedang kesakitan.

Kafka tersenyum tipis, ia merapikan rambut Rilly yang ada di kening Rilly. Mengelus pipi itu pelan. "Olin," Kafka lagi-lagi menghembuskan napas beratnya, "gue minta maaf. Seharusnya lo nggak pernah ngerasain semua ini kalau bukan karena gue."

Karena rasa lelah yang benar-benar sudah mengusai tubuhnya, Kafka terlelap saat itu. Tangan Kafka masih setia mengenggam tangan Rilly. Ia ingin menjaga pemilik tangan itu selalu, walau tubuhnya sudah lelah.

Mungkim karena Kafka benar-benar merasa lelah, dia tidak sadar kalau tubuh Rilly menggeliat pelan. Matanya pun mulai terbuka.

Rilly mengerjapkan matanya beberapa kali. Pengelihatannya sedikit kabur karena belum terbiasa dengan cahaya lampu tidur yang menerangi kamar itu.

Rilly merasakan sesuatu yang hangat di tangannya. Saat ia melihat ke sampingnya, betapa terkejutnya melihat Kafka yang tertidur dengan posisi duduk dan kepala Kafka yang berada di sampingnya.

Rilly tersenyum kecil melihat semua itu. Tangan satunya bergerak dengan perlahan untuk mengelus kepala Kafka. Ia masih samar-samar mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Walau samar-samar, ia masih bersyukur karena ingatan itu tidak hilang sepenuhnya.

Ia melirik jam dinding dan sudah menunjukkan pukul 03.47. Entah berapa jam Kafka terjaga dan menjaganya. Ia tahu kalau Kafka pasti lelah dan Kafka malah tidur dalam posisi seperti itu. Seharusnya, Kafka tidur di kamarnya. Rilly tidak ingin kalau Kafka jatuh sakit karenanya.

Memori kejadian sebelumnya terputar kembali di otaknya. Ia baru sadar tentang sesuatu. Sifat Kafka.

"Kaf, lo pasti tahu sesuatu tentang gue yang nggak gue tahu dan sesuatu itu pasti ngejelasin sikap lo selama ini," Rilly tersenyum pilu. Hatinya bertekad, "Gue harus cari tahu semuanya!"

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang