Twenty Four

14K 1.3K 251
                                    

Kenangan masa lalu itu bukan untuk disesali. Tapi untuk menjadi sebuah pelajaran bagi kita. Terkadang, masa lalu bisa menjadi sebuah penyebab rusaknya hubungan masa ini.

Apa yang kamu rasakan, aku juga bisa merasakan itu. Kamu tahu apa namanya ini?

♢♢♢

Kikuk. Satu kata yang menggambarkan suasana di koridor rumah sakit itu. Kedua orang tua Rilly sedang berdiri tepat di depan Kafka, Ardan dan Aldi. Pastinya kedua orang tua Rilly langsung ke rumah sakit ketika mendengar anak satu-satunya itu sakit dan panasnya tidak turun juga.

"Sebenarnya, apa yang udah terjadi?" Ricky -Papa Rilly- kali ini ia benar-benar memperlihatkan ekspresi seriusnya, tidak ada tanda-tanda kalau ia ingin bercanda.

Kafka menutup matanya rapat-rapat sebelum mengangkat kepalanya untuk melihat Om Ricky, "Rilly hampir ingat."

Ricky menaikkan satu alisnya, "Gara-gara?"

Kali ini Aldi yang menjawab pertanyaan Om Ricky, ia kasihan dengan sahabatnya itu.
"Kita nggak ada yang tahu tentang itu Om. Waktu itu Rilly lagi sama Aldric dan tiba-tiba itu terjadi."

Ricky menatap Kafka tajam saat mendengar penjelasan Aldi. Tatapannya benar-benar menusuk orang yang ditatapnya.
"Kamu nggak jaga amanah?! Bukannya kamu udah janji mau jagain Rilly?!"

"Pa, udah. Kafka nggak sepenuhnya salah," tegur Lily, mama Rilly.

Kafka menunduk mendengar pertanyaan Om Ricky. Om Ricky benar, ia tidak menepati janjinya untuk selalu melindungi dan berada di samping Rilly. "Maaf Om, Kafka buat kesalahan lagi dan..."

"Dan kamu udah siap untuk nerima apapun yang terjadi nanti?" potong Ricky.

Kafka menghembuskan napasnya pelan. Ia mengangguk, "Apapun itu."

"Om nggak akan bisa ngapa-ngapain lagi kalau Rilly bakalan ingat semua yang udah kamu lakuin waktu itu. Om juga nggak berhak buat ngelarang Rilly buat marah ke kamu." Ricky mengingatkan.

Kafka mengangguk paham. "Kafka udah siap, Om. Semua itu bakalan terjadi mau itu sekarang atau nanti."

Ricky meneliti wajah anak temannya itu. Walau Kafka sudah banyak berkorban untuk Rilly, tetap saja Rilly prioritas utamanya. Ada yang menyakiti Rilly, ia tidak segan-segan untuk membuat orang itu mendapat sakit yang sama dengan anaknya. Tidak peduli siapapun orang itu.
"Ingat ya, Om nggak mau semuanya ke ulang sampai dua kali! Om nggak mau kalau Rilly sampai ngerasain sakit ini terus-menerus!"

Lily menyentuh pundak Ricky, ia mengelus punggung suaminya itu. Bagaimanapun Kafka sudah banyak berjasa untuk hidup Rilly apalagi ia tahu tentang perasaan Rilly terhadap Kafka. "Pa, jangan lupain seratus kebaikan dia gara-gara beberapa kesalahan dia."

Ricky menghembuskan napasnya perlahan. Kenapa juga ia harus seemosi ini? Rilly pasti tidak suka jika ia memarahi Kafka. "Lupain ucapa.... eh tetap ingat ucapan Om tadi, tapi jangan di masukin ke hati kalau ada kata-kata yang pedas atau apalah."

Lily mengerjapkan matanya beberapa kali, tidak percaya dengan pendengarannya. Ia salut dengan suaminya ini. Kemarahannya bisa langsung hilang begitu saja. "Kalian bertiga mendingan pulang dulu atau makan. Biar kami aja yang jaga Rilly. Nggak perlu cemas lagi sama Rilly. Rilly pasti baik-baik aja siang nanti."

Kafka, Aldi dan Ardan mengangguk kompak. Mereka saling melihat satu sama lain. Berbicara lewat tatapan mata mereka.

"Om, Kafka minta maaf kar...."

"Udah, udah. Minta maaf terus, nggak bosan apa?" potong Ricky.

Kafka tersenyum tipis, ia lalu menyalami mereka berdua, "Kami pamit dulu, Om, Tan. Nanti kami kesini lagi."

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang