Nineteen

13.9K 1.4K 134
                                    

Sometimes I wish you were in my place just to know how I feel.

Kesalahan terbesar seorang pria adalah memberikan kesempatan pria lain untuk membuat wanitanya tersenyum.

♢♢♢

Rilly turun dari mobil dengan semangat, hatinya merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang luar biasa. Mengingat semua yang Kafka lakukan terhadapnya. Ah, seandainya Kafka selalu seperti itu. Apa ia harus sakit terus menerus? Mungkin saja.

Rilly tidak langsung menuju kelasnya, dia malah menuju ruang osis. Jam segini biasanya Kafka sudah berada di ruang osis. Ketua osis pasti datangnya pagi.

"Pagi Rilly," sapa Aldric.

Rilly berdecak, kenapa pagi-pagi seperti ini dia harus bertemu dengan orang menyebalkan seperti ini? Tapi, nggak terlalu masalah baginya karena dia lagi senang. "Pagi juga."

Aldric tersenyum ke arahnya, "Lo nyariin gue?"

Rasanya Rilly ingin ketawa mendengar pertanyaan Aldric, "Jangan ke PDan deh. Gue kesini pastinya mau nyari Kafka."

Aldric langsung cemberut, "Kafkanya nggak ada. Udah di culik sama nenek lampir."

"Hahaha lucu banget sih," Rilly menggeser badan Aldric, tapi kekuatannya tidak cukup untuk menggeser badan Aldric dari pintu itu. "Minggir!"

"Udah gue bilang kalau Kafka di culik, jadi dia nggak ada di dalam," ucap Aldric yang masih bertahan dengan candaan murahannya.

"KAFKA!" teriak Rilly saat melihat Kafka yang berdiri di belakang Rilly.

Kafka menaikkan satu alisnya dan dengan satu dorongan dari Kafka, Aldric berhasil tersingkirkan. Well, Kafka masih tidak terkalahkan.

"Pagi Kafka," sapa Rilly terlebih dahulu.

Kafka menatap Rilly dengan tanda tanya. Melihat Rilly yang sepagi ini sudah ada di sekolah, pastinya ada sesuatu. Jarang sekali Rilly berada di sekolah sepagi ini.

Rilly melirik Aldric yang sudah terlihat kesal, "Kaf, masa Aldric bilang lo di culik sama nenek lampir."

Kafka menaikkan satu alisnya. Ia benar-benar merasa kalau ucapan Rilly tidak penting bagi dirinya dan siapapun.

Aldric tertawa pelan, "Di cuekin, makanya sama gue aja."

Rilly mendengus kesal, "Kaf, gue kesini mau bilang makasih untuk semuanya. Buat surat dan makananya, berkat lo gue jadi sehat banget!"

Kafka mengangguk, "Masih ada yang sakit?"

Rilly menggeleng, "Tapi kalau misalnya gue sakit dan lo perhatiin gue, gue rela sakit."

Kafka langsung menatap Rilly tajam, "Jangan sembarangan."

"Habisnya lo perhatiin gue, waktu gue sakit doang. Habis nggak sakit lagi, lo balik cuek lagi," sedih Rilly.

Kafka menghela napasnya, ia mendekat ke arah Rilly. Mengelus pipi Rilly pelan, "Gue bakalan buat lo sehat selalu. Jangan pernah lo sakit lagi."

Rasanya Rilly ingin berteriak mendapat perlakuan seperti ini dari Kafka. Ucapan dan sentuhan Kafka membuatnya merasakan kehangatan sekaligus kebahagiaan yang luar biasa. Walaupun cuman seperti itu. Walau hal yang di lakukan Kafka adalah hal-hal yang sederhana dan kecil.

Belum sempat Rilly membalas ucapan Kafka, Kafka sudah melangkah pergi. Sebelum Kafka pergi, Kafka mengelus pelan puncak kepala Rilly. Membuat kedua pipi Rilly merona merah.

Aldric di belakangnya berdecak, "Lo jangan mau di tipu sama Kafka, dia gituin semua cewek di sekolah ini."

Rilly memutar badannya, ia tidak terima Kafka di bilang seperti itu. "Lo pikir Kafka itu lo?! Kafka itu nggak sama dengan lo dan jangan pernah lo samakan Kafka sama lo!"

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang