Thirty Two

12.1K 1.3K 71
                                    

Dalam mimpi dan cinta tidak ada namanya ketidak mungkinan.

Adakah yang lebih tulus dari seseorang yang sabar menunggu, meski dia tahu tak akan mampu meraihnya?

Disaat rasa lelah itu sudah muncul dan semangat yang dulu pernah ada sudah tidak ada, maka hanya satu jalan yang harus ia pilih. Menyerah.

  ♢♢♢♢  

Kafka berdiri menyandar di samping pintu dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Ia berhasil menarik seluruh perhatian perempuan yang melewatinya. Walau ia hanya diam dan sama sekali tidak berekspresi, ekspresinya hanya datar saja. Namun itu sudah cukup membuat mereka semua hanya melihat Kafka seorang.

"Eh ada Kafka!" seru Sesil.

Orang yang ditunggunya sudah datang. Masih dengan tatapan datarnya, "Ikut gue."

Seakan Sesil sedang bermimpi saat mendengar kata-kata yang diucapkan Kafka.
"Ikut lo? Tumben banget lo yang nemuin gue."

Kafka terlalu malas untuk merespon ucapan perempuan yang ada disampingnya ini. Ucapannya benar-benar tidak penting dan ia tidak harus meresponnya. Untuk apa juga ia merespon ucapan itu? Buang-buang tenaga saja.

Sesil menghela napas, ia harus bersabar untuk menghadapi sifat Kafka ini. Untung ia suka, "Kita mau kemana, Kaf?"

Kafka menoleh sejenak ke arah Sesil, sebelum tatapannya berhenti ke sebuah ruangan. Ruangan yang biasa ia gunakan jika sedang lelah atau bosan. Ruangan pribadinya.

Mata Sesil mengerjap beberapa kali. Kafka mengajaknya ke ruangan itu?! Apa ia sekarang memang sedang bermimpi?! Tidak biasanya Kafka mengajak orang lain ke ruangan itu.
"Tumben banget Kaf, pasti ada sesuatu ya?"

Lagi-lagi Kafka tidak menjawab. Ia hanya membukakan pintu untuk Sesil dan mempersilahkan Sesil untuk masuk ke dalam tanpa bicara, ia hanya menggerakan kepalanya.

"Lo lama banget?! Tujuan lo apa ngurung gue disini, sedangkan lo pergi gitu aja?!"

Udah kayak cewek, protes mulu, batin Kafka.

"Aldric? Lo disini juga?" bingung Sesil.

Aldric langsung menemukan jawaban yang pasti saat ia melihat keberadaan Sesil dihadapannya. Namun ia mencoba untuk bersikap tenang, "Gue nggak punya banyak waktu buat hal ginian."

Ucapan Aldric berhasil memancing emosi Kafka yang sebenarnya sudah dipendam ketika ia mengurung Aldric diruangan ini. Ia mungkin bisa saja membunuh Aldric saat itu juga kalau ia tidak berhasil mengendalikan emosinya.

Kafka mengambil sebuah map coklat dari laci yang ada didekatnya. Ia menyerahkan map itu ke Sesil dan Aldric. Map yang isinya sama, "Bisa jelaskan?"

Sesil kesusahan menelan saliva saat ia melihat isi dari map itu. Sedangkan Aldric, ia hanya bersikap datar karena ia sudah menebak akan hal ini dari awal apalagi saat ia melihat Sesil.

"Ini bukti kalau selama ini ada hal yang lo sembunyiin dari Rilly dan lo yang ngejadiin dia boneka," jelas Aldric.

Satu alis Kafka terangkat. Bukan jawaban itu yang ia mau, "Gimana lo bisa tahu semuanya?!"

Aldric melirik Sesil yang hanya diam dengan wajahnya yang sudah pucat. Ia berdecih, dasar cewek! Didepan orang lain berani, didepan yang dia sukai jadi ciut! "Gue punya informan dan ya lo juga tahu kan, kalau zaman sekarang semuanya bisa dibeli dengan uang termasuk sebuah rahasia."

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang