Fifteen

14.8K 1.5K 223
                                    

Kalau kamu menyuruhku untuk menjelaskan alasan kenapa aku bisa jatuh cinta dengannya. Maka aku akan mengatakan, tidak tahu. Karena menjelaskan alasanku mencintainya sama saja dengan menjelaskan rasa air putih. Seakan-akan kita paham rasanya namun, kita tidak akan pernah bisa menjelaskannya.

Dia bukannya tidak melihatnya, hanya saja dia tidak mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta. Dia hanya tidak mengerti, apa arti cinta sesungguhnya.

♢♢♢

"Kaf, bukannya parkiran di bawah ya?" heran Rilly.

Kafka mengangguk, ia melirik Rilly yang terdiam di belakangnya. Kenapa dia?

Rilly menatap Kafka heran, "Terus kita mau kemana? Mau pulang, kan?"

Kafka menghela napas, "Ikut aja."

Rilly membentuk tanda oke di tangannya. Tapi, ia tetap berhenti dan tidak berjalan. Ia kehabisan tenaga. Bayangkan naik tangga dari lantai lima puluh dan sekarang sudah lantai enam puluh. Kenapa juga mereka tidak naik lift?

Rilly melirik Kafka penuh harap, berharap kalau jawabannya ada. "Keatasnya nggak ada lift ya?"

Kafka menggeleng, "Kenapa?

Rilly menghentikan langkahnya, ia duduk di anak tangga, "Kalau nggak ada, istirahat dulu deh. Kaki gue nggak sanggup lagi. Istirahat dulu ya?"

Kafka menaikkan satu alisnya mendengar ucapan Rilly. Ia mendekati Rilly dan berjongkok di depan Rilly. Tanpa mengatakan satu patah kata pun, Kafka membuka wedges Rilly. Memijat pelan kaki Rilly hingga ke betis.

Rilly tersenyum senang, "Kaf, gue nggak biasa naik ginian, nggak kayak lo yang hobi olahraga. Jadi, bentar lagi ya?"

Kafka tidak menatap Rilly dan menjawab pertanyaannya. Ia memakaikan kembali wedges Rilly. Lagi-lagi tanpa mengatakan sepatah kata pun, Kafka mnggendong Rilly ala bridal style.

"KAFKA!!" teriak Rilly refleks karena mendapat perlakuan seperti itu dari Kafka, "Lo ngapain Kaf? Masih lima lantai lagi loh! Badan gue nggak ringan!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"KAFKA!!" teriak Rilly refleks karena mendapat perlakuan seperti itu dari Kafka, "Lo ngapain Kaf? Masih lima lantai lagi loh! Badan gue nggak ringan!!"

Kafka berhenti berjalan, ia menatap Rilly dengan tatapan lembutnya yang membuat Rilly terdiam. Jantung Rilly kembali berdetak lebih cepat dari biasanya.

Rilly mencoba bersikap tenang. Ia takut kalau bunyi jantungnya bisa terdengar oleh Kafka. Kalau misalnya Kafka dengar, apa tanggapannya? Ah, ia juga kenapa bisa bernapas tidak biasanya?

Rilly mendongak, ia melihat setiap inci wajah Kafka. Senyum lebar langsung terukir di wajahnya. Sedekat ini, sudau di pastikan bisa membuat jantungnya seperti ini.

Mata, hidung, mulut dan wajahnya benar-benar sempurna. Tapi, bukan itu yang membuat Rilly jatuh cinta kepadanya. Sifatnya lah yang membuat Rilly bisa merasakan perasaannya sekarang.

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang