7. Bus Yang Sama

812 38 1
                                    

" Cinta tidak mengajarkan atas paksaan. Tapi bagaimana cara merelakan dan mengikhlaskan."

_____________________________________

Di perpustakaan.

"Kak, bentar lagi ada rapat di ruang OSIS. Kata kak Azriel, semuanya harus dateng," ucap seseorang ke arah Rivan. Kabar dari Fatin, adik kelas yang kebetulan juga anak OSIS.

"Oh iya. Nanti gue kesana. Nanti kalo gue belum dateng, bilangin kalo gue masih di perpus." Tutur Rivan.

"Ok kak!" jawab Fatin sambil bergegas keluar.

Hari masih pagi. Jam delapan kurang. Semua anggota OSIS sudah berkumpul. Rivan juga hadir dalam rapat itu.

"Begini, maksud gue mengumpulkan kalian kesini untuk membahas soal pelepasan kakak kelas akhir semester nanti. Berhubung kita akan naik kelas dua belas, kita akan menyerahkan jabatan kita masing masing ke adik kelas yang terpilih nanti." Terang Azriel selaku ketua OSIS.

"Jadi?" Rivan langsung angkat bicara.

"Jadi lusa ada upacara penyerahan jabatan ke anggota OSIS yang baru," jelas Azriel.

"Maaf Kak, tapi kita ada latihan upacaranya, kan?" tanya Fatin kearah Azriel.

"Ada. Nanti sehabis sekolah kumpul di lapangan upacara," ucap Azriel memperingatkan.

"Bagaimana setuju?" tanya ketos itu.

"Setuju...!" jawab semua anggota OSIS secara serempak.

Bel berdentang sebanyak empat kali. Menandakan waktu pembelajaran di sekolah sudah selesai.

Semua siswa-siswi mungkin ada yang pulang, ngafe, baca di perpus, dan ke kantin. Tapi lain bagi anggota OSIS yang sekarang sedang sibuk mempersiapkan latihan upacara untuk penyerahan jabatan nanti.

"Ih! Lama banget. Panas ini," gumam Della di tengah lapangan yang mendapatkan bagian paskibra. Hingga tak terasa dua puluh menit berjalan.

"Udah selesai kan? Sekarang kalian boleh istirahat!" perintah Azriel.
Semua anggota berlarian menuju parkiran dan menyambar motor dan mobilnya masing-masing.

Rivan kali ini memilih naik bus, karena tadi pagi berangkat bareng Kenna, soalnya sekolah mereka searah.

Rivan segera menuju halte depan SMA Jati. Tapi kedua matanya menatap seseorang duduk sendirian di halte.

Entah apa yang terjadi, sudut bibirnya terangkat samar. Dan ia segera berlari mendekati orang siapa yang ia maksud.

"Lama ya nunggu bus?" tanya Rivan sambil bersandar di tiang halte. Ticha masih diam. Ia mengalihkan pandangannya kearah jalan.

"Neng, bisu apa nggak bisa bicara sih?" tanya Rivan sambil duduk di samping Ticha. Lagi-lagi, Ticha masih terdiam.

"Cantik...!" sapa Rivan sekali lagi sambil memegang tangan Ticha yang ia sandarkan ke bangku halte.

"Ih apaan sih?" elak Ticha. Rivan segera melepas cengkeramannya.

"Nah gitu dong! Ngomong. Kalo ada orang nanya dijawab!" jelas Rivan.

"Emang tadi lo nanya sama gue?" ketus Ticha sambil menghadapkan wajahnya kearah Rivan.

"Yah, nggak dianggep." Rintih Rivan dramastis. Tetapi, senyuman terukir di bibir Ticha. Entah mengapa ia sangat menyukai tragedi semacam ini. Tapi ia masih bersikap diam.

"Eh kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Rivan sambil menggoyangkan tangannya didepan wajah Ticha. Ticha langsung bersikap dingin kembali.

Sepuluh menit lebih disini. Membuat Ticha sedikit bosan. Apalagi harus bertemu orang yang selalu ingin ia lupakan.
Malaikat pertolongan pun datang. Ticha segera masuk kedalam bus. Ticha mengira, Rivan tidak ikut dengannya. Tetapi betapa terkejutnya ia, ketika Rivan malah duduk disampingnya. Ticha membiarkan Rivan.

360 Derajat [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang