Aku pernah punya kekasih. Sebut saja Tiara, Mutiara. Entah mengapa di setiap momen bertemu. Ada saja porsi cerita yang disediakan spesial untukku. Seolah aku harus dengar dan kudu selalu tahu tentang kisah-kisah hidupnya. Hingga aku sadar, wanita memanglah mutlak butuh bahu untuk sekadar menyandar. Merebahkan sedikit dari sekian banyak beban yang memberatkan, istirahat barang sejenak atau bahkan betah berlama-lama.
Aku dulu punya kekasih, namanya Tiara. Tentu selalu ku dengar dengan santun apa saja kalimat yang berhasil ia rangkai. Ku simak dengan bijak. Ku perhatikan dengan santai tanpa mengalihkan perhatian ke objek lain yang sebenarnya lebih memikat. Untuk sekadar harga bahwa setiap kata yg ia ucap adalah bentuk amanah. Maka, sebagai lelaki yang juga ingin jadi berharga, tentu berperan sebagai bahu ternyaman adalah usaha keras pertama yg bisa aku lakukan.
Untuk waktu yang lama, masa itu aku menjalin kasih, masih dengan Tiara. Tiara yang sama, Mutiara. Tak ada alasan yang pasti kenapa menjadi bahu dan tempat curahan hati ternyaman adalah suatu pilihan yg berubah jadi keharusan. Bukan, sungguh tidak pernah ada rasa keberatan atau terpaksa. Nyata, benar terjadi. Fakta bahwa membahagiakan kekasih adalah kebanggaan bagi setiap laki-laki. Semua otomatis terbingkai tanpa pernah direncanakan matang. Semua mengalir ikhlas dan terjalin begitu membekas. Hipotesis sederhana, tak ada yang salah jika banyak pujangga berkata jika cinta menjadikan laki-laki bijaksana pada masanya.Kekasihku yang dulu masihlah Tiara. Tiara yang sama, Tiara yang suka bercerita tentang semua lelaki yang mendekatinya. Namun ia tak suka dengan cara-cara mereka. Entah tak suka caranya, sikap ataukah bentuk fisik. Sesuatu menyangkut tampilan visual, tampan. Saat bercerita tentang laki-laki yang menginginkan jadi lelakinya. Satu per satu ia jabarkan dengan antusias. Sesekali ia tunjukkan bukti dengan berbagai bentuk, tentu di dunia modern ini chat menjadi salah satunya. Dan aku, aku sudah pasti cemburu. Secemburu Habibie yg melihat Ainun menaruh perhatian lebih pada yang lain. Namun kau begitu mengenalku kawan. Aku selalu berhasil membingkai roman dengan tampang polos, meski hati pasti bergejolak, gejolak yang tak biasa.
Kekasihku itu masih tetap bernama Tiara. Entah kenapa terikat kuat dan kupertahankan begitu lama. Pasti, ia bercerita tak hanya menyoal asmara. Hidupnya amatlah luas dan tak sepenuhnya hanya terisi aku. Aku maklum, karena memang masa hidupku juga tak dominan berisi dia seorang. Semua memang harus berjalan seimbang. Saling mengisi saling mengerti. Sesekali ia ceritakan tentang pertikaiannya dengan sang kakak, penolakannya terhadap sikap orang tua yang kadang semena-mena baginya. Atau membagi segala kesibukan, kepenatan yang cukup melelahkan raga, mengusik fisik hingga kestabilan jiwa. Semua ia bagikan secara cuma-cuma seolah aku adalah peringan beban paling idaman. Sementara aku, seringkali lebih banyak membathin, "Ah, cuma masalah seperti itu. Harusnya kau mampu menyelesaikannya dengan elegan, sayang." gumamku dalam hati. Tapi tunggu kawan, jangan pernah mengutarakan bathin yg demikian dengan kalimat verbal langsung. Sebab, seringan dan seremeh temeh apapun masalah yg wanita sandang, tentu hal itu selalu menjadi beban terberatnya. Sama, semua manusia juga merasa demikian.
Adalah Tiara, Mutiara. Wanita yang seringkali kupamerkan bahwa dia adalah kekasihku. Ketika saat-saat berceritanya sudah usai, sesekali ia ingin mendengar pendapatku. Memperhatikan responku atau merajuk memaksaku berekspresi . Dan pasti saat kucoba membagi solusi, seringkali ia menolaknya. Karena tentu ia merasa bahwa dialah orang yang paling tahu bagaimana merasakan tiap kisah yg ia ceritakan. Sementara yg lain tak sedang berada di posisinya. Maka, jika demikian terjadi. Jadilah manusia pemaaf yang sabar dan segera tengkulak senyum sebanyak-banyaknya. Sebab, mereka terkadang tak butuh solusi. Hanya senang didengarkan, suka mengadu dan nyaman saat diperhatikan. Dan kesabaran, senyuman serta kebijaksanaanmu tentulah menjadi kenyamanan paling mengesankan di alam sadar dan dunia bawah sadar mereka.
Tiara masihlah kekasihku. Dan selain bercerita, tentu aku juga berkewajiban membagi ceritaku. Kisah-kisah hidupku. Seolah adat yang tak pernah tertulis, jika ada yang mengutarakan rahasianya, maka kita berkewajiban melakukan hal yang sama. Pastinya, cerita itu tak ku persembahkan semua secara membabi buta. Tapi, dia adalah salah satu destinasi terbaik curahan hati ini. Ada porsi yang kureka sesuai dengan kapasitasnya. Ada jatah yg sebaiknya kusimpan rapi sendiri, sambil menunggu Tuhan membersamai kesusahanku dengan kemudahan yang selalu Tuhan penuhi.
Kini, sekarang ia tak lagi kekasih. Hanya Tiara saja, Mutiara biasa. Kita memang pernah saling menikmati keindahan masing-masing. Beribu kali nemandang dari jauh lalu dengan sendiri terukir senyum. Dan ada banyak Senyum miliknya yang kusimpan untuk kukagumi sendiri. Ah, kawan. Semua selalu tak sama jika memang sudah beda. Aku memang bukan manusia terbaik, bukan pula munafik. Aku sadar-sesadar sadarnya jika aku tak ada seujung titikpun mendekati sempurna. Dan tentu, suatu saat kau akan mendengar banyak keburukanku yg bersumber dari Tiara atau siapa saja.Semoga Tuhan masih sebaik dahulu. Tak menilai kebenaran hanya dari satu sudut pandang saja. Ketika kau menemukan keburukan entah dariku ataukah dari kesendirianmu, jadikan itu pemicu, batu loncatan untuk menjadikan dirimu semakin baik dan lebih baik. Positive Action. Ojo dadi gaman sing ilang pamore. Mudah menyerah dan putus asa sepihak. Tuhan tak pernah menghitung apakah kamu berhasil ataukah gagal, karena bagi dia hitungannya bukanlah hasil melainkan perjuangannmu. Setiap keringat yang menguap dan tangis yang menetes karena berjuang, semua akan diganjar setimpal. Selamat membermanfaatkan diri, berjuang. :)
![](https://img.wattpad.com/cover/99695883-288-k124539.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Tanpa Diksi
PoesiaAku jatuh cinta pada sedikit hati. Maka saat mencintai, aku mencurahkan begitu banyak rasa. Tentu, aku tidak terima saat yang lain lebih menarik perhatianmu. Ketika cemburu seperti itu, izinkan aku marah. Aku berjanji, akan jadi pemarah yang terus b...