Matanya, mata hani. Tergambar sayup namun tajam memandang. Seolah tiap objek yang terkunci, pasrah, tak ada harapan untuk selamat lagi.
Matanya memang mata biasa. Meski nampak spesial ketika terlihat oleh mata ini. Tak terlalu lebar jua tak terlalu sipit. Sedang tapi nampak pas berpasangan dengan alis tebal itu.
Di sekitar mata itu, mata hani. Tergores gradasi hitam tipis. Bukan warna buatan merek make up luar negeri, gradasi itu adalah kekayaan warna alami. Itu pula yang membedakan hani dengan gadis lain seusianya, gadis-gadis di seluruh belahan dunia.
Ketika kebanyakan gadis mulai berlomba menumpuk gincu, bedak, maskara, eye shadow blush on hingga lip gloss di seluruh permukaan mukanya, hani menampilkan cantik yang sederhana. Tatkala perempuan di luar sana menampilkan cantik buatan, Hani bertindak lain. Ia berusaha menampilkan cantik yang ada di dalam, persis kata bijak Paulo Coelho yang selaras dengan tuntunan kanjeng Nabi Muhammad.
Dan mata ini, mataku. Apapun yang ditampilkan hani serasa nampak serasi. Tak pernah ada cela, meski yang lain menangkap berbeda. Rabbana ma khalakta hadza bathila. Sungguh, mata ini mensyukuri apapun yang ditampil hani.
Dan jika semua lelaki di dunia ini dianugerahi mata yang sama dengan mata ini. Maka jelas, hanya ada satu perempuan yang mampu 8 sejatuh cinta ini. Satu perempuan yang sama, hanya Hani saja.
Tuhan, pilihkan lelaki terbaik buat Hani. Cukup sisakan saja. Sembari ia berjuang mendekati mimpi-mimpinya. Sisakan satu, satu yang terbaik. Dari golongan hambamu yang ikhlas mengupayakan bahagianya, bahagia Hani. Sisakan satu buat Hani.

KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Tanpa Diksi
PoesíaAku jatuh cinta pada sedikit hati. Maka saat mencintai, aku mencurahkan begitu banyak rasa. Tentu, aku tidak terima saat yang lain lebih menarik perhatianmu. Ketika cemburu seperti itu, izinkan aku marah. Aku berjanji, akan jadi pemarah yang terus b...