Cara Membalas Caci Maki

890 44 0
                                    

Ada pepatah melayu yang mengatakan bahwa, lidah itu tidak bertulang. Pepatah ini seakan memberi peringatan bahwa karena lidah tidak bertulang sehingga setiap kata-kata mampu kita keluarkan. Hatta, kata-kata buruk dan cacian sekalipun. Lidah tidak bertulang sehingga kita bahkan tidak sadar kata-kata kita menyakiti orang lain. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengucapkan kata-kata yang buruk dan bahkan membinasakan.

Kemudian ditambah dengan pepatah lain, lidah lebih tajam daripada pedang.' Dua pepatah ini mengindikasikan betapa dari kata-kata itu sering timbul luka di jiwa orang lain. Bahkan luka di hati terkadang sulit untuk disembuhkan.

Yang lebih parah lagi, terkadang cacian dibalas cacian, makian dibalas makian, dan hinaan dibalas dengan hinaan yang setimpal. Sehingga selain timbul luka di hati juga timbul dendam dan kebencian diantara kedua belah pihak.

Lalu apa yang mesti kita lakukan ketika cacian itu datang? Marilah kita berkaca pada kisah hidup sang cucu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam , Hasan bin Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu/

Suatu hati Al-Hasan bin Ali sedang berjalan bersama anaknya, Muhammad, menuju pasar. Maka datanglah seseorang yang tak dikenal oleh beliau, lalu mencaci maki beliau. Caciannya panjang dan menyakitkan.

Al-Hasan bin Ali hanya diam saja, sementara Muhammad hanya mendengar tanpa komentar. Hingga orang tersebut selesai dengan umpatan yang keluar dari mulutnya dan berlalu pergi dengan gerutuan yang masih tersisa di mulutnya.

Bertanya Muhammad, sang anak pada ayahnya, "Duhai ayahku, mengapa engkau tak membalas atau membela diri?", tanyanya dengan penuh kebingungan, mencari penjelasan.

Jawaban Al-Hasan sangatlah indah, dia menjawab "Sebab aku tak tahu bagaimana cara membalasnya".

Betapa indah akhlak cucu Nabi. Ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Hasan radiyallahu anhu tidak tahu bagaimana cara membalas cacian. Kenapa? Karena al-Hasan tidak bisa menemukan kata-kata kotor yang bisa digunakan untuk membalas cacian yang dialamatkan kepadanya. Bahkan sekedar berkata, "Kamu pun tidak lebih baik dariku" kepada orang yang mencaci dia tidak sanggup.

Lalu bagaimana dengan kita? Mungkin saja ketika kita dicaci kita akan membalasnya dengan cacian yang sama. Atau paling tidak kita akan berkata, "Kamu juga nggak lebih baik dari saya. Memangnya kamu siapa?"

Dari kisah al-Hasan kita bisa memetik hikmah pentingnya menjaga lidah. Begitulah keagungan akhlak yang dibentuk Islam, bila yang memenuhi hati adalah ayat Allah dan hadits Rasul-Nya, maka tidak ada tempat untuk kata-kata kotor.

Bila yang dibaca setiap waktu adalah firman Allah yang indah, dan penguatnya adalah lisan Rasulullah yang mulia, maka membalas caci-maki pun jadi tak berselera.

Padahal Al-Hasan cucunya Nabi, nasabnya tinggi, , senantiasa murah hati, semenjak kecil dididik Nabi juga sangat disayangi, surga pun sudah menanti.

Lalu siapa kita? Yang bukan keluarga nabi, amal berantakan, hisab menegangkan, surga belumlah jaminan, lantas kita tak bersabar dengan akhlak yang baik?

Bilapun orang mencaci dengan kata dan cara yang paling kotor, biarkanlah. Kita tidak dihisab dengan ucapan mereka, tapi kita dihisap atas sikap kita terhadap mereka.

Saatnya kita membersihkan hati kita, sehingga dengan hati yang bersih, lidah pun akan bersih. Bersihkan lidah kita dengan memperbanyak interaksi dengan al-quran dan sunnah. Walau kita tahu bahwa kita tidak akan mungkin semulia al-Hasan, tapi kita berusaha untuk mengisi jiwa dengan kebaikan, seperti al-Hasan.

Semoga menginspirasi.

Renungan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang