1.b

4.6K 217 61
                                    

"Shillaaa!" Alyna menjerit panik sekuat-kuatnya. Matanya sudah terpejam rapat sebelum menyaksikan kejadian nahas itu.

Jantung gadis yang namanya diteriaki berpacu melebihi kapasitas normal. Berdegup sangat kencang. Suara pukulan tadi terdengar begitu keras. Terngiang jelas di telinga. Ia lantas menepuk-nepuk kedua pipinya. Masih hidupkah ia?

Pendengaran Shilla menangkap suara gaduh orang yang sedang berkelahi. Sumbernya dari arah belakang. Jantungnya semakin bergemetaran saja. Ia dicekam erat oleh rasa takut. Secara perlahan, Shilla menengokkan kepalanya ke arah belakang.

"Dikka?!"

Demi apa pun, Shilla benar-benar tidak menyangka kalau Dikka yang menolongnya. Di sana, ada Dikka yang menghabisi preman jahat itu. Ia memukul, menjotos, menendang. Bahkan nyaris mematahkan rusuk si botak. Si botak pun tak mau kalah. Ia menangkis berbagai serangan ganas dan menyerang balik pemuda itu. Meskipun nyaris kalah dan berkali-kali ia mendapat bogeman mentah, namun si botak tetap gigih melawan.

Butuh waktu semenit untuk Shilla sadar. Bahwa ia ternyata masih hidup. Dirinya selamat dari maut! Dikka dikirim Allah untuk menyelamatkan nyawanya tepat waktu. Syukur Alhamdulillah Shilla panjatkan. Shilla juga melihat bongkahan batu yang cukup besar tergeletak di aspal, dekat mereka yang sedang bergulat. Sungguh mengerikan kalau batu itu sampai menghantam kepala bagian belakangnya.

Alyna membuka matanya perlahan, menatap objek di depan. Di sana ada Shilla yang berdiri dengan keadaan selamat dan tidak apa-apa. Tubuh ramping sahabatnya itu masih lengkap. Kepalanya juga tidak bocor, pecah, ataupun terlepas dari leher.

"Doa gue terkabul, akhirnya ada orang yang menolong Shilla. Terima kasih ya Allah," syukur Alyna. Ia merasakan kelegaan tak terkira yang menyeruak di hatinya. Dalam kehidupan, segala sesuatu memang punya dua sisi. Seumpama ada orang jahat, tentu ada orang baik. Allah sangat adil bukan?

Detik berikutnya, mata gadis itu melotot tajam. Ia melihat si gondrong yang menghampirinya dengan pisau lipat di tangan. Rasanya Alyna ingin menghilang saat ini juga, terbang juga tak mengapa!

"Kyaaa!" Shilla langsung menendang lutut bagian belakang si gondrong.

Bunyi sayatan tercipta dari gesekan antara pisau dan kulit. Pisau tajam tersebut tak sengaja mengenai telapak tangan Shilla. Darah segar seketika merembes di sayatan luka yang cukup dalam.

Si gondrong kontan saja jatuh terduduk, posisi lututnya tertekuk. Saat yang bersamaan, si botak pun berhasil dibekukkan oleh Dikka.

Tanpa ada perintah, dua penjahat itu langsung bangkit lantas kabur. Mereka lari terbirit-birit meski rangka yang dibawanya sempoyongan. Mereka pantas mendapatkan itu. Semoga saja ini terakhir kalinya mereka berbuat jahat dan ada niatan untuk segera bertaubat.

Dikka langsung mendekati Shilla. Ia bertanya, "Lo gak pa-pa?"

Mata Dikka seketika terfokus pada darah yang menetes ke ujung-unjung jari gadis itu. "Tangan lo!" pekiknya tertahan.

"Gak sakit kok, ssst ...." Shilla meringis, menahan perih. Gak tahu kenapa ia menjawab seperti itu. Padahal tadi Dikka tidak menanyakan rasanya sakit atau tidak.

"Gak sakit gimana?! Darah lo berceceran. Gue bakal bawa lo ke rumah sakit!" kalap Dikka panik.

Shilla menatap indahnya mata berwarna cokelat madu milik pemuda yang kemarin ia temui di mall. Entah mengapa, Shilla melihat kecemasan yang begitu mendalam di sana. Ah, cepat-cepat Shilla memutus kontak mata dengan Dikka. Shilla menundukkan pandangannya cepat lalu beristigfar dalam hati.

"Gue benci rumah sakit."

Wajah Shilla kini semakin memucat. Pandangannya mulai mengabur. Rasa sakit yang bersumber dari telapak tangan sekarang menjalar ke seluruh tubuh. Membuat tubuhnya lemas dan nyaris ambruk hingga Dikka berniat menahannya.

"Gak perlu lo pegangin." Shilla menolak sambil menjaga jarak. Ia tidak ingin tumbang, sekuat tenaga Shilla menyeimbangkan tubuhnya agar tetap berdiri.

"Kenapa?" heran Dikka, keningnya semakin mengernyit.

Shilla hanya menggelengkan kepala tanpa memberi jawaban. Memejamkan matanya sejenak berupaya meredam sakit.

"Shilla! Lo gak pa-pa 'kan, Shill?!" Alyna tak kalah paniknya setelah menyaksikan adegan yang bikin jantungnya hampir copot barusan.

Sambil tersenyum menatap Alyna, Shilla mengangguk. "Iya. Gue gak pa-pa kok, Lyn."

Dikka berdecak sendiri mendengar jawaban Shilla. Tidak habis pikir dengan gadis ini. Tangannya berdarah-darah tapi masih tetap bilang gak pa-pa? Sumpah demi mimi peri yang semoga cepat tobat, Dikka jadi geget setengah mati!

"Ya Allah. Itu tangan lo berdarah, Shill!" Alyna yang masih diliputi rasa panik begitu terkejut kala melihat cairan berwarna merah di tangan Shilla.

Sedangkan Dikka, kemeja bermotif kotak-kotak bagian bawahnya lantas ia sobek untuk menutup luka gadis yang ditolongnya. Darah segar terus saja mengalir dengan cukup deras di telapak tangan Shilla. Dikka sungguh gereget dan tidak tega melihatnya.

"Eh-lo mau ngapain?" cegah Shilla.

"Ya nutupin luka lo lah, Shilla." Dikka semakin gemas sendiri dengan pertanyaan gadis yang sepertinya masih SMA ini.

Dengan gerakan pelan Shilla menyembunyikan tangannya ke belakang. Mungkin darahnya yang terus menetes mengenai rok abu-abu dia. "Gak usah repot-repot. Ini cuma luka biasa."

Alyna menatap dua manusia berbeda gender ini dengan ambigu. Melihat cowok yang menurutnya asing dengan tatapan sulit diartikan dan memandang Shilla secara miris. Alyna tahu alasan mengapa Shilla menolak bantuan si cowok.

"M ... sini kainnya. Biar gue yang tutupin luka sahabat gue." Alyna meneguk salivanya.

Meski benar-benar tidak mengerti, Dikka memberikan sobekan kain tersebut kepada gadis yang sesaat lalu Shilla panggil 'Lyn'. Dan gadis itu pun menerimanya. Lalu tak lama kemudian dia memerintah Shilla,

"Sini tangannya, Shill. Luka lo harus segera ditutup biar darahnya berhenti keluar. Kalau udah sampe rumah gue obatin nanti."

Dengan sangat menurut Shilla membiarkan lukanya diperban oleh Alyna. Padahal tadi ditawari Dikka tidak mau. Ck! Dikka tidak bisa berkata-kata.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang