39.b

1.4K 80 0
                                        

Lagi-lagi Shilla hanya menurut. Ia membuka tutup botol air mineral yang masih disegel itu. Gara-gara tangannya sedikit basah dan licin, beberapa kali Shilla jadi gagal untuk membuka tutup botol tersebut. Dikka yang melihatnya bertanya, "Kenapa Shill?"

Gadis itu nyengir lebar. "Gue gak bisa bukanya."

"Haha, kirain apaan. Sini gue bukain."

Pipi Shilla mendadak terasa panas. "Nih." Ia menyodorkan botol tersebut yang langsung diraih Dikka.

"Nah, udah. Minum gih, nanti tenggorokan lo kering."

"Ye ... peduli amat lo, hahaha." Shilla tertawa lantas meraih kembali air mineral itu dan mulai meminumnya.

Dikka tersenyum lagi sambil memerhatikannya cermat. Bagaimana Shilla mengucap bismillah, menempelkan bibir mungilnya di ujung botol tersebut, hingga Shilla meneguk air minumnya tiga kali lalu mengucap alhamdulillah setelah selesai.

"Ada apa?" Shilla bertanya karena merasa diperhatikan terus oleh pemuda itu. Diletakkannya botol tersebut di sebelah kanan dia, dekat bunga yang ia taruh tadi. Shilla pun menatap Dikka di samping kanannya dengan penuh selidik.

"Ah, enggak." Dikka terlihat seperti maling yang ketahuan mencuri. Ekspresinya sangat lucu, sampai-sampai Shilla menahan tawanya.

"Kenapa nahan tawa gitu?"

Shilla menanggapi pertanyaan bernada kesal yang terkesan menahan malu itu, "Ah, enggak." Ia menirukan suara Dikka yang seperti terkejut tadi. Dan kali ini, Shilla tidak bisa lagi menahan tawanya. Ia tertawa keras.

Dikka yang sebenarnya masih kesal, namun karena melihat dan mendengar renyahnya Shilla tertawa, ia pun ikut tertawa keras.

Sungguh, terasa dunia milik berdua. Padahal, dari tadi banyak pengunjung taman yang berada di sekitar mereka. Berlalu-lalang, hilir-mudik melewati dua insan tersebut.

Shilla yang pertama kali menghentikan tawanya, lalu disusul Dikka. Detik berikutnya, Dikka mengambil botol tersebut dengan tangan kanan, membuka tutupnya, membaca bismillah, dan mulai meminumnya santai.

Gadis itu melotot beberapa detik. Ia tidak menyangka Dikka akan minum bekas dirinya. Dikka menempelkan bibirnya pada ujung botol tersebut, sama persis seperti bekas bibirnya tadi. Shilla menunduk, menelan salivanya. Mereka secara tidak langsung ci-Tidak! Shilla tidak boleh berpikiran di luar batas.

Hingga akhirnya Dikka selesai minum dan menaruh botol itu kembali, hening untuk beberapa saat.

"Kok, kayak ada manis-manisnya ya?"

Pertanyaan tadi sukses membuat Shilla melotot kembali dalam menunduknya. "Dikka, ck!" decaknya kesal. Menahan detak jantungnya yang menggila.

Dikka tertawa kecil. Ia lalu mendengus, berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara jujur pada Shilla. "Shill?" panggilnya pelan.

Shilla menoleh dan menyaut, "Ya?"

"... ada yang perlu gue sampein ke elo, harusnya dari dulu, tapi gue baru berani ngomong sekarang, gak pa-pa 'kan?"

"Iya, gak pa-pa, emangnya apaan sih?"

"Lo mau dengerin?" tanya Dikka cemas.

Shilla terkekeh gemas, "Iya Dikkaaa. Ngomong aja."

"Gue ...."

"Kenapa?" tanya Shilla. Sejenak, ia melihat gerakan bibir menawan Dikka yang sedikit bergetar saat akan berucap. Siapa tahu, Shilla bisa menebak apa yang akan Dikka utarakan.

"Gue ... gue .... Ah, m ... gue cinta sama lo."

Deg.

Mata Shilla membulat dua detik. Debaran aneh yang semakin tak beraturan terus menghentak-hentak jantungnya. Ia mengatur napasnya yang sempat tertahan.

"Lagi bercanda ya?" tanya Shilla. Ingin memastikan, jangan sampai ia terlalu percaya diri.

Yang Dikka bilang tadi bisa saja salah bukan? Atau bisa jadi telinganya yang bermasalah?

Namun ternyata, Dikka menggeleng pelan. Pertanda kalau ia tidak bercanda.

"Gue beneran, Shilla. Sejak pertama gue lihat wajah lo di mall, terus ngelawan preman waktu itu, gue jadi kayak orang gila. Apa-apa inget lo, berasa lo ada di mana-mana dan di waktu kapan aja. Gue terus mikirin lo, gak ada orang lain yang gue pikirin selain lo."

"Gue tahu, ngungkapin perasaan ini ke elo itu enggak ada gunanya. Karena kalau serius, harusnya gue datang langsung ke orangtua lo, bicarain baik-baik."

Shilla hanya bisa diam, mendengarkan baik-baik, membiarkan Dikka mengutarakan semua isi hatinya.

"Tapi ... gue terlalu pengecut Shill. Biarpun kata orang gue playboy-sering gonta-ganti pasangan padahal mah, nggak, tapi nyali gue sebenernya melempem, cemen, kalo menyangkut tentang lo. Gue tahu alamat rumah lo, tapi enggak pernah main ke sana. Bahkan nanyain kabar lo aja, seringnya malah nanya ke Alyna."

"Alyna?"

"Iya, gue berterimakasih banget sama Alyna. Dia udah mau dengerin curhatan gue tentang lo, bersedia cerita apapun tentang lo buat gue, ngasih info yang menyangkut tentang lo, dan ngabarin kegiatan apa aja yang lo lakuin di sekolah. Iya, gue sampe sebegitunya minta ke Alyna, kerena lo, Shill."

Ya, Tuhan! Rasanya Shilla ingin berteriak sekarang!

"Shilla ... gue tahu, gue bukan cowok tipe lo. Gue bukan cowok sholeh, ilmu agama gue masih cetek, gue masih jauh dari kata sempurna, dan berani-beraninya gue ngarepin lo yang jauh lebih baik dan jauh lebih sempurna. Tapi Shill, gue bakal berusaha buat sebanding dengan lo, gue bakal berusaha buat jadi manusia yang lebih baik lagi. Dan ... gue bakal berusaha buat jadi imam rumah tangga yang terbaik buat lo."

Mendengarnya, Shilla hampir menangis karena terharu. Rasanya bahagia, namun juga pedih. Ia bahagia karena ternyata Dikka juga mencintainya dan berjuang menjadi orang yang lebih baik lagi untuk mendapatkan dirinya yang sebenarnya jauh dari kata sempurna. Shilla sangat bahagia, cintanya terbalaskan. Namun di saat bersamaan, semuanya terasa pedih. Mengingat ia sudah dijodohkan dengan pemuda pilihan orangtuanya. Acaranya besok malam pula.

"Gue ngomong gini enggak main-main Shill. Gue bakal buktiin kalau gue serius."

Shilla menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan-pelan bersama rasa sesak yang menyergap dada.

"Shilla, lo juga cinta sama gue 'kan?" tanya Dikka penuh harap.

"Ya," jawab shilla mantap. Ia tersenyum lebar dengan bibir bergetar menahan tangis kekesalan.

Kalau saja mereka sudah jadi mahram, Dikka pasti akan langsung memeluk Shilla erat. Sungguh, Dikka benar-benar bahagia mendengar pengakuan langsung dari Shilla. Rasa bahagianya saat ini sulit untuk dijabarkan.

"Lo gak punya pacar 'kan Shill?"

Ayolah, Dik. Pertanyaan macam apa ini?

"Cewek sholeha gak mungkin pacaran. Ya, biarpun gue belum jadi cewek sholeha, tapi gue gak punya pacar kok."

Dikka memasang wajah bodoh, ia tersenyum konyol. "Gue cuma mau mastiin."

Shilla terkekeh.

"Jadi, gue punya kesempatan besar buat jadi ... suami lo?"

Jantung Shilla tersentak sebelum akhirnya menggeleng lemas.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang