Sekarang pukul 11.55 siang. Jam istirahat pertama sekaligus akan memasuki waktu salat dzuhur. Dengan langkah santai, Shilla berjalan menuju meja Alyna.
Saat siswa yang lain pada keluar kelas, sahabatnya itu malah asyik berkutat pada buku fisika. Pelajaran fisika memang setelah istirahat. Akan diadakan ulangan pula.
Shilla lalu duduk di kursi kosong sebelah Alyna, tempatnya Fika. Ia berkomentar, "Serius amat, Lyn."
Mendapati sosok lain di sampingnya, Alyna pun menoleh. "Iya. Gue harus belajar ekstra nih, abis ini kan ulangan," ujarnya semangat. "Emang lo gak belajar?" Alyna lantas bertanya.
Shilla mengangkat kedua alisnya. "Hn, ingatan gue enggak begitu baik."
Mengernyit, Alyna menatap sahabatnya sejenak. Lalu tertawa kecil. Bukan bermaksud mengejek. Namun, lucu saja mendengarnya.
"Makanya belajar, Shilla Anindya. Aneh deh," gemas Alyna. "Ya ... kalau lo mending sih, selalu dapet juara satu dari SD sampe sekarang. Enggak belajar juga nilainya bakal tetap gede."
"Ya, enggak gitu juga. Yang pintar tetapi jarang belajar pasti bakal menurun kepintarannya. Apalagi gue yang bodoh, gak pinter-pinter amat."
"Selalu deh, gak mau ngaku kalo lo emang pintar." Alyna terkekeh. Gadis yang rambutnya dibiarkan tergerai indah itu kembali membaca bukunya lagi. Menghafal materi dan beberapa rumus.
Shilla bergumam kecil. Ia sedikit ragu untuk mengatakannya. Namun, rasa penasaran yang berkecamuk berhasil mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Ini tentang cowok bernama Dikka itu.
"Lyn," panggil Shilla pelan. Alyna menatapnya dengan tatapan hangat, menunggu Shilla melanjutkan ucapannya.
"Waktu itu ... lo pernah bilang kalau lo ketemu sama si Dikka-Dikka itu kan?"
"Ya, memang kenapa?"
Shilla mendadak mengerucutkan bibirnya. Memasang wajah sebal.
"Semalam, dia kirim pesan dan telepon gue. Nyebelin banget pokoknya. Terus dapat nomor gue dari mana ya dia? Masa bilangnya dari tiang listrik."
Alyna menutup buku catatannya. Memandang Shilla dengan cengengesan. Gadis itu akan memberitahu Shilla.
"Hehe ... sebelumnya, sorry. Gue baru bisa bilang hal ini ke lo sekarang. Soalnya kalau gue kasih tahu pas kita lagi kumpul bareng, Ita dan Gatha 'kan suka heboh banget tuh kalo bahas Dikka."
Shilla mengerutkan kening. Sedikit bingung terhadap ucapan Alyna.
"Ummm ... Shill, gue yang kasih nomor HP lo ke Dikka pas gue ketemu dia di mall. Gue lupa kapan, pokoknya udah lama. Dia minta nomor lo ke gue. Tampangnya cool tapi melas banget. Gue agak keberatan sih, tapi kasian kalo gak dikasih."
"Kenapa lo kasih? Ish, nyebelin deh." Shilla mendengus.
"Gak apa-apa kali, Shill. Lagian, enggak ada salahnya 'kan?"
Shilla menghela napas lesu. "Yah, semoga."
Emosi labil Shilla yang sedang kesal perlahan meredam saat mendengar adzan yang saat ini dikumandangkan. Shilla mengembangkan senyum cerianya. Bahkan senyumnya seolah sampai telinga.
"Lyn, salat, yuk!" Ia berdiri dari tempat duduk, mengajak Alyna.
Alyna ikut berdiri. "Yuk! BTW ... lo gak marah 'kan, Shill?" tanyanya hati-hati.
Meskipun sebenarnya Shilla bukan tipe gadis yang suka marah-marah, namun tetap saja Alyna takut kalau Shilla akan marah. Karena Alyna sudah memberikan nomor Shilla ke Dikka tanpa seizin pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...