Tidak ada masalah lain selain masalah tentang perjodohan yang terus terngiang di benak Shilla. Perkara besar tersebut kian mengusik pikirannya, bikin tidak nyaman. Shilla jadi pusing sendiri, ia tidak tahu harus bagaimana.Setiap malam, gadis berkerudung itu selalu salat istikharah agar dimudahkan dalam menentukan pilihan. Namun, hatinya masih ragu atas pilihan yang sudah ia dapat. Shilla belum bisa menerima perjodohan itu, apalagi menikah. Ayolah, calonnya saja ia tidak tahu. Semuanya jadi terasa berat.
Sejujurnya, Shilla ingin menolak besar-besaran kepada kedua orangtuanya. Namun, ia tidak bisa. Lagian, mana mungkin ia melawan kedua orangtuanya yang selama ini sudah bersusah payah merawat dan mendidiknya sampai besar seperti sekarang ini. Ia tidak mau jadi anak durhaka. Bisa masuk neraka nanti dia.
Yang bisa Shilla lakukan sekarang hanyalah tawakal. Pasrah dan berserah diri pada Allah SWT yang sudah mengatur segalanya. Dalam waktu cepat, semuanya pasti akan terjawab. Ia hanya perlu menyiapkan diri, mental, dan emosi.
"Beneran lo mau dijodohin?!" Ita bertanya histeris, dia orang yang paling heboh dalam memberi respons terhadap cerita Shilla barusan.
"Ita! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" tegur Gatha. Ia melirik beberapa orang di sekitar yang sekarang jadi memerhatikan mereka.
Shilla mendengus. Ia menelungkupkan wajahnya di meja kantin. Meski sekolah sudah tidak ada pembelajaran lagi setelah UN, namun ia tetap berangkat untuk berbagi kedilemaannya pada mereka. "Hm, gitu ..." gumamnya racu.
"Terus lo mau gak, Shill?" tanya Alyna, bingung sendiri. Ia tidak menyangka semuanya akan begini.
"Cowok yang mau dijodohin sama lo siapa?" ini Gatha yang bertanya.
"Berarti lo luswin dong? Lulus kawin." Fika bikin suasana hati Shilla malah semakin enggak nyaman.
"Calonnya Gavin, Shill?" Ita bertanya, menduga. Yang lain melotot tak percaya.
"Gavin? Demi apa?!" Gatha terkejut.
"Dia beneran tepatin janjinya?!" tanya Fika, tak kalah terkejutnya dengan Gatha. Sebelumnya, Shilla memang pernah curhat kalau Gavin berniat melamarnya di waktu yang tepat. Makanya Fika tahu.
Ita lalu melanjutkan, "Ah, terus cita-cita lo gimana? Dikka gimana??"
Pusing! Shilla meremas kepalanya yang terbalut kerudung. Pertanyaan-pertanyaan mereka malah membuat kepalanya tambah pening. Bukannya mencari dan memberikan solusi, mereka malah sibuk bertanya tentang masalah ini.
"Duuuh, jangan nanya mulu napa? Pusing nih, bukannya cari solusi." Shilla mengangkat kepalanya lalu menatapi mereka. "Gue harus gimana dong?" tanyanya setengah menyerah.
Ita menghela napas. Ia berpikir sejenak. Lalu berucap, "Menurut gue sih ya, lo nurut aja sama orangtua, rida Allah 'kan terletak pada rida orangtua."
"Ita bener, Shill. Jangan sampe kita ngebantah dan membangkang. Kalau orangtua sampe marah, bisa berabe. Allah juga pasti murka. Takut banget 'kan? Lagian, nurut sama orangtua dalam hal kebaikan enggak ada salahnya, malah berkah," timpal Fika. Kemarin malam, ia mendengar siraman rohani tentang seorang anak yang durhaka terhadap orangtua.
"Lo yakinin hati lo, Shill. Jangan ragu-ragu." Gatha memberi saran secuil. Namun, cukup bermakna.
"Semuanya ada di tangan lo. Lo harus bijak dalam ngambil keputusan sendiri," ucap Fika.
Untuk beberapa saat, Shilla merenung. Ia menenangkan diri. Berusaha rileks dan menjernihkan pikirannya yang kalut. Gadis itu juga berkali-kali menyebut asma Allah sebagai pengobat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
EspiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...