32. Kembali

1.3K 74 10
                                    

Shilla menghirup udara sejuk di bulan Januari dengan tarikan pelan. Beberapa detik kemudian ia mengembuskannya perlahan. Berusaha melepas segala pemikiran-pemikiran negatif dan menggantinya dengan pemikiran positif.

Ia melangkahkan kakinya menuju kelas dengan ceria dan senyum mengembang. Menyambut pelajaran di semester dua ini, membuka tangan terbuka untuk mengerjakan segala tugas, dan siap menghadapi UN nanti.

Dengan menyertakan Allah di setiap helaan napas, ia sangat yakin semuanya pasti akan berjalan lancar dan diridai.

Masalah Dikka, sedikit demi sedikit hatinya perlahan mengikhlaskan. Ia sudah melapangkan dada atas semua kenyataan pahit. Shilla jadi semakin sadar, bahwa seharusnya ia lebih mencintai Allah dan tidak mengharap kepada selain Dia.

Sekarang, salat di sepertiga malamnya makin tekun, hampir setiap hari. Beberapa waktu lalu nama Dikka memang selalu disebut dalam doa agar menjadi jodohnya. Namun kini, urusan jodoh Shilla serahkan sepenuhnya pada Allah.

"Shillaaa! Gue kangen." Ita berhambur memeluk Shilla yang sedang berdiri dan memegang sapu. Sahabatnya itu sudah seperti tukang bersih-bersih saja.

"Ita, kangen sih, kangen. Tapi gak usah berlebihan gini dong."

Ita melepaskan pelukan eratnya. Ia menyengir. Giginya sekarang terlihat putih bersih.

"Ah, gue kangen, Shil! Sekangen-kangennya orang kangen yang paling kangen di dunia kangen yang lagi kangen!" Gadis itu berseru heboh dan cekikikan sendiri.

Mendengar ucapan tidak jelas dari Ita, Shilla malah tersenyum bahagia. "Iya deh, apa kabar lo, Ta? Keluarga di kampung gimana?"

"Bikhoir, alhamdulillah. Semuanya baik. Lo sendiri, gimana?"

"Ana aidhan." Shilla menjawab lalu mulai menyapu lantai.

Hari ini memang bukan bagian piketnya, namun melihat lantai yang sedikit berdebu akibat tidak dihuni selama dua minggu lebih, membuatnya berniat untuk membersihkan. Terlebih lagi kebersihan adalah sebagian dari iman dan Allah mencintai kebersihan.

Ita menaruh tasnya di kursi yang bersebelahan dengan kursi Shilla. Anak yang baru datang hanya ia dan Shilla. Wajar, sekarang masih pukul 06.21 pagi. Gadis itu lantas ikut mengambil sapu di pojok belakang. Setelahnya, menyapu lantai di bagian lain.

"Ta, kapan-kapan ajak gue dong, ke Palembang." Shilla membuka suara.

"Yeh, kemarin lo gak ikut gue liburan di kampung. Emang ... bosen ya, di Jakarta?"

"Enggak sih, cuma ... gue pengen tahu dunia luar itu kayak gimana."

"Lo mah, masih polos Shill. Hahaha."

"Ih, apaan deh."

Alyna mengucapkan salam saat masuk ke kelasnya. Dua gadis itu menjawab salamnya dan berhenti dari aktivitas menyapu. Rok abu-abu span Alyna yang panjang langsung jadi fokus utama mereka.

"Rok lo kenapa kotor gitu, Lyn?" Ita yang pertama kali bertanya.

"Iya, kenapa kotor gitu?" tanya Shilla kemudian.

Alyna memasang ekspresi yang sepertinya dibuat biasa saja. "Tadi gue naik motor, ada mobil Sesi yang ngebut dan nerjang kubangan air. Gue yang posisinya ada di samping dia, jadi kecipratan air deh." Ia menjelaskannya sembari menepuk-nepuk bagian rok yang masih basah dan bernoda.

"Bener-bener ya, si Sesi, uhhh!" Ita jadi geram mendengarnya.

"Astagfirullah ...." Shilla cuma mampu beristigfar.

"Ini masih mending sih, seminggu yang lalu ...."

"Kenapa?" Ita dan Shilla bertanya kompak.

"Ah, gak apa-apa. Lupain-lupain," sergat Alyna cepat. "BTW, gimana liburannya?" tanyanya berganti topik.

***

Untuk melawan hawa dingin yang menyergap, Shilla menggosok-gosok telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi. Sesekali ia mengusapi bahunya agar tercipta sedikit kehangatan. Hujan deras disertai tiupan angin yang cukup kencang membuat dia tidak bisa pulang dan terpaksa menunggu di halte bus ini.

Ah, tahun baru memang identik dengan musim hujan. Dan Shilla tadi berangkat diantar sopir pribadi. Kurang beruntungnya, mobil dia mogok di tengah jalan saat akan menjemput.

"Harusnya gue tadi mau diantar Alyna, jadi gak kejebak hujan gini." Shilla menyesali keputusannya sendiri.

Awalnya, ia hanya tidak mau merepotkan Alyna. Namun kalau tahu akan hujan deras begini, ia pasti menerima ajakan sahabatnya itu.

Ia menatapi jalanan beraspal yang memantulkan percikan tetes hujan. Lalu menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Ia punya ide. Kakinya pun melangkah semakin dekat untuk mendekati derasnya hujan sebagai upaya merealisasikan idenya barusan.

Kali ini tubuhnya benar-benar basah oleh guyuran air hujan. Kerudung, seragam, tas, sepatu, semuanya sudah kuyup. Untuk sejenak, Shilla tidak memedulikan hal itu.

Di bawah hujan yang menderas, Shilla menari-nari kecil. Berjalan riang dan terkadang meloncat-loncat sambil bersenandung. Atau sekadar menendangi aliran air di jalan kemudian tertawa bahagia. Sudah lama ia tidak hujan-hujanan.

Bukannya ia tidak takut sakit karena hujan-hujanan. Namun, sakit itu datangnya dari Allah. Dan kita tidak boleh suudzon pada-Nya.

Gadis itu sudah berjalan jauh meninggalkan area halte bus. Setelah beberapa saat, ia menghentikan langkahnya di tengah jalan. Baru sadar. Ada sesuatu yang ia lupakan.

"Ya Allah. Buku gueeeee!" soraknya heboh. Buku-buku pelajaran di dalam tas yang ia bawa pasti ikut-ikutan basah. "Duh, bego banget. Kenapa gue bisa lupa sih?!"

Saat kaki Shilla akan melangkah untuk menepi di pinggir jalan, tepatnya di bawah rindangnya pohon, sebuah mobil melaju begitu cepat dari arah depan. Mobil itu nyaris menabrak tubuh Shilla jika si pengemudi tidak langsung menekan pedal gas.

Bunyi decitan ban mobil yang mengerem mendadak, membuat rasa ngilu di gigi. Shilla tetap diam di tempat dengan jantung deg-degan hebat. Wajahnya sudah ia tutup rapat-rapat.

"Mbak, Mbak gak pa-pa kan?" tanya si pengemudi cemas.

Shilla menggeleng perlahan. Suara barito itu, ia sangat mengenalinya. Gadis berkerudung putih dan seragam OSIS panjang itu perlahan membuka wajahnya. Menatap sosok di depannya dengan degupan jantung yang sensasinya terasa berbeda.

"Shilla?" Sosok pemuda itu menyebut namanya seolah tidak percaya.

"Ga-Gavin?" gagap Shilla. Wajahnya memasang ekspresi terkejut.

"Aku kangen banget sama kamu, Shill." Pemuda yang Shilla sebut Gavin itu langsung mendekap tubuh mungilnya erat. Sangat erat.

Wajah Shilla mendadak pucat pasi. Tubuhnya membeku seiring dinginnya hujan dan terpaan angin yang menggila. Ia ingin berontak dan melepaskan pelukan erat lelaki itu. Namun sekali lagi, ia tidak bisa. Tenaganya seolah sirna.

"Kamu apa kabar, Sayang? Aku bener-bener kangen banget," suara Gavin terdengar terisak. Mengalahkan riuh gemuruhnya hujan.

Shilla mematung di tempat dengan bibir bergetar. Nalurinya kini menjerit. Hatinya menangis.

Apalagi saat tak sengaja melihat Dikka di halte bus ujung sana sedang menepi bersama seorang gadis cantik. Shilla tersenyum. Bersyukur karena air hujan berhasil menyamarkan derai air matanya.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang