16.b

377 12 0
                                    

"Bangke! Kalau Fika bejat terus lo apa?!"

Dengan cekatan Alyna dan Gatha mencegah Ita dan Sesi yang akan berperang sengit. "Udah, Ta. Biarin dia. Api dibalas dengan api malah tambah kebakar." Alyna menenangkan.

"Gue emosi, Lyn. Sesi itu udah bener-bener kelewatan," ucap Ita jengkel.

"Ta, biarin. Biar gue sendiri yang hadapi dia." Fika yang sejak tadi mati-matian menahan amarahnya kini bersuara. Sebenarnya ingin sekali ia mencakar-cakar wajah Sesi, gadis busuk itu. Namun, itu hanya akan memperkeruh keadaan.

"Iuh, keluar aja lo dari sini! Mencemarkan nama baik sekolah! Masa ada siswi SMA Tunas Bangsa yang hamil di luar nikah?"

"Ih, enggak banget." Sica mencibir.

"Sesi! Cukup! Bualan lo itu fitnah! Omong kosong!" tegas Fika menajam.

"Fitnah atau fakta? Kadang beda tipis sih, Hahaha." Sesi bertanya dalam bentuk menyindir. Ia lantas tertawa biadab bersama teman-temannya.

Fika menghanguskan api yang membakar hatinya dengan beristigfar. Ia berucap santai, "Apa masalah lo sama gue? Suka-suka gue dong. Kenapa lo yang repot?"

"Sok suci, lo! Munafik!" Sesi menatap sosok Fika sesinis mungkin.

"Sesi Fandita, kalo penampilan gue yang kayak gini lo bilang sok suci dan munafik, berarti lo lebih pantes gue bilang PELACUR! P.E.L.A.C.U.R." Fika menekankan setiap ucapannya. Di bagian akhir, ia mengeja kata "Pelacur" dengan artikulasi yang sangat jelas.

Setelah itu, ia pergi dengan anggunnya. Membiarkan Sesi terperangah lebar nan geram. Membuat seisi kantin melongo dengan ucapan tegasnya.

***

"Gak usah didengerin, Fi. Kalau udah capek, mereka pasti berhenti sendiri." Shilla memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berlima.

Usai kejadian di kantin tadi, Ita, Gatha, dan Alyna mengikuti langkah Fika. Mereka menemukan gadis itu sedang duduk di bawah pohon beringin belakang sekolah. Menekuk lutut dan menunduk. Para gadis itu pun ikut duduk di samping Fika, berempati.

Beberapa saat kemuadia, Shilla menyusul. Ia tahu dari anak-anak kalau Sesi berbuat ulah lagi. Kali ini Fika yang jadi korbannya.

"Gue juga sering digituin. Bahkan lebih parah, nyaris gila dengernya. Ini tuh, cobaan Fi. Lo harus kuat. Dan gue yakin, lo pasti kuat dan bisa ngadepinnya."

Ya, Shilla ada benarnya.

Fika menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang sangat besar. Ia menghirup udara sejuk dengan tarikan pelan dan memejamkan matanya kuat. Menahan sakit dan sesak.

Mereka mengungkit-ngungkit sosoknya yang dulu. Seburuk itukah ia kemarin? Hingga mereka menghujatnya dengan amat keji.

"Lo hebat Fi, gue tahu kalo menutup aurat itu udah kewajiban bagi setiap muslim. Tapi, gue selalu belum siap untuk memakainya terus." Alyna tersenyum getir. Menatap ranting-ranting pohon beringin yang melambai tersapu angin.

"Kalo gue, masih bego. Takut gak tahan dicibir ini-itu. Apalagi kalo sampe kayak lo tadi," sambung Ita menunduk seraya mencabuti rumput teki di depan tekukan kakinya.

Shilla menatap Ita dan Alyna secara bergantian. "Berarti, masuk neraka sudah siap?"

Alyna menyanga pipinya dengan kedua telapak tangan. Ia menggeleng lemas. "Sama sekali belum siap. Enggak siaplah, Shill. Ngaco!"

"Kapan siapnya?" Gatha tiba-tiba bertanya.

"Nanti." Ita yang menjawab, lesu. Ia menepuk-nepuk tangannya di paha, memberi alunan musik. Ya, ketimbang suasana di antara mereka sangat sepi.

"Yang nanti juga bakal jadi sekarang. Nah, kalo enggak sekarang, kapan lagi?" tanya Shilla.

Bibir Ita dan Alyna terkatup. Mereka masih diam. Teralu sibuk dengan pikiran masing-masing.

Shilla tersenyum. "Ah, gue juga pernah di posisi kalian. Belum siap menutup aurat. Dengan alasan, takut dihina segala macem, masih pengen pake baju-baju trendy, rok mini, celana ketat yang menggoda iman, ngerubah gaya rambut, dan masih ada 1001 alasan lagi. Hn, gue paham kok, ngerti banget gimana rasanya. Tapi perintah menutup aurat itu datang langsung dari Allah. Sebagai umat muslim kita wajib ngelaksanain itu."

"Kemarin-kemarin gue ngerasain yang Shilla omongin." Fika ikut tersenyum. Mengingat ke belakang bagaimana dirinya. "Dan sekarang, Alhamdulillah, gue udah sadar."

Ita dan Alyna masih terdiam. Sungguh senyap. Sampai suara semut yang berbisik seolah terdengar.

"Ta. Yuk, sekarang," ajak Alyna dengan senyum mengembang.

"Ngapain?" tanya Ita polos. Sepolos bayi merah yang baru keluar dari rahim ibunya.

"Menutup aurat, pulang sekolah beli seragam sama baju-baju panjang. Oke?"

Ita mengangguk semangat. Menatap wajah Alyna yang begitu semringah. Ia tersenyum lebar saat mendapat ajakan Alyna. "Traktir gue ya?"

Gatha tertawa pelan, dasar Ita. "Iyain aja, Lyn. Tabungan lo kan banyak. Secara, lo itu anak dari pemilik perusahaan ansuransi terbesar di Jawa."

Ita mengangguk semangat pertanda menyetujui ucapan Gatha. Kali ini ia menunjukkan puppy eyes-nya. "Iya, lo kan anak orang kaya, Lyn. Traktir yah? Yah?"

"Ish, Gatha, Ita ... gak usah diomongin," sergat Alyna lalu menengok ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada yang mendengar. Bisa gawat.

"Traktir aja, Lyn. Ita anak kost-kostan. Uangnya pasti abis buat makan terus." Fika ikut-ikutan, ia tertawa geli bersama Shilla.

Alyna berpikir sejenak. "Oke, deh. Fika, Shilla, Gatha, kalian mau ikut?"

"Traktir juga?" tanya tiga dara itu serempak.

Ia mengangguk. Mereka bersorak heboh, apalagi Gatha dan Ita yang tidak berhenti mengucapkan kata "Yeaaay" dengan histeris.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang