"Shill, aku bisa jelasin semuanya sama kamu." Gavin langsung mencekal pergelangan tangan Shilla yang hendak pergi.
Shilla menengok ke belakang, menatap tangan Gavin dengan sorot mata yang dipertajam. "Gak usah pegang-pegang. Bukan mahram!" ketusnya. Masih menahan tangis.
Pemuda itu membuka mulutnya sedikit, mengerjapkan mata bulatnya, kemudian melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tangan Shilla. Ucapan Shilla barusan membuatnya tidak bisa berkutik. Dulu saat belajar mengaji, Pak Ustadz pernah bilang kalau yang bukan mahram memang tidak boleh bersentuhan.
"Maaf, aku ...." Ia benar-benar kehabisan kata-kata.
Ini kesempatan emas Shilla untuk melarikan diri. Cepat-cepat ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari lorong rak-rak buku. Segelintir pengunjung yang ada membuat Shilla sedikit cemas.
Kalau ditanya kenapa ia sedikit cemas, itu karena Gavin. Gavin bisa saja berbuat yang tidak-tidak padanya.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu. Shilla terus berdoa dengan bibir gemetar.
Entah bagaimana bisa, mereka bertemu kembali di toko buku ini. Gavin tiba-tiba menyapanya yang sedang memilih buku lalu berusaha memeluknya lagi. Dasar mesum.
"Shilla!" Gavin mengejar. Secepat kilat ia menyalip langkah Shilla. Hanya dengan hitungan detik, ia sudah sampai di depan gadis yang sedang melangkah itu
Shilla sontak berhenti. Kepalanya yang menunduk sempat menabrak dada bidang milik Gavin. Ia mundur dua langkah.
"Kamu kenapa sih, Shill selalu ngehindarin aku terus?" tanya Gavin. "Di saat aku peluk kamu di tengah hujan kemarin, kamu malah ngelepasin pelukan aku terus pergi gitu aja. Saat malamnya aku berkunjung ke rumah kamu, Tante Zia bilang kalau kamu udah tidur. Padahal itu masih jam tengah delapan. Mustahil banget kamu udah tidur. Kamu tuh, kayak ngehindarin aku. Kenapa, Shill?" Ia menuntut penjelasan.
Sambil menunduk, Shilla menjawab, "Gue gak ngehindar."
"Gak, kamu menghindar Shilla. Coba jelasin ke aku alasannya apa?"
"Gak ada yang harus dijelasin."
"Ada. Hubungan kita." Gavin menekankan setiap katanya.
"Hubungan? Hubungan apa? Semuanya udah berakhir saat kamu pindah ke Singapur!" tegas Shilla. Menahan sakit yang menghujam. "Kita udah putus. Udah putus ..." lirihnya sesak.
"Gak, Shill! Kita belum putus! Semuanya masih sama!"
Shilla menggeleng pelan.
"Sekarang udah beda sama dulu, Vin. Semuanya udah berubah, gak kayak dulu lagi. Lo gak bisa nganggap itu sama. Dan lo sendiri yang bikin perbedaan dan perubahan itu!"
"Lo pergi tanpa alasan, tanpa kabar, lo ninggalin gue gitu aja sampe gue bener-bener kayak orang paling bodoh di dunia, yang terus bertanya-tanya tanpa pernah tahu jawabannya apa. Gue selalu mikirin lo yang gak pernah mikirin gue, gue selalu mengharapkan lo yang malah mencampakkan gue, gue sabar nungguin lo yang gak tahu kapan bakal pulang."
"Tapi apa? Lo ternyata jahat, bener-bener jahat. Bertahun-tahun gue berusaha lupain lo yang begitu sulit, ngeikhlasin lo yang gue kira gak akan pernah kembali lagi, ngelepas lo yang kenyataannya emang udah pergi.
"Dan saat gue berhasil ngelakuin itu semua, saat gue memutuskan untuk berhenti dan mulai menata hidup ke depannya, lo malah seenak jidat datang lagi, nganggap semuanya seolah-olah gak terjadi apa-apa. Baik-baik aja? Cih! Lo nganggep gue apa? Mainan lo? Boneka bodoh lo? Aaah, Shilla! Gavin bahkan gak pernah nganggap lo."
Shilla mengungkapkan semua isi hatinya. Air mata bergulir melewati pipi. Semuanya menyesakkan dada, benar-benar sakit. Shilla menunduk lemas, melihat ke belakang bagaiman kehidupannya ketika bersama Gavin.
Saat awal masuk kelas dua SMP dulu, mereka memang menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Hari-hari Shilla terasa manis dan berwarna saat bersama Gavin, pemuda berparas tampan dan manis yang menjadi ketua ekskul seni di sekolahnya. Banyak kenangan indah dan manis yang mereka ukir selama kurun waktu kurang dari dua tahun.
Namun, semuanya hancur dengan seketika saat Gavin tiba-tiba pindah ke Singapur. Pemuda itu pindah tanpa memberitahunya. Sekadar memberikan secarik kertas berisi salam perpisahan saja tidak.
Shilla benar-benar terpukul. Ia tidak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi hidup. Ditinggal oleh cinta pertama di saat sedang kasmaran-kasmarannya terasa sangat sakit. Hatinya nyaris mati rasa.
Dan dari situlah Shilla sadar. Kejadian pahit itu mengantarkan Shilla untuk lebih mengenal Allah, Tuhannya yang harus lebih dicintai dan diprioritaskan. Sebulan lebih ia berlarut-larut dalam kesedihan, sebelum akhirnya memilih untuk belajar agama lebih dalam. Ustadzah Ina, sahabat mamanya yang waktu itu membimbing dan menuntun dia.
Bodohnya, sampai sekarang, semua kebersamaannya dengan Gavin selalu Shilla ingat, tersimpan rapat dalam kepala, dan terasa nyeri saat kembali diungkit.
Gavin menunjukkan raut kesabaran. Ia akan menjelaskan semuanya, "Oke, aku yang salah. Aku yang salah karena udah tinggalin kamu secara tiba-tiba dan gak ngasih kabar. Aku gak sanggup Shill untuk bilang alasan pindah aku ke kamu secara langsung. Dan aku di sana bener-bener sibuk. Aku-"
"Aku apa?" potong Shilla muak.
Gadis itu tersenyum meremehkan. Alasan yang Gavin beberkan benar-benar basi. Semuanya tidak logis. Ia tidak mungkin langsung percaya dengan penjelasan Gavin yang belum tentu fakta.
"Sibuk ngapain? Sekolah? Pendidikan? Sampe gak ada waktu semenit aja dari bertahun-tahun buat ngehubungin gue? Alasan lo kayak nasi yang didiemin tiga hari, Vin. Basi! Tau gak?!"
Gavin terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...