4.b

2.8K 137 17
                                        

Dikka sedang duduk di kursi belajarnya. Pena berwarna biru laut tergenggam di antara jari-jemari pemuda itu. Menggores polosnya kertas. Meninggalkan tinta yang membentuk rangkaian huruf hingga kata, bahkan kalimat.

Namun, lagi-lagi alas tinta itu ia sobek. Dikepalnya cepat. Lalu dibuang sembarang ke lantai.

Cowok itu mengerang frustrasi, mengacak-ngacak rambutnya yang nyaris menutupi alis. Disibakkannya poni panjang itu. Ia lantas menyangga kedua pipinya dengan tangan yang kokoh. Helaan napas pasrah kini terembus dari rongga hidung mancungnya.

"Shilla."

Hanya dengan menyebut nama gadis berkerudung itu, tangan kokohnya langsung melemas. Ambruk ke meja belajar yang sedari tadi menemani kedilemaannya tentang rasa terhadap Shilla. Kemudian disusul dengan kepala yang terbenam di antara tekukan siku.

"Shill, lo tahu? Gue sering menahan rindu setengah mati. Dan saat kita ketemu, gue pikir wujud lo cuma khayalan gue yang tervisualisasikan aja." Dikka terkekeh sendiri.

Ia berminggu-minggu, tepatnya dua minggu menahan rindu pada Shilla. Dan kemarin saat ia temu kangen, rasanya malah aneh, seperti mimpi. Kedua sudut bibir Dikka lantas membentuk lengkungan senyum sampai matanya sedikit menyipit. Ia terlihat sangat manis dengan ekspresi seperti itu.

"Dari sana, beli nasi goreng."

"Tapi beli sendiri."

"Bodo, haha."

Kata-kata yang keluar dari bibir mungil merah muda Shilla saat kemarin sore masih terngiang jelas di benaknya. Bikin Dikka makin kelimpungan untuk menahan senyumnya yang terus melebar. Ah, beginikah rasanya tergila-gila pada seorang perempuan?

"Harusnya gue ajak jalan dia kemarin. Ah, sayang. Udah sore," ucapnya.

Ponselnya tiba-tiba bergetar tanpa nada dering. Sebuah panggilan masuk, Dikka meliriknya sekilas lalu berdecak pelan saat mengetahui siapa penelpon itu. Ia membiarkannya begitu saja. Nanti juga mati sendiri, mungkin begitu pikirnya.

Karena ponselnya terus-menerus bergetar, Dikka terpaksa mengangkat panggilan tersebut. Ia bangkit dan menegakkan tubuhnya. "Hallo," sautnya datar.

"Kamu lagi sibuk ya? Kok, baru diangkat?" sebuah pertanyaan menyapa gendang telinga Dikka.

"Gak, ada apa?" Dikka bertanya seraya menyugar rambutnya beberapa kali.

Dikka mengembuskan napas pelan usai mendengar permintaan Friska, temannya. Catat, teman. Tanpa tanda kutip.

"Iya, deh," ucap Dikka menyetujui. Sedikit terpaksa.

Setelah mengobrol kecil, lebih tepatnya hanya Friska yang berbicara banyak karena Dikka cuma ber-oh, iya, hm, ataupun hah, mereka akhirnya memutuskan panggilan. Dikka menaruh ponselnya di meja belajar.

Pintu kamarnya tiba-tiba berdecit pelan. Tak lama kemudian pintu itu terbuka, beriringan dengan sosok wanita cantik yang tampak berdiri membawa segelas susu putih di tangan mulusnya. Wanita itu, Karin, berjalan mendekati Dikka yang menatapnya tak suka.

"Mama, masih aja bikinin susu buat Dikka. Dikka itu udah gede, lupa ya?" tanyanya kesal.

Karin menggeleng-gelengkan kepalanya gemas lantas menatap anaknya dengan senyum usil.

"Udah gede ya, Mas Kka? Jadi kapan nih, bawa calon mantu ke Mama? Masa pacar terus?"

Ia menaruh gelas itu di meja belajar pemuda yang dipanggilnya 'Mas Kka', panggilan sayang.

"Kapan-kapan. Da ya, Dikka gak pernah bawa pacar ke Mama."

"Iya, teman perempuan maksudnya."

Dikka mendengkus.

Mendapat respons malas dari anak semata wayangnya, Karin mengedarkan pandangannya pada bulatan-bulatan kertas tak berdosa yang tergolek di lantai, berserakan. Karena penasaran, ia mengambilnya satu dan lekas membukanya.

Segelas susu yang dibuatkan untuknya kini diminum Dikka. Lumayan untuk membasahi tenggorokannya yang kering kerontang. Dasar.

Kamu, empat huruf yang bikin aku gila. Bikin aku berasumsi bahwa rindu itu jahat. Kamu Shill, Shilla. Gadis yang ...

Karin tersenyum-senyum setelah membaca beberapa kalimat itu. Kentara sekali kalau pemuda tampannya ini sedang dimabuk cinta. Wanita dengan baju panjang yang terjulur ke seluruh tubuhnya dan warna kerudung yang senada itu mencolek dagu putranya genit.

"Hayooo, Mas Kka cerita dong."

"Mama kenapa?" tanya Dikka heran dengan perubahan tingkah mamanya.

"Shilla itu siapa? Bukan pacar Mas Kka kan?" Karin bertanya, membuat hati makhluk di hadapannya deg-degan hebat.

"I-iya, bukan."

"Wah! Tapi calon istri ya, kan?"

Dikka membulatkan mulutnya tak percaya. Hatinya kian berdesir. Malaikat hidupnya kenapa bisa berbicara seperti itu? Dikka menelan air liurnya saja sudah seperti menelan durian, susah sekali!

"Mama itu bosen tahu, denger kamu putus nyambung sama pacar kamu, ataupun putus lalu jadian sama yang lain. Kayak gitu-gitu mulu kisah cintanya. Sekali-kali yang serius dong, ngejar cinta halal gitu."

"Apa sih, Ma? Dibilangin Dikka gak pernah punya pacar, sok tahu deh." Dikka mengacak rambutnya, hobi dia kalau suasana hatinya sedang tidak keruan. "Dikka itu pengen menikmati masa muda," ungkapnya kemudian.

"Menikmati masa muda?" tanya Karin remeh.

"Iya."

"Mas Kka, masa depan itu bukan mainan, kalau masa muda kamu digunakan cuma buat main-main, kamu bakal nyesel di hari kemudian."

Mendengar petuah mamanya, Dikka cuma diam dan mengangguk. Daripada menimpali atau menyanggah ucapan mama yang malah bikin mama tambah banyak mengeluarkan petuah, jadi akan lebih baik jika Dikka diam, pura-pura paham, dan menurut.

"Jadi mau serius nih?" Karin bertanya sebab agaknya Dikka sudah paham.

Sudah tahu triknya menghadapi orangtua, lagi-lagi Dikka cuma diam sambil menganggukkan kepala.

"Jadi si Shilla ini serius? Calon istri?" Karin memastikan, terselip senyum usil.

Mata Dikka melotot sempurna, ia tersentak mendengar penuturan mamanya barusan.
"Ah! Bukan siapa-siapa," sergatnya dan mendadak gugup.

Karin mendekatkan wajahnya di depan muka Dikka yang mulai memerah. "Tapi, kamu suka sama dia kan? Hayooo, ngaku!"

"Mama ...." Dikka merengek malu. Mamanya yang awet muda ini memang paling jago dalam hal menggodanya.

"Ayo, ayo! Cerita sama Mama. Mama pengen tahu," ucap Karin antusias pada mahasiswa jurusan bisnis dan manajemen itu.

"Tahunya mau aja apa banget?" Dikka malah meledek sambil menaikturunkan alisnya.

"Wah, Mas Kka nantang nih?" Karin memasang wajah sok garang.

Cubitan maut pun langsung terasa di perut datar Dikka. Pemuda itu menjerit keras lalu tertawa-tawa bersama mamanya.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang