20. Sebal

1.6K 104 9
                                    

Desir angin yang menyejukkan menerpa balutan kulit putih bersih tanpa celah milik Dikka. Cowok tampan itu sedang duduk di lantai musala sebagai pembatas suci antara halaman. Didampingi oleh Aryo.

Ia meraih sepatu sneakers-nya. Lantas memasukkan kaki kanannya pada benda dengan harga yang cukup mahal itu. Dirasa pas, Dikka lalu menyimpulkan tali berwarna abu-abunya. Mendahulukan yang kanan saat akan memakai sesuatu adalah sunah, ia baru beberapa minggu belakangan menerapkan kebiasaan itu.

"Yo, ke kantin yuk," ajaknya seraya berdiri tegap.

Ia terlihat sangat gagah. Wajahnya yang rupawan nan menawan sangat memikat. Terlebih dengan aksen warna kemerahmudaan bibirnya yang menggoda. Tak heran jika sudah banyak gadis yang terbius oleh karismatiknya.

Aryo mengeratkan simpul tali sepatu kirinya. Ia kemudian bangkit, menepuk-nepuk celana jeans-nya untuk menghilangkan kerutan tipis yang tercipta. "Traktir ya? Sedekah dikit ...."

Pemuda yang diajak berbicara di depannya diam sejenak. Ia tampak berpikir. "Heum, okelah," setujunya kemudian.

"Dikka!"

Dari lantai dua yang menghadap musala, Kalvin memanggil. Pemuda bertubuh kurus yang herannya sangat atletis itu bergegas menuruni barisan tangga yang beranak lima belas. Berlari kecil, Kalvin mendekati dua sahabatnya.

Yang namanya dipanggil oleh yang di atas merapikan rambut berjambulnya, potongan rambut dengan gaya baru, sejak kemarin sore. Dikka baru sempat ke salon karena tuntutan tugas kuliah yang menggunung, seabrek.

Pertemuannya dengan Shilla kala di cafe, rambutnya masih panjang. Padahal Dikka bilang kalau ia bertemu dengan Shilla lagi, rambutnya sudah pendek. Nyatanya tidak.

"Gue cariin ke mana-mana, ternyata lo di sini. Abis ngapain?" Kalvin bertanya dengan terengah. Ditatapnya dua kaum Adam yang berdiri di depan.

"Salat jenazah," datar Dikka. Aryo yang di sampingnya mengernyit heran, begitu juga dengan Kalvin yang sedang sibuk mengatur napasnya.

"Siapa yang mati??" Kalvin bertanya-tanya dengan polosnya.

"Ah, lu percaya aja sama Dikka. Kita emang abis salat, tapi salat duha." Aryo setengah menjelaskan, setengah buka kartu . "Udahlah, ibadah gak perlu diumbar-umbar."

Dikka menahan tawanya saat melihat perubahan raut wajah Kalvin. Yang tadinya bingung jadi cemberut seperti bebek. "Dasar Bujang Kampret, lo!"

"Huh! Sialan! Sejak zaman purbakala lo tetep aja suka ngibul ya?" sungut Kalvin kesal.

***

"Jadi, kalo pas istirahat lo tiba-tiba ngilang gitu, lo salat duha?" Fika bertanya untuk memastikan bahwa hipotesisnya benar. Ia melipat mukena dan sajadahnya agar rapi.

"Iya, kalo gak lagi haid dan kalo gak mager."

"Sejak kapan, Shill?" tanya Ita yang sedang menaruh peralatan salatnya di etalase musala.

"Kayaknya akhir SMP deh, Ta. Pokoknya pas lagi banyak-banyaknya ujian gitu. Di situ guru agama menyuruh kita untuk membiasakan salat duha kalau pas jam istirahat pertama," terang Shilla merinci.

Gadis itu memakai kerudung blusannya. Arloji pink dengan lingkaran bermotif bunga sakura ia ambil dari lantai dan dikenakan di pergelangan tangan kanan, posisi paling pas sebagai penunjuk waktu.

Kini diliriknya cermat, waktu istirahat akan berakhir dalam waktu sebelas menit lagi. Mereka harus cepat bergegas ke kelas. Karena setelah ini jam pelajaran Bu Marina, guru bahasa Indonesia yang anggun penuh wibawa namun tegas.

Ita sekarang sudah rapi. Ia tersenyum misterius. "Abis ini ke kantin ya? Gue laper banget. Gatha sama Alyna juga pasti udah nungguin kita dari tadi."

Fika memasang muka malas. "Bentar lagi masuk. Lo kerjaannya makan mulu deh, gak puasa sunah hari Kamis apa?"

"Ye ... makan itu prioritas utama. Gue kan ADM, Anak Doyan Makan, hahaha!" Ita tertawa bangga. "Enggak, gue gak puasa. Tadi gak sahur sih."

"Puasa Senin Kamis gak sahur juga gak pa-pa kok, yang penting niat ...." kali ini Shilla yang bersuara.

Ita membasahi bibir bawahnya, kemudian mengangguk-angguk. Berdiri di tengah dua sahabatnya, ia lantas merangkul bahu mereka penuh akrab. Tiga gadis berseragam muslim itu pun keluar dari musala. Berjalan beriringan menuju halaman depan.

"Tapi ke kantin dulu ya? Bentar kok."

Ucapan bernada rayuan yang keluar dari mulut Ita barusan dengan spontan dihadiahi cibiran malas dari Fika. Lalu diiringi cekikan Shilla sebagai respons geli.

"Sahabat ...." Ita nyengir lebar dengan perut keroncongan.

***

Dikka membawa mug berisi kopi hangat yang dibelinya dari bibi kantin. Ia melangkah menuju meja di pojok yang terdapat para sahabatnya: Aryo, Ino dan Kalvin. Sepanjang jalan, banyak gadis yang terus memperhatikannya. Memandang dengan tatapan kagum, terpesona, dan meleleh oleh kerupawanan Dikka. Namun, pemuda itu tidak peduli. Kesan cuek ia tebarkan. Ya, Dikka memang begitu.

Brukkk

"Arghhh! Sial!" Dikka mengumpat saat seorang gadis berhasil menumpahkan kopi yang ia bawa, ke dadanya yang terbalut kaos berbahan katun elegan.

Si gadis tercengang. Ia refleks membekap mulutnya, menyadari tindakan ceroboh yang baru saja dilakukan. Beberapa saat kemudian, ia menatap Dikka dengan sorot mata yang penuh rasa bersalah. Kini jari lentiknya sibuk menepuk-nepuki baju Dikka yang bernoda hitam, terasa hangat pula. Ucapan maaf pun terus-menerus keluar di antara bibirnya.

"Sorry, Kka. Sorry, banget. Gue bener-bener gak sengaja, sumpah. Duh ... maafin gue ...."

Dikka langsung menepis tangan gadis itu tanpa menyentuhnya. "Udah, udah," kesal dia. "Punya mata? Gunain baik-baik."

Tina, nama gadis itu. Gadis berwajah imut yang sukses maksimal dalam merusak mood Dikka hari ini. Baru beberapa hari mereka kenal, dipersatukan dalam sebuah jurusan yang sama. Pergantian semester sudah di depan mata. Namun herannya, Tina malah banting setir dengan pindah jurusan. Dari kedokteran ke bisnis.

"Thanks, lo udah ngingetin." Tina menjawab. Intonasinya berusaha sedatar mungkin. Gadis itu membasahi tenggorokannya yang tercekat dengan menelan ludah dalam-dalam. Ia kemudian mengambil napas yang sempat tertahan karena ucapan menohok Dikka tadi.

"Maafin gue ya?" pintanya dengan tatapan memohon. Ia yang sebelumnya tidak membuat kesalahan saja, Dikka sangat cuek padanya. Apalagi setelah ini? Oh, Tuhan. Ia tidak bisa membayangkan.

Berupaya meredam kesal, Dikka mengetatkan rahangnya. Ia lalu berdecak, memutar arah badannya ke belakang, dan segera mengembalikan mug yang isinya kosong ke pemiliknya, bibi kantin.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang