13.b

1K 32 5
                                    

Gadis itu mendongak. Menatap Aryo sedetik, lantas memalingkan tatapannya lagi. Mungkin ini akan jadi kebiasaan Fika.

Matanya berair, ia benci! Aryo benci melihat Fika menangis!

"Dalam agama kita, gak ada pacaran."

Simpel. Namun, cukup menohok hati Aryo. Ia mengangguk-angguk paham. Final. "Bukan karena ada cowok lain?" pertanyaan basa-basi.

"Tentu enggak. Gue cuma pengen mencintai Dia."

"Dia siapa?!" intonasi Aryo langsung meninggi.

"Allah."

Aryo bergeming.

"Lo pasti dukung gue 'kan?" tanya Fika mulai tenang dari sebelumnya. Air matanya juga sudah mengering. "Orang bilang, jodoh itu cerminan diri sendiri. Kalo lo mau jodoh lo baik, lo juga harus baik. Kalo belum baik, kita sama-sama memperbaiki diri dulu."

Aryo tersenyum kecut. Fika bukan orang religius, apalagi dirinya. Mungkin mereka memang harus sama-sama memperdalam ilmu agama. Jadi yang lebih baik.

"Tapi nanti kapan-kapan kita jalan berdua ya? Kalau aku SMS, dibales. Telpon dari aku juga harus kamu angkat," pinta Aryo.

"Kalau kayak gitu, apa bedanya sama pacaran? Aneh." Fika terkekeh.

"Yah. Emang gak boleh ngehubungin ya? Aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Fi."

Tersenyum, Fika memandang Aryo sekilas lalu berucap, "Gampang, kalo kangen, lo tinggal sebut nama gue di dalam doa lo."

"Fika ..." panggil Aryo remuk redam.

"Iya, Yo. Gue tahu ini berat. Tapi ini keputusan gue, gue harap lo bisa terima. Gue udah bosen pacaran, penginnya lamaran. Gue gak mau lo jadi pacar gue lagi, tapi gue harap lo orang yang nanti bakal lamar gue, bahkan nikahin gue. Lo tahu gak? Yang pacaran bakal kalah sama yang lamaran, dan yang lamaran bakal kalah sama yang nikahan."

Aryo terperangah mendengarnya, Fika ingin Aryo melamar dan menikahinya? Astaga. "Itu terlalu cepat, Fi. Gue belum siap, kuliah gue masih panjang, dan-"

"Gue bakal nungguin sampe lo siap," kata Fika menunduk, pipinya terasa panas.

Fika tak sengaja melihat Dikka dan Shilla di ujung trotoar sana. Mereka tidak berdua. Ada banyak orang yang berlalu lalang, sedang jalan dan lari sore. Maupun para gadis yang sedang beristirahat menepi.

***

"Lo narik-narik gue, modus ya?" tuding Shilla kesal, mengerucutkan bibirnya.

Dikka terkekeh gemas. Ia menyandarkan punggungnya di pohon akasia, melipat tangannya di bawah dada, menekuk kaki kirinya ke pohon, dan terakhir memandangi Shilla sepenuhnya yang hanya berjarak tiga meter.

Hening. Cukup lama. Dikka hanya menatapi Shilla. Dan gadis itu malah terus-terusan memandangi burung kolibri yang berterbangan bebas. Dikka cukup menggila saat Shilla menunjukkan raut wajah yang cantik, polos, nan lucu.

"Ngapain liat-liat? Naksir ya?" tanya Shilla PD.

Pemuda tampan itu hampir saja memanahkan kata 'Ya' sebagai jawaban, namun Shilla sudah keburu memotongnya.

"Jangan liat-liat! Gue colok mata lo nanti!" Shilla mengancam tegas, tidak suka tatapan Dikka yang sejatinya panahan bisikan setan itu.

Pemuda itu tertawa sekilas. Benar-benar lucu. "Lo cewek, bukan cowok. Tegas banget."

"Lo cowok, bukan cewek. Poni panjang banget."

Refleks, tangan pemuda itu meraih poninya. Sudah sealis, Shilla benar, ternyata memang panjang. Hey, tetapi ia masih tetap terlihat tampan. Tentu saja. Bahkan selalu. Sangat tampan.

Ah! Gadis itu ternyata sempat memerhatikannya. Buktinya, Shilla tahu kalau poninya panjang.

Kalau saja Fika dan Aryo sudah menyelesaikan semuanya, sungguh, Shilla ingin cepat-cepat pergi bersama Fika. Berada di dekat pemuda itu dan ditatap sedemikian lekatnya membuat Shilla tidak nyaman. Ia menjauh hingga radius empat meter dari jarak Dikka berdiri.

"Gue pastiin, kalo kita ketemu lagi, lo bakal muji gue ganteng."

Aneh. Kenapa dia berbicara demikian? Meski jauh, Shilla masih bisa mendengar. Alhamdulillah, telinganya belum budek.

"Seganteng apa pun lo, tetep aja, masih gantengan Nabi Yusuf. Jadi, jangan sombong, mentang-mentang lo gant-" Shilla kelepasan.

Dikka menyeringai puas. Ia berjalan mendekati Shilla yang sedang membekap mulutnya sendiri. Tepat berada di depannya, Dikka bisa melihat guratan merah muda di pipi gadis yang tingginya sehidung dia. Shilla blushing!

"Apa-apa? Gue gak denger."

Menggeleng kuat, Shilla membuka tangannya yang membekap mulut dan hidung. Sial, ia pengap sendiri!

"Lo tadi bilang gue apa? Gant? Kenapa digantungin?"

Stop, Dikka. Stop! Jika tidak, pipi Shilla akan semakin memerah. Gadis itu kikuk setengah mati, tak biasanya ia seperti ini. Puluhan cowok yang menembaknya saja belum pernah membuatnya seperti ini.

"Digantungin itu sakit, lho ..." goda Dikka. Matanya mengerling genit pada Shilla.

Shilla melengos dengan napas tak beraturan. Dadanya yang sedang berdebar keras mendadak terasa perih saat mendengar ucapan Dikka tadi.

Tanpa Dikka bilang pun, ia sudah tahu rasanya. Gadis itu pernah merasakan bagaimana rasanya digantung dalam hal perasaan yang menyangkut sebuah hubungan. Hubungan yang pada akhirnya ia putuskan sepihak.

"SHILAAA!"

Fika berteriak keras ke arahnya. Syukurlah, sahabatnya yang satu itu menyelamatkan situasi. Shilla tersenyum, berusaha mengontrol suasana hatinya.

"Pulang yuk, hampir jam lima nih," ajak Fika ceria.

"Lo beneran putus sama Aryo?"

"Cih, mood gue anjlok lagi gara-gara pertanyaan bego lo. Ya, iyalah, Dikka."

Shilla tertawa kecil. Fika belum sepenuhnya berubah, bicaranya masih pedas.

"Alasannya apa, Fi? Padahal kalian lagi sayang-sayangnya." Dikka bukannya kepo, dia hanya prihatin dengan hati Aryo yang sekarang pasti pupus remuk.

Fika merangkul bahu Shilla. "Shill, jelasin. Mulut gue capek."

Bola matanya Shilla putar malas. "Cari aja di google, atau nanya sama yang lebih tahu, 'Batasan interaksi terhadap yang bukan mahram dalam Islam'."

Dua gadis itu pergi, Dikka termangu seorang diri.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang