Kala mentari 135° condong ke barat, Alyna, Fika, Ita, Shilla, dan Gatha sedang berada di salah satu mal terkenal di Jakarta. Tujuan mereka ke sana tentunya untuk berbelanja seragam sekolah dan busana muslim. Mulai dari kerudung, baju, rok, hingga sepatu flat. Terkecuali Gatha, ia tidak membeli kerudung karena non-muslim.
Setelah pulang sekolah, Alyna dan Ita mengenakan jilbab dan kerudung dengan hati yang semantap mungkin. Syukurnya, orangtua Alyna menyetujui. Ita juga, ia memberitahu orangtuanya di kampung lewat telepon. Mereka pun setuju, memberi respons yang sangat gembira dengan keputusan anaknya.
"Ini cocok gak?" Ita bertanya. Gadis itu memasang baju berlengan panjang warna hitam dengan gambar burung hantu berwarna putih lucu di tengahnya.
"Bukannya cocok atau enggak, tapi muat apa enggak, Ta. Hahaha." Fika tertawa nyaring.
"Fika, dasar kampret!" kesal Ita. Bibirnya membentuk garis kerutan lucu, manyun. Ia menatapi tubuhnya. Oke, tidak terlalu gendut kok.
Alyna yang sedang memilih baju kini memandang Ita dengan saksama. "Cocok kok. Lucu, Ta. Ah, pasti muat tuh."
"Buat lo pantes kok." Gatha ikut berkomentar. Di tangannya sudah tertenteng beberapa pakaian.
Ita mengukir senyum imutnya. "Lo pada enggak lagi ngehibur gue 'kan? Ah, kalo gitu gue beli yang ini juga."
"Kalo ini, cocok gak di badan gue? Gimana?" Shilla meminta pendapat mereka. Ia menunjukkan dua buah baju dengan model tunic berwarna pink pastel. Juga sweater berwarna abu-abu, hasil dari percampuran hitam dan putih.
"Wih, bagus, bagus. Pas banget buat lo, Shill." Fika memuji, tidak dilebih-lebihkan. Memang begitu.
"Oke, deh," ucap Shilla datar. Merespon biasa saja pada sanjungan Fika untuknya.
"Udah yuk, gue udah banyak nih," ajak Ita.
"Kalo masih ada yang pengen dibeli, ambil aja," ucap Alyna. Di tangannya juga sudah ada beberapa potong pakaian dan seragam putih abu-abu serta pramuka panjang.
Ita menunjukkan cengiran lebar, "Cukup kok, Lyn. Gue udah banyak, hehe."
"Tumben nyadar, Ta." Fika nyinyir. Mendapat pelototan jengkel dari Ita, ia pun memamerkan jari telunjuk dan tengahnya pertanda damai. "Peace ...."
"Baiklah. Kalo udah semua kita ke kasir. Tapi beneran enggak ada yang mau nambah?" tawar Alyna untuk terakhir kalinya sebelum beranjak dari tempat yang ia pijak.
"Gak usah, Lyn. Udah cukup," ucap Fika. Disetujui oleh Ita, Shilla, dan Gatha dengan anggukan kepala.
Alyna tersenyum senang. Mereka pun berjalan ke kasir untuk membayar pakaian yang sudah dipilih.
***
"Semuanya abis berapa, Lyn?" tanya Shilla. Memasukkan sesuap roti bakar dengan selai strowberi ke mulutnya. Mereka sedang makan, ditraktir Alyna juga.
"Iya. Berapa, Lyn?" Ita ikut bertanya.
Tadi, Alyna langsung memberikan kartu kreditnya pada kasir. Si kasir pun langsung mengambil sesuai nominal yang harus dibayar. Jadi, mereka tidak tahu berapa uang yang sudah dihabiskan untuk berbelanja, kecuali si kasir dan Alyna.
"Enggak banyak kok," jawab Alyna seraya menyeruput cappuccino-nya.
"Kita belanja banyak banget lho .... Habis berapa sih?" Fika penasaran.
Uang yang dikeluarkan pasti banyak. Bagaimana tidak? Mereka memborong macam-macam pakaian. Teruma Ita, ia yang paling banyak belanja. Gadis berpipi tembem itu memang benar-benar memanfaatkan kesempatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...