21. Muram

1.7K 91 40
                                    

Air mata yang berlinangan ia usap. Meski percuma karena buliran hangat itu terus saja berjatuhan dengan deras. Namun, gadis yang sedang duduk di taman samping kampus itu tetap setia melakukannya. Mengusapi pipinya yang jadi lengket karena air mata secara bergantian. Ia menangis tanpa suara, rasanya amat memilukan.

"Dikka ..." lirihnya sesak.

"Gue tahu, gue emang salah. Gue tahu lo kesel banget gara-gara kejadian tadi. Tapi maafin gue, Kka. Maaf." Ia terus menangis dan meminta maaf pada Dikka, meskipun orangnya tidak ada.

"Tina?"

Panggilan Ino membuat gadis itu terperanjat. Ia langsung terduduk tegap. Cepat-cepat Tina menghapus linangan air matanya. Kemudian sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap wajah oval pemuda itu. Ia tersenyum ramah.

"Hai? Ino, temennya Dikka yah? Apa kabar?" sapanya serak akibat lama menangis.

Ino mengangguk. "Alhamdulillah, baik. Dan lo anak pindahan jurusan itu 'kan? Apa kabar juga?" tanya Ino.

Kali ini Tina yang mengangguk. Ia berdehem sekilas untuk menetralkan suara seraknya. "Baik juga."

Berikutnya, Ino malah meneliti setiap inci wajah Tina. Pandangan Ino lalu berhenti pada mata Tina yang sembab. "Lo abis nangis? Mata lo kayak bakpau gitu, suara lo juga serak."

Gadis yang sejurusan dengan Dikka itu menggeleng, ia meraba kelopak matanya yang ternyata tambah berisi, efek menangis. "Enggak kok, sotoy deh, hahaha."

Pemuda itu terkekeh gemas. Ia lalu duduk di ujung kursi kosong sebelah Tina. "Kalo masih mau nangis, nangis aja. Gak perlu dipaksain buat ketawa gitu, rasanya gak enak 'kan?"

"Ah? Um ... apaan sih, No. Orang enggak, ih." Gadis itu berusaha mengelak.

"Lo nangis gara-gara Dikka?"

Mata gadis yang diajak bicaranya membulat sedetik. "Dikka? Ah, enggak." Tina menggeleng gugup.

Ino mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gak usah bohong kali, Na. Gue tahu kok, lo yang numpahin minuman Dikka di bajunya pas di kantin tadi. Bikin Dikka ketus abis. Gue, Kalvin, dan Aryo yang kena imbas dia."

Wajah Tina terlihat muram, ia ingat lagi akan kesalahan fatalnya. "Sorry," tuturnya dengan nada sendu.

"Tuh, 'kan bener. Alasan lo nangis karena Dikka 'kan? Dia marahin lo, ya?"

Tina menghela napas panjang lalu mengembuskannya lewat mulut. Mungkin ia memang harus cerita pada Ino. Hitung-hitung sedikit melegakan hatinya yang terasa sesak.

"Iya deh, gue ngaku. Gue emang nangis gara-gara dia. Sebenarnya dia gak marah-marah sih, cuma ngomong dingin banget doang tadi. Dia bilang gini, 'Punya mata? Gunain baik-baik.' Ya ampun, No. Rasanya tuh, nyeredet banget ke hati. Berasa gue tadi gak punya mata, makanya nabrak dia. Mencibirnya alus banget, sumpah."

Ino tertawa nyaring setelah mendengar curahan hati gadis berwajah polos itu. "Hahaha, lo cuma digituin nangis?"

Ekspresi Tina berubah jadi cemberut. Apa maksud Ino? Mungkinkah dirinya terlalu lebay?

Ino berhenti tertawa. Ia menarik napas pelan. "Tapi Dikka emang gitu sih, cuek dan dingin banget. Udah gitu pelit ngomong, padahal suara dia bukan suara emas."

Lagi-lagi gadis itu mengembuskan napasnya lewat mulut, kali ini dengan tampang pasrah. Matanya mendadak nanar, "Abis ini, sikap dia ke gue bakal lebih cuek dan dingin lagi ya?"

"Gak tahu sih, gue bukan Dikka. Tapi kalo lo udah kenal dia yang sebenarnya, lo bakal tahu kalau sikap Dikka itu enggak senegatif yang lo kira sekarang."

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang