Saat malam menyapa, Shilla duduk di balkon sendirian. Ia menyeruput secangkir teh hijau hangat, upaya membuat pikirannya sedikit tenang.
Sudah beberapa kali Shilla membuang jauh-jauh masalah tadi. Namun kenyataan pahit itu ternyata sedang jahil, datang menerpa dan menghantui pikirannya tanpa diundang. Menyesakkan!
Ia lantas menaruh secangkir teh itu di meja kecil yang berada di sampingnya. Shilla menunduk. Menghela pelan kala memorinya kembali menelisik sebuah kenyataan pahit.
"Yang katanya mereka ketemu di mall dan Dikka minta nomor gue, dia juga minta nomor Alyna. Buktinya Alyna punya nomor Dikka, dan Alyna juga pasti sering kontekan sama Dikka."
"Terus saat Dikka pertama kali telpon gue, dia bilang kalau dia lagi insom karena memikirkan seseorang. Seseorang itu Alyna."
"Pas kita makan ditlaktir Alyna, Alyna tengok ke arah Dikka dan Dikka senyum. Apa maksud senyumnya?"
"Waktu gue pake jaket Dikka, berduaan di lorong toilet, kenapa Alyna bisa kebetulan ke sana?"
"Cinta dalam doa Alyna, itu pasti Dikka. Gimana nggak? Saat Fika, Ita, dan Gatha godain gue tentang Dikka, Alyna malah senyum miris. Dia kayak sedih banget."
"Lagi, yang waktu pulang dari kostan Ita, kriteria cowok yang Alyna omongin itu Dikka."
"Dik, kalo lo cinta sama Alyna, kenapa lo malah ngedeketin gue? Apa itu cara lo biar deket sama Alyna? Melalui gue? Tega."
"Kalo lo punya perasaan ke dia, kenapa lo kasih gue harapan?"
"Ah, ini lo yang PHP apa gue yang kebaperan sih?"
"Kalau akhirnya bakal kayak gini, mungkin gue akan jaga hati biar gak cinta sama lo."
Shilla mengomel sendiri. Ia berdecak kesal. Kemudian bangkit dari duduk dan berjalan menuju tempat tidurnya. Shilla duduk bersila di sana. Menusuk-nusuk pipinya yang sedang dikembungkan kesal.
"Mama sama papa ... kapan pulang sih, ma? Pa? Katanya hari ini. Tapi kok, udah jam sembilan belum pulang-pulang?" tanya Shilla dengan intonasi melas.
Kedua orangtua Shilla memang sedang tidak ada di rumah. Sudah dua hari mereka berada di luar kota. Sebenarnya papa yang punya keperluan di luar kota, namun mama ikut untuk mendampingi papa. Kalau dipikir-pikir, mereka romantis juga.
Gadis itu celingukan. Ia berusaha mencari sesuatu agar tidak bosan.
"Kalau gue pilih tidur ... nih, mata gak mau merem."
"Kalau jalan-jalan, emang ke mana? Sama siapa? Masa sendiri? Yang ada diledekin jomblo nanti."
"Ah, ngeselin ya?"
Gadis yang memakai piyama panjang itu menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Matanya lalu melirik ke nakas di samping tempat tidur. Terdapat ponsel di sana, ia lantas mengambilnya.
Saat Shilla menatap layar ponselnya, sebuah nama tiba-tiba muncul diiringi nada dering, pertanda panggilan masuk.
Dikka.
Deg! Ritme jantung Shilla berdetak tak beraturan!
Matanya mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa itu benar-benar Dikka yang menelpon. Dan ternyata, itu memang Dikka. Dengan ragu-ragu Shilla pun menekan icon hijau di ponselnya.
Yang Shilla dengar pertama kali adalah suara Dikka yang mengucapkan salam. Ia memilih diam. Menjawab salamnya dalam hati.
"Shill?" panggil Dikka di seberang sana.
Shilla hanya menyaut singkat, "Ya?"
Memangnya Shilla harus merespon seperti apa?
Dikka! Lo kok, tega banget sih, sama gue?
Dikka sialan! Kenapa lo giniin gue? Lo ngebaperin gue padahal lo cintanya sama cewek lain. Cowok macam apa sih, lo?
Ada apa lo nelpon gue? Mau ngasih harapan? Cukup, Dik! Gue udah sakit hati!
Shilla harus merespon seperti itu? Tidak bukan?
"Gue sakit nih, sampe diinfus. Lo kok, enggak jenguk gue ke sini?" Dikka bertanya, samar-samar intonasinya seperti kecewa.
Shilla terdiam sejenak. Mencerna dengan baik pertanyaan Dikka tadi. Dikka mengharapkan gue untuk menjenguknya?
"Padahal Alyna, Ita, Fika, dan Gatha datang semua."
Mendengar nama Alyna membuat jantung Shilla berdesir perih. Apalagi saat Alyna disebut pertama kali. Ia hanya memainkan jari jempol dan telunjuknya lalu bilang,
"Maaf, gue benci rumah sakit."
Tadi siang, Alyna memang mengajaknya untuk menjenguk Dikka. Namun, ia menolak ajakan itu. Dengan cara halus tentunya.
Dikka malah terkekeh. "Yah, alasannya udah gue duga."
Diam. Gadis itu hanya bergeming. Handphone yang menempel di telinganya masih terdengar suara Dikka. Tetapi, ia tidak menanggapi cerita ataupun lelucon yang terkadang pemuda itu lontarkan. Shilla malah merasakan perutnya mual.
"Shill ... lo kok, diem terus?"
"Apa?"
Suara cebikkan bibir bisa Shilla dengar. "Gue kangen."
Kangen? Dikka gila ya? Ah, gak usah kegeeran, Shilla. Batinnya mengingatkan.
"Siapa?" tanyanya.
"Yang nanya?" Dikka balik bertanya.
Ayolah, sekarang Shilla tidak ingin bercanda. "Bukan, tapi yang lo kangenin."
"Menurut lo?"
Menurut gue? Menurut gue ....
"Ya, gue cukup tahu jawabannya." Shilla tersenyum pahit.
"Kalo lo?"
"Gue gimana?"
"Ayolah, Shilla ... ih, gue gemes banget deh."
"Maaf ya, gue tutup dulu."
"Eh, tap-"
"Assalamu'alaikum ..."
Dikka terdengar mengembuskan napas pasrah. "Wa'alaikumsalam ..."
Sambungan telepon pun terputus. Shilla termangu sejenak. Ia memegang dadanya. Bahkan berdegup sangat kencang di situasi seperti ini sekalipun!
Ya Allah, hamba lelah menerka. Kuserahkan semuanya pada-Mu. Hanya pada-Mu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualeFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...