"Ah, bodo amat sih. Gue udah gak peduli lagi. Mau lo jujur ataupun bohong, itu gak akan mengubah apa pun. Yang perlu lo tahu, cinta gue sama lo udah terkubur dalam bersama rasa sakit yang lo buat."
"Shill, aku mohon. Dengerin penjelasan aku dulu."
"Gak perlu, gue udah capek, Vin. Gue capek! Gue udah cukup tersiksa karena lo."
Menghela napas, Gavin menatap Shilla dalam. Baiklah, gadis itu tidak mau mendengarkan alasan dia pindah ke Singapur yang sebenarnya ia sendiri tidak ingin. Gavin akan menjelaskannya lain kali, tidak saat ini, saat emosi Shilla sudah tenang.
"Shill, kamu juga gak tahu gimana kesiksanya aku nahan rindu sama kamu. Bertahun-tahun," kata Gavin kemudian.
"Dan lo gak akan pernah bisa bayangin gimana sakit dan hancurnya hati gue saat itu."
"Aku minta maaf," ucap Gavin tulus. Mata nanarnya memandang Shilla.
"Gue udah maafin. Itu cuma masa lalu. Lebih baik, lo lupain semuanya. Karena gue pun gitu."
"Gak bisa!" suara Gavin menegas.
"Terus mau lo apa, Vin?" tanya Shilla frustrasi. Ia menyandarkan punggungnya ke rak buku. "Ngapain ngejar-ngejar gue lagi?"
Gavin mendekat. "Aku cuma pengen kita kembali kayak dulu."
"Pacaran?" tanya Shilla. Ia tersenyum kecut. "Gak akan pernah," tandasnya.
Gavin terkekeh. Lalu berucap dengan santai, "Kamu udah berubah, Shill. Gak kayak Shilla yang dulu. Yang manja, yang ngambekan, yang suka cemberut karena cemburu kalau aku deket sama cewek lain, yang suka-"
"Terus salah?" tanya Shilla menyela, sedikit mendongak pada pemuda di hadapannya. "Lo mau bilang kalau gue sekarang berubah, berubah pake kerudung, baju dan rok panjang, padahal dulu gue ...." Shilla menggantungkan kalimatnya. Dadanya terasa sesak sampai napasnya naik turun. Ia benar-benar emosi.
"Bukan gitu, Shill ...."
"Terus apa?" tanya Shilla nyaris menangis. "Gue emang bukan cewek saleha. Penampilan gue sama kenyataan sikap gue emang belum sama. Tapi gue-"
"Hey." Gavin memotong ucapan Shilla. "Makanya dengerin dulu, aku belum selesai ngomong."
Shilla yang terbawa suasana mengatur napasnya agar normal kembali. Ia membuang pandangnya ke arah lain. Berusaha menghilangkan pikiran negatif dan meredam marah.
Inget, Shilla.
'Jangan marah, maka bagimu surga.' (HR.Thabrani).
"Sekarang kamu memang berubah. Berubah jadi lebih baik. Dan aku suka itu, aku dukung sepenuhnya. Aku emang pengen kita kayak dulu lagi, selalu bersama untuk menghadapi apa pun. Tapi aku gak ngajak kamu untuk pacaran lagi kok. Aku cuma mau kita lanjutin hubungan yang serius."
"Maksud kamu?" tanya Shilla tak mengerti.
Pemuda itu menyunggingkan senyum manis. Shilla memanggilnya dengan sebutan 'kamu' lagi. "Aku bakal ngelamar kamu di waktu yang tepat."
BUGH!
Satu bogeman mantap mendarat mulus di pipi sebelah kanan Gavin usai mengucapkan kalimat itu. Pemuda itu sampai terhuyung ke sisi kiri hingga jatuh tersungkur.
Shilla melotot tajam atas serangan mendadak yang dilayangkan untuk Gavin. Itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Shilla menatap si pelaku tak percaya. Dan makin tak percaya saat mengatahui siapa pelaku itu.
"Dikka?!"
***
Alyna terus berusaha agar Dikka tetap tenang saat melihat Shilla bersama Gavin yang berada di ujung lorong rak buku. "Kka, kita harus tetap tenang. Biarin mereka selesain masalahnya."
"Gue gak tahan Lyn," emosi Dikka kadang tak terkontrol.
Sudah beberapa kali ia ingin berlari ke sana saat melihat raut cemas bercampur takut yang terpatri di wajah Shilla. Apalagi saat pemuda yang bernama Gavin itu semakin mendekati Shilla dengan jarak yang sangat dekat, Dikka jadi ingin menerkamnya hidup-hidup. Namun, lagi-lagi Alyna dengan sigap mencegat.
"Lo belum tahu gimana permasalahan mereka. Jadi gue mohon, lo harus tetap tenang. Kalo si Gavin macem-macem sama Shilla, baru kita ke sana," tutur Alyna.
"Jadi kita baru ke sana saat Gavin udah macem-macem sama Shilla?!"
"Bu-bukan gitu."
Dikka berdecak. Ia lalu melihat Gavin tersenyum di sana, samar-samar terdengar Gavin yang berucap,
"Aku bakal ngelamar kamu di waktu yang tepat."
Kalimat itu benar-benar membuat Dikka meledak. Dikka yang tak rela langsung berlari ke arah mereka dan menonjok pipi Gavin dengan empuk.
"Dikka!" Alyna memekik panik. Ia berlari menyusul pemuda itu.
***
Gavin bangkit seraya menyentuh pipinya yang memerah bekas ditonjok tadi. Ujung bibirnya bahkan berdarah. Ia menatap pemuda di depannya dengan sengit. "Apa maksud lo?" tanya Gavin sarkas.
Mengetahui roman-roman tidak mengenakan dari Gavin yang sepertinya akan balas menyerang Dikka, Shilla langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Gadis itu menghalangi terjadinya pergulatan. Meredamkan emosi yang membakar.
Shilla sekarang menghadap Dikka yang mengatupkan bibirnya rapat, rahang mengeras, dan ekspresi marah yang ditahan.
"Kenapa lo pukul dia?" Shilla benar-benar tak menyangka.
"Kamu kenal dia, Shill?" Gavin langsung bertanya yang mendapat anggukan pelan Shilla.
"Lo siapanya Shilla?" ini Dikka, menatap Gavin nyalang.
Gavin tersenyum mengejek. "Gue mantannya. Kenapa?"
"Cuma mantan. Kok, bangga?" Dikka tak kalah mengejek.
Tangan Gavin terkepal, dia tersenyum asimetris. "Dan gue calon suaminya Shilla."
Kepalan tangan Dikka siap meninju wajah Gavin berkali-kali jika saja Shilla yang berada di depannya tidak menahan.
"Masih calon wouy!" teriak Dikka tanpa memandang Shilla yang kini siap menangis lagi.
"Stop! Lo kenapa, Dik? Kenapa pukul Gavin tiba-tia dan malah ribut gini?"
Alyna datang menghampiri mereka. "Kka!" panggilnya cemas. "Kenapa jadi berantem gini?"
Dikka yang jadi nara sumber tetap diam. Tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap wajah pucat Shilla yang ingin ia tangkup dengan kedua tangan. Mengecup lembut bibir mungil Shilla yang terus bergetar lalu membawa tubuh rampingnya ke dalam pelukan adalah keinginan Dikka saat ini yang tak mungkin terlaksana.
Shilla menatap Alyna di balik punggung Dikka. Walau sudah mengikhlaskan pemuda itu, entah mengapa hatinya tetap berdenyut sakit. Shilla mengembuskan napas sesak lewat hidung. Lebih baik ia pergi dari sini.
"Kalau kalian mau tonjok-tonjokan sampe babak belur dan muka ancur, silakan. Gue pamit, Assalamu'alaikum."
Shilla pergi meninggalkan Alyna dan dua pemuda tampan yang sangat berpengaruh dalam hidupnya itu. Entah berpengaruh dalam hal menciptakan bahagia ataupun menggoreskan luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...