23.b

277 18 0
                                    


"Mamaaa, Shilla lagi galau banget. Masa Shilla mikirin dia terus, sih? 'Kan dianya juga belum tentu mikirin Shilla. Ya, 'kan? Dari kemarin-kemarin, sahabat-sahabat Shilla bahas dia terus. Mulai dari Fika yang sok tahu, terus Ita dan Gatha yang heboh banget, sampe Alyna yang diem-diem ...."

"Enggak-enggak. Sahabat enggak mungkin nikung. Yang nikung itu cuma pembalap. Ya, 'kan? Ya, 'kan Ma?"

"Duh, Mama bisa bayangin gak? Gimana rasanya belum bisa move on meski sudah putus selama tiga tahun lebih. Bisa sih, tapi kadang suka flashback kalo ada yang ngingetin. Terus ... juga belum tahu rasa ke orang yang lain, orang yang hampir spesial dalam hidup setelah dia, itu rasa apa."

"Akh, Mamaaa gimana? Shilla pusing. Bantu mikir dong, Ma."

"Hey, kamu kenapa, Shilla? Datang-datang ngoceh kayak burung beo." Zia kebingungan sendiri.

Usai pulang dari kost-kostan Ita, anaknya itu malah merancu tidak jelas. Duduk di sampingnya yang sedang membaca buku kumpulan hadis, lalu ngomong panjang lebar seolah enggak ada koma. Pakai bahasa kekinian yang lebay pula, seperti bukan Shilla yang sekarang.

Shilla yang dulu beginilah. Curhat apa saja padanya tentang rasa yang sedang dialami. Tidak jarang curhatannya hiperbola sampai bikin kuping sakit. Tampaknya Shilla kini sedang dilema.

Jangan-jangan dia sedang jatuh cinta lagi. Zia membatin geli. Setidaknya itu yang bisa ia simpulkan saat mendapati tingkah anaknya yang sekarang dan mendengar isi ocehannya.

Kekesalan Shilla makin berlipat ganda. Bibirnya cemberut. Mama ternyata belum mengerti benang merahnya.

"Shilla juga gak tahu Shilla kenapa. Kenapa ya, Ma? Gak tahu ih, aneh banget ya?" Ia balik tanya seperti orang linglung.

Zia tertawa kecil. Ia menaruh buku tersebut pada meja kristalnya. Lantas menempelkan punggung tangannya ke kening Shilla. Ia berkomentar, "Biasa aja kok, enggak panas."

"Mama kira, Shilla enggak waras?"

"Ya, gitu. Abisnya kayak orang gila."

Gadis itu menahan dirinya untuk tidak menabok mama tercinta. Biarpun pelupa, ia ingat kalau tindakan itu amat tidak baik dan dilarang oleh agamanya. "Mama sejak kapan nyebelin?"

Kekehan geli keluar dari mulut Zia. Ia mengacak puncak kepala anaknya yang terbalut kerudung warna biru dongker dengan sayang. "Sekarang Mama yang tanya, Shilla kenapa?"

Gadis yang hatinya sedang berkecamuk itu menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Shilla udah bilang. Shilla enggak tahu."

"Hm, coba Mama tebak. Kamu lagi suka sama seseorang? Lagi jatuh cinta?"

Semburat merah muda mulai timbul di pipi Shilla. Ia menahan senyumnya. Malu. "Yah, mungkin. Eh, enggak, enggak."

Mamanya kali ini ikut tersenyum. Anaknya itu benar-benar lucu. Entah mengidam apa ia pas hamil Shilla dulu. "Oke, namanya siapa?"

"Mama enggak boleh tahu dulu." Shilla menggeleng.

"Oke, oke," setuju Zia memahami. Ia tidak bisa memaksa. Kalau memang ingin, anaknya itu pasti akan menceritakannya.

"Mama tahu yang duduk bareng Shilla di bus? Yang ngerebut kerudung pilihan Shilla di mall? Yang tolongin Shilla waktu ada preman jahat, yang tangan Shilla sampai diperban? Terus yang Shilla chatt-an sama cowok malem-malem? Yang jaketnya dipakai Shilla waktu Shilla tembus, tahu?"

Benar saja, Shilla menceritakan dengan sendirinya. Mengangguk kecil, Zia tahu dia siapa. Namun, beliau hanya tahu kalau itu seorang pemuda. Tak tahu namanya.

"Terus?"

Gadis itu menghela napas berat, kemudian memeluknya. "Shilla lagi sedih banget, Ma."

Wanita itu cukup paham. Ia mengelus puncak kepala anaknya, menenangkan dia. "Shilla tahu 'kan? 'Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.' (QS. At-Taubah ayat 40)"

Dengan kepala mendongak, Shilla menatap mamanya.

"Shilla, Anak Mama. Tuh, Tuhan kita ngelarang kita untuk bersedih, karena sebenarnya Dia bersama kita," senyum mama.

"Iya, yah. Shilla kok, baru kepikiran?"

"Shilla, makanya enggak usah mikirin hal yang enggak penting,. Mending banyak-banyak berdzikir, biar hati tentram."

"Iya, Mama bener. Oh, ya, Shilla inget ayatnya, '(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.' (QS. Ar-Ra'd ayat 28)."

"Pinter, hafalannya sudah sampai mana?" Seorang pria bertanya. Ia kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka. Tersenyum hangat.

"Papa ... ah, baru dikit kok," jawab Shilla seraya mengangkat kepalanya yang sejak tadi bersandar di dada sang mama.

"Shilla lagi galau, Pa. Akhirnya dia jatuh cinta lagi," ucap Zia.

"Enggak ih, Mama ngada-ngada. Jangan percaya, Pa," sanggah shilla cepat.

"Wah, siapa Ma?" tanya Afdan. Tak mengindahkan sanggahan dari anaknya.

"Dikka-" Gadis itu membekap mulutnya.

Sial! Gue keceplosan! batinnya menyesal.

Dua orang itu tertawa keras. Menatap wajah anaknya yang merona bak tomat masak. Setelahnya, mereka menggoda Shilla habis-habisan.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang