Pukul tengah delapan malam, Shilla belajar guna menyiapkan diri untuk menghadapi UAS besok. Selama lima menit lebih gadis itu memandangi buku-buku pelajarannya. Sudah beberapa kali pula ia membuka buku bersampul merah marun tersebut. Membacanya teliti per garis besar hingga per halaman. Lalu berusaha mencerna isi materinya.
Namun, tetap tidak masuk ke otak. Shilla menyerah. Ia perlu menenangkan diri. Dzikir pun jadi obat ampuh untuk saat ini.
Shilla segera bangkit. Mengayunkan tungkai kakinya secara bergantian menuju lemari pakaian. Sambil memainkan bibir tipis mungilnya, dibuat mengerucut, cemberut, hingga akhirnya tersenyum pahit.
Shilla baru ingat kalau dia masih menyimpan kotak box itu. Ya Allah! Tangan Shilla kini membuka lemari pakaian, lalu berjongkok, mengambil benda penuh kenangan tersebut yang disimpan di bagian paling bawah. Shilla kemudian membawanya ke tong sampah di belakang rumah.
Sebelum membuangnya, Shilla membuka kotak box itu, untuk yang terakhir kali. Terdapat berbagai macam barang di sana. Mulai dari gantungan kunci, jam tangan, boneka, sampai foto dirinya yang berambut sebahu bersama seorang pemuda, mereka sedang tersenyum bahagia. Semua benda tersebut membuat kenangan tiga tahun lalu bergulir dalam ingatan Shilla dan membuat dadanya sesak.
Shilla memejamkan mata sesaat lalu menutup kembali kotak penuh cerita itu. "Gue udah capek sama ini semua. Gue harus maju, gak skak mat di sini terus. Harusnya dari dulu gue udah buang semua ini, dan ngeikhlasin dia."
Dengan cepat Shilla membuangnya ke tong sampah. Ia berbalik disertai tatapan nanar dan meremas roknya untuk mencari kekuatan. Shilla segera berlari dan kembali ke kamar.
Shilla berjalan ke lemari pakaian yang ternyata belum ditutup. Matanya tak sengaja melihat sebuah jaket. Shilla perlahan meraih jaket tersebut lalu mengerjap.
"Astagfirullah. Gue lupa!" ucap Shilla menepuk jidat. "Jaket Dikka udah lama enggak gue balikin. Duh, gimana cara balikinnya ya?"
Tangannya sekarang sedang memegang jaket boomber army milik pemuda itu. Punggungnya bersandar pada lemari pakaian. Ekspresinya terlihat serius, menunjukkan kalau ia tengah berpikir keras.
"Ngajak ketemuan? Ih, emang gue cewek apaan?"
"Kirim pesan biar dia datang sendiri ke sini buat ambil jaketnya? Enggak sopan banget. Sudah untung dipinjemin. Itu sih, kayak enggak tahu terima kasih."
"Terus gimana, ya? Apa kirim ke kantor pos? Ah, alamat Dikka aja gue gak tahu."
Lewat pintu kamar Shilla yang terbuka lebar, Zia mendapati anaknya yang berbicara sendirian. Beberapa garis lipatan kini tampak jelas di dahinya. Beliau segera menghampiri Shilla sambil terus menebak apa yang sedang terjadi pada putrinya itu.
"Shilla, lagi ngapain? Kamu kok, ngomong sendirian?"
Gadis itu sedikit terhenyak atas kehadiran mama yang menurutnya mendadak. Kini ditatapnya sang mama yang berdiri di samping depan. "Ah, Mama."
Shilla lalu menghela napas, "Shilla cuma bingung, gimana caranya Shilla balikin jaket Dikka ini," ucapnya seraya memamerkan jaket tersebut.
"Ouh ... itu punya Dikka? Hm, kalau saran Mama sih, mending balikin aja langsung ke orangnya. Itu 'kan milik dia."
Tampak berpikir sejenak, Shilla mempertimbangkan matang-matang saran mama. "Tapi Shilla pulangnya sore terus, Ma. Biasalah, anak school zaman now."
Zia tertawa geli. "Ya, masa dalam waktu seminggu enggak ada waktu kosong sama sekali?" tanyanya. Secara tersirat, ia menyuruh Shilla untuk berpikir kritis.
"Bukannya gitu, Ma. Tapi Dikkanya juga mungkin sibuk. Buktinya ... enggak ada kabar sama sekali."
"Sibuknya baru mungkin, 'kan? Loh, emang Dikka harus kasih kabar ke kamu setiap hari?" di ujung kalimat, Zia sengaja menggoda anak gadisnya.
Kepala bagian belakangnya yang tebalut kerudung Shilla garuk pelan, padahal tidak gatal. Ia hanya bingung sendiri terhadap tingkahnya belakangan. Cepat berubah tanpa diprediksi.
Dipikir-pikir, mama benar juga. Memangnya dia siapanya Dikka?
"Coba aja hubungin, kapan Dikka ada waktu kosong." Zia mengubah suasana yang kini mendadak canggung. Ia bertanya, "Besok Shilla UAS ya?"
Mengangguk. "Iya, Ma. Biasanya sih, pulang lebih cepat."
"Nah, Shilla bisa tuh, ngajak Dikka untuk ketemu di suatu tempat. Balikin deh, jaketnya."
Tiba-tiba, ada perasaan gembira yang muncul di lubuk hati. Secara mendadak, aliran darah Shilla terasa berdesir dua kali lebih cepat. Gadis itu tersenyum, entah apa maksudnya. "Ide bagus."
"Tapi jangan lupa, minta ditemani orang lain. Enggak boleh berduaan ya. Inget ... bukan mahram. Kalau berduaan, nanti yang ketiganya setan. Terus, biar menghindari fitnah juga."
Senyum Shilla makin melebar. "Siap, Ma!" ucapnya semangat.
***
"Kka, abis dari mana?" Herlan bertanya saat anak semata wayangnya pulang tepat jam delapan malam. Sedang menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di atas.
Secara spontan, Dikka berhenti melangkah lalu berbalik ke belakang. Menatap wajah papanya yang mulai menua. Kerutan tipis kini mulai terlihat jelas di dahi dan pelipis papa. Rasa bersalah seketika tercipta kala membayangkan bagaimana perlakuan buruk dia terhadap papa selama ini.
Padahal papa selalu bekerja keras sampai melembur demi menafkahinya dan mama. Sesibuk apa pun, papa selalu meluangkan waktu untuk menasihatinya. Menegur, meski kadang harus pakai kata-kata kasar yang jleb menohok hati agar ia mengerti. Namun sekarang Dikka paham, itulah bentuk rasa sayang papa.
Enggak semua bentuk rasa sayang penyampaiannya sama. Adakalanya terlihat berbeda. Kadang, malah terkesan sebaliknya.
Kini tak terbayang bagaimana rasa letihnya papa saat zaman Dikka SMA. Ia yang bangor gak ketulungan selalu menyusahkan papa. Membuat papa selalu dipanggil guru BP atas kelakuan nakalnya yang sering bolos. Bahkan beliau sampai pernah datang ke kantor polisi untuk menjemputnya yang kena kasus tawuran.
Berulang kali papa menasihati. Berulang kali pula Dikka melanggar. Berulang kali papa melarang hobinya. Berulang kali juga ia semakin mengembangkan hobinya. Papa memerintah ke kanan. Dikka menjalankan ke kiri. Selalu berlawanan.
Baru sadar, sikap dia benar-benar enggak baik terhadap papa. Kurang sopan bahkan enggak sopan. Cuek. Apatis. Acuh. Membangkang. Seenaknya. Dikka jadi ingin menangis sekarang. Dirinya memang anak yang buruk.
Setelah selesai dengan berbagai hal yang ia pikirkan, Dikka berjalan menuju Herlan, papanya. Lalu menyodorkan bungkusan plastik kresek berisi kotak makanan yang di dalamnya ada martabak kelapa, yang sejak tadi dibawanya. Dikka tersenyum manis. Senyum khusus teruntuk papa.
"Buat Papa. Dikka abis ngerjain tugas bareng Aryo. Di jalan, enggak sengaja ketemu tukang martabak."
Betapa bahagianya hati Herlan sekarang. Berangsur-angsur, sikap anaknya terhadap dia semakin berubah jadi lebih baik. Ia tidak tahu pemicunya apa. Namun yang terpenting, hubungan renggangnya antara Dikka semakin hari jadi semakin baik nan harmonis.
"Semoga Papa suka," ucapnya yang tidak tahu apa-apa yang papa suka. "Dikka ke kamar duluan. Assalamu'alaikum."
Dikka segera berbalik badan. Berjalan menaiki tangga. Tersenyum tipis. Meski hatinya masih saja ingin menangis.
"Wa'alaikumsalam. Terima kasih, kamu memang anak laki-laki Papa yang terbaik."
Kalimat itu ditangkap oleh pendengaran Dikka. Tanpa sadar, ia tersenyum gembira. Sedikit terharu mendengarnya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/110420113-288-k146233.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...