Dengan bibir yang sesekali tersenyum, Shilla berjalan santai sambil melantunkan Asmaul Husna. Asmaul Husna yang berjumlah 99 itu berhasil Shilla hafalkan setelah sepuluh hari lebih. Butuh perjuangan keras.
Kini, usahanya berbuah manis. Karena menghafal Asmaul Husna, mengetahui, menyelami, menerapkan, serta mengamalkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu jalan untuk masuk surga.
"Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala memiliki 99 nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghafalnya maka ia akan masuk surga." (HR Bukhari)
Nah, siapa sih, yang tidak ingin masuk surga?
"SHILLAAAAA!"
Ita berteriak sangat kencang dari arah belakang. Gadis itu membuat Shilla terlonjak kaget. Bahkan, suara cempreng nan cetar Ita barusan berhasil membuat barisan semut yang beruntui di dinding jadi terpecah buyar.
Gara-gara suara Ita tadi, suasana sekolah yang damai di pagi buta berubah kacau. Shilla mendengus sebal saat Ita sudah menyamakan langkahnya. Untung masih sepi. Eh, bukan. Untung sahabat.
Gadis yang masih mengenakan seragam pendek itu hanya menyengir seperti biasa jika telah berbuat salah. Lalu dengan segera ia mengucapkan kalimat mujarab yang beberapa hari lalu ia temukan. Agar Shilla tidak marah-marah tentunya.
"Afwan, Ukhti." Ia lalu cekikikan sendiri.
"Kalau gue budek gara-gara suara petir lo, lo harus bawa gue ke dokter kandungan, Ta." Shilla berucap asal saking kesalnya.
Mendengar itu, Ita makin nyengir.
"Assalamu'alaikum ...." Fika ikut berjalan sejajar dengan mereka.
Shilla tersenyum dan membalas salam Fika. Sedangkan Ita nyaris mati di tempat saat melihat penampilan baru gadis itu. Ia terkejut bukan main, matanya berkedip-kedip, dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf "O" kapital.
"Biasa aja kali, Ta. Awas, entar ada tahi cicak masuk." Fika tertawa geli, membuat Ita mengatupkan mulutnya rapat lalu menjawab salamnya, meski telat.
"Fika, ini elo?!" tanya Ita masih tak percaya, pandangannya tak luput dari ujung rambut hingga ujung kaki sahabatnya itu.
Saat mulai menaiki tangga untuk menuju kelasnya di lantai tiga, Fika menjawab singkat, "Iya."
"Iyalah, Ta. Ini Fika, bukan jelmaannya," canda Shilla.
Ita mengangguk-angguk sadar. Di sekolah ini, seragam yang dikenakan para siswanya bukanlah seragam panjang atau muslim. Mereka bebas memilih sendiri sesuai keinginan. Sebab, muridnya tidak hanya yang beragama Islam saja. Semuanya sama-sama dominan.
Gadis dengan rambut sebahu yang tergerai itu kini berpikir sejenak. Yang bukan muslim memang tidak berseragam panjang, tetapi ia muslim. Kok-?
"Lo kapan nyusul, Ta?" Fika bertanya saat mereka berada di depan pintu yang di atasnya menggantung papan kecil bertuliskan Kelas XII IPA2, kelas mereka.
Ita terdiam. Kembali menjalankan sel-sel sarafnya. Berpikir sejenak.
Pernah, dulu saat melayad di pemakaman Fika bertanya "Lo kapan nyusul, Ta?" pada Ita dan membuat gadis itu ngedumel panjang lebar. Tapi kali ini berbeda, Ita malah tercenung sekaligus merenung. Itu karena sekarang, Fika bertanya dalam hal kebaikan, bukan kematian. Di sekolah, bukan di makam.
***
"Eh, lihat-lihat, Fika pake kerudung."
"Cewek nakal udah tobat? Haha."
"Buat nutupin aib mungkin."
"Biar dibilang cabe sholeha kali yak?"
"Fuck, cuma bikin sensasi. Palingan, besok juga dilepas lagi itu kerudung."
"Percuma berjilbab, kelakuannya masih belum bener juga."
"Sok alim, sok suci, muna, iuhhh."
"Sekarang jadi ukhti-ukhti klub, ya? Hahaha!"
Sejak upacara bendera, jam pelajaran pertama, hingga istirahat sekarang, telinga Fika makin panas saja. Ternyata banyak mulut-mulut pedas yang melebihi mulutnya. Mereka mencibir, mengolok, mencerca, menghina, namun hanya berbisik kala melihat penampilan barunya yang berkerudung.
Cemen, beraninya di belakang.
"Dia hamil tuh, makanya pake pakaian panjang biar perutnya gak kentara buncit."
Fika nyaris meledak mendengar omongan miring yang berasal dari meja belakang. Emosi yang menggunung berapi-api tidak bisa ia redam lagi. Itu fitnah dan sudah melampaui batas.
Ia berdiri tegap dan berbalik. Berjalan dengan cepat ke meja itu dan langsung menggebraknya. Berhasil membuat para gadis yang berada di meja itu berjingkut kaget.
"JAGA MULUT LO!" teriak Fika dengan kepala mendidih. Suaranya cukup memekakkan telinga bagi siapa saja yang mendengar.
Sesi langsung berdiri angkuh, diikuti dayang-dayangnya saat Fika datang. Manusia-manusia yang berada di lingkup sana memandanginya dan mulai berkerumun. Berniat menyaksikan tontonan secara cuma-cuma. Tanpa membayar karcis pula.
Gadis itu tersenyum sinis. "Kalo gak ngerasa, mana mungkin marah-marah. Berarti gue bener dong, kalo lo itu hamil. Anak siapa? Aryo ya?"
"Wah, pasti itu." Para dayang yang berada di samping Sesi: Moi dan Sica menimpali setuju.
"Fi, sabar ... anggep aja angin lewat," ujar Alyna melembut.
"Percuma Fi, kalo lo ladenin cewek gila itu." Gatha ikut menenangkan Fika. Alyna pun mengangguk tanda setuju.
Kali ini Ita yang maju. Ia selangkah lebih dekat dengan Sesi. Jari telunjuknya ia arahkan tepat di bibir Sesi. "Bacot lo gak pernah dididik, ya?! Yang keluar sampah semua! Pikir pakai otak kalau mau ngomong!"
"Bela aja terus temen lo yang bejat itu!" gertak Sesi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
EspiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...