9. Permintaan Maaf

967 59 2
                                    

"Jadi selama seminggu terakhir saya dan suami saya pergi, Bi Inem enggak nginep buat nemenin Shilla? Bi Inem tetep pulang kalau udah Isya?"

Wanita yang memakai kerudung warna biru dongker sesiku itu bertanya serius pada pembantunya yang sekarang sedang menundukkan kepala. Zia menatap Bi Inem dengan lekat. Sorot matanya menyiratkan rasa heran bercampur cemas secara bersamaan. Ia benar-benar tidak menyangka dengan pengakuan serta permintaan maaf Bi Inem tiga detik lalu.

Tadi, Bi Inem memberitahu Zia bahwa seminggu terakhir sebelum majikannya itu pulang dari luar kota, dia pulang seperti biasanya. Setelah ba'da Isya. Bahkan terkadang pulangnya sore karena disuruh Shilla.

Kesalahan Bi Inem adalah dia tidak melaksanakan amanah Zia dan Afdan sepenuhnya. Bi Inem tidak menginap dan tidak menemani Shilla selama beberapa hari. Ia malah pulang.

Namun belum sempat Bi Inem menjelaskan alasannya, Zia keburu bertanya demikian. Ia memaklumi. Paham betul bagaimana perasaan seorang ibu itu sekarang.

Zia mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Ia beristigfar, kemudian duduk di kursi ruang makan ini. Menahan emosi agar jangan sampai marah.

Pertanyaan dengan suara tegasnya tadi sepertinya sudah berlebihan. Namun, itu semua karena ia mengkhawatirkan Shilla, anak gadis satu-satunya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Shilla.

"Bi, saya 'kan suruh Bibi buat jagain Shilla saat kita pergi," ucapnya berupaya sabar seraya melirik Afdan yang sekarang datang.

"Ada apa, Ma?" Afdan memandang istrinya heran.

Zia menghela napas, "Lima hari terakhir, Bi Inem gak nginep di sini, Pa. Shilla tidur sama Ita doang. Sama-sama anak gadis, kalau ada apa-apa gimana?"

Afdan mendekati Zia lalu duduk di sampingnya. Beliau memandang istrinya seraya tersenyum manis, mampu membuat Zia tenang hanya dengan senyumnya. "Semalam, Bi Inem sudah cerita lebih dulu ke Papa. Beliau pulang karena suaminya sedang sakit, kasihan. Papa tahu Mama khawatir banget. Tapi yang penting , Shilla sekarang baik-baik aja." Afdan memberikan pengertian pada istrinya.

Mengerjap, "Pak Tejo sakit?" tanya Zia makin tak menyangka. Anggukan pelan Bi Inem membuat hati Zia terjawil. "Astaghfirullah, saya enggak tahu, Bi kalau alasannya seperti itu. Maafkan saya yah," pintanya menyesal.

Suami Bi Inem yang mulai memasuki usia senja memang sedang sakit. Membuat dia harus jeli dalam membagi waktu antara kewajibannya sebagai pembantu dan sebagai istri. Perlahan, Bi Inem mengangkat kepalanya. Ia menahan senyum getir.

"Saya yang minta maaf, Nyonya. Saya sudah mengkhianati amanah Nyonya dan Tuan. Maafkan saya. Harusnya saya melaksanakan amanah kalian dengan menjaga Non Shilla," sesal Bi Inem.

Afdan tersenyum hangat. "Sudah, Bi. Tidak apa-apa."

"Bibi enggak salah, kok. Maafkan saya tadi ya, Bi?" Zia merasa tidak enak hati sekarang. Harusnya ia mendengarkan alasan Bi Inem terlebih dahulu tadi.

Wanita yang kira-kira berumur 53 tahun itu mengukir senyum. Ia merasa sedikit lega. Yah, setidaknya mereka sudah memaafkan dirinya. Bi Inem pun akhirnya kembali ke dapur.

Shilla muncul dengan menjingjing sepatunya. Gadis yang memakai alamamater sekolahnya itu menghampiri mama dan papa disertai senyuman ceria. Ditaruhnya sepatu tersebut di bawah. Lalu menempatkan diri di depan kedua orangtuanya setelah mengucapkan salam dan menyapa mereka.

"Selama kita pergi, enggak ada apa-apa 'kan Shill?"

Shilla yang sekarang sedang mengunyah roti selainya mengernyit sejenak mendengar pertanyaan mama barusan. Ia menggeleng, "Enggak. Memangnya ada apa, Ma?"

"Enggak ada apa-apa sih," jawab Zia. "Mama cuma takut kamu kenapa-napa," tak bisa ditampik bahwa ada nada cemas pada ucapan Zia barusan.

Terkekeh pelan. Shilla menatap mama dan papanya bergantian. Adakah yang lebih bahagia selain hidup bersama orang-orang tersayang dan disayangi oleh mereka?

"Cieee, Mama perhatian deh. Makanya, Ma. Lain kali jangan ninggalin Shilla lama-lama ya. Shilla enggak terbiasa kalau gak ada Mama sama Papa."

Kedua orangtua Shilla tersenyum lebar.

"Duh, manjanya," saut mama, bikin Shilla menahan senyum manis.

"Shill, ponselnya bunyi. Ada yang nelepon tuh."

Shilla menelan kunyahan selai rotinya. "Papa yang angkat ya, Pa. Shilla lagi makan."

Afdan mengangguk dan meraih ponsel Shilla di meja makan ini.

"Siapa, Pa?" tanya Zia, sedangkan anaknya asyik menyantap sarapan.

"Dikka?"

"Hah?!" kaget Shilla. Matanya membola saat tahu penelpon itu adalah Dikka. Untuk apa Dikka menelponnya pagi-pagi begini? Papa yang angkat pula! Jantung Shilla jadi bertak sangat kencang sekarang.

"Ooh, temennya Shilla. Ada keperluan apa ya menelpon anak saya pagi begini?"

Mampus dah gue, jangan jawab yang aneh-aneh lo, Dik!

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang