39. Bahagia Meski Sesaat

1.3K 75 1
                                    

Sejenak, Zia menghentikan aktivitas mengaduk adonan kuenya. Matanya sekarang menatap lekat iris mata anak gadisnya. Ia bisa membaca sedikit keraguan yang sedang berkecamuk di sana, terlebih saat Shilla memberi keputusannya.

Wanita itu kemudian mengerjap, lalu melanjutkan acara mengaduk adonan kuenya dengan mixer. "Sebenarnya ... Shilla setuju ataupun enggak, perjodohan itu akan tetap tejadi. Pernikahan itu akan tetap terlaksana. Dengan atau tanpa persetujuan Shilla."

Shilla mengembuskan napas pelan dan terkesan pasrah. "Gitu ya? Jadi percuma dong, Shilla ngomong gini?"

"Ya, enggak percuma juga. Syukurlah kalau Shilla mau menerima perjodohan ini." Mama menatap Shilla sekilas sambil tersenyum.

"Hn. Emang siapa sih, Ma calonnya?" tanya Shilla penasaran.

"Shilla udah tahu orangnya kok. Dan besok malam Shilla akan tahu."

🍃🍃🍃

Daripada berdiam diri di rumah dan pusing-pusing memikirkan siapa calon pendamping hidupnya, Shilla memilih untuk berolahraga. Dengan menggunakan kerudung berwarna nila, kaos panjang, dan celana training, ia berlari-lari kecil dari rumahnya menuju taman. Setidaknya taman adalah tempat pelepas penat untuk saat ini.

Udara segar nan sejuk serta pancaran sinar matahari pagi yang menyehatkan tubuh menemani lari Shilla. Gadis itu sesekali menebar senyum ceria dan menampilkan wajah mengenakkan pada para pengunjung taman. Ya, meski sekarang ia masih sedih, namun orang lain tak perlu tahu.

Dirasa cukup dan mulai lelah, Shilla menghentikan larinya. Napasnya sekarang tersenggal, keringat menetes perlahan dari pelipis, ia memegang lututnya yang mulai lemas. Untuk menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang usai lari, Shilla menatap ke bawah -ke jalan hitam beraspal.

Tanpa disadari, seorang pemuda tampan berdiri di samping Shilla yang sedang dalam posisi seperti rukuk. Ia menghalangi sinar matahari yang mulai memanas agar tidak mengenai tubuh Shilla. Sambil tersenyum manis, ia lalu berdehem agar si gadis berkerudung itu menyadari keberadaannya.

Dengan refleks, Shilla menolehkan kepalanya ke sumber suara dan sedikit mendongak. Bunga matahari dengan seberkas kilauan sinar mentari yang ditutupinya serta latar belakang berupa langit cerah dan dedaunan menguning jadi objek penglihatan Shilla. Ia berganti menatap pemuda yang sedang memperlihatkan bunga matahari itu.

Seketika, jantung Shilla berdesir hangat. Ia terkesiap, mengubah posisinya jadi berdiri. Shilla menegakkan punggungnya, lalu menatap pemuda yang sedang tersenyum manis itu -senyum yang Shilla rindukan, senyum yang ingin Shilla miliki sepenuhnya meski mustahil.

"Hai, Shill." Pemuda tampan itu: Dikka, menyapa. Membuat Shilla merasakan dentuman keras di hatinya dan hanya mampu tersenyum kaku. "Suka bunga matahari?"

"Ah? Um ... ya," kikuk Shilla. Ia mengerjap pelan dan menundukkan pandangannya. Namun melihat bunga matahari berwarna kuning cerah yang disodorkan Dikka untuknya, Shilla langsung menempatkan tatapan matanya pada wajah Dikka. "Apa?"

"Buat lo, cantik."

Satu senyuman terpatri manis di bibir Shilla.

"Bunganya," lanjut Dikka.

Shilla terkekeh pelan. Sebelumnya Shilla juga tahu, yang dimaksud cantik oleh Dikka adalah bunga matahari itu, bukan dia. Namun, yang membuatnya tersenyum adalah bunga cantik itu untuk dirinya. Masya Allah!

"Syukran," ucap Shilla. Entah kenapa, rasanya canggung.

"Udah lama ya, lari-larinya?" Dikka bertanya lagi.

"Um ... ya." Shilla mengangguk.

Tiba-tiba Dikka memerhatikan wajah cantik Shilla. Ia kemudian mengeluarkan sapu tangan dari saku jaket yang ia kenakan. Dikka lantas mengangkat sapu tangan itu perlahan dan mulai mengelapi keringat Shilla yang bercucuran di kening dan pelipis. Ia melakukannya dengan sangat telaten dan lembut.

"Pasti capek banget ya? Sampe keringetnya ngucur gini." Dikka terkekeh pelan.

Sumpah, ini Dikka kerasukan jin apa sih, sampai-sampai bersikap sedemikian manis padanya?

Sebenarnya Shilla sempat terkejut dengan tingkah Dikka yang menurutnya aneh. Ia ingin menepis tangan Dikka, mendorong dada bidang itu agar menjauh darinya. Namun, tubuhnya seolah mati rasa. Kaku, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Lo haus gak Shill?"

Astaghfirullah, Shilla langsung beristigfar dalam hati setelah kesadaran menariknya dari buaian imajinasi. Ia memalingkan wajahnya -yang mungkin sudah merona ke arah lain. Konyol sekali, dia mengkhayalkan hal itu terjadi.

Iya, Shilla mengkhayal Dikka mengelapi keringatnya dengan sapu tangan. Benar-benar memalukan!

Shilla mengangguk grogi.

"Haus?"

"Iya, Dik. Gue haus, banget malah. Emang kenapa? Mau tlaktir gue?" entah kekuatan dari mana, Shilla sekarang bisa bersikap biasa saja dan mengubah suasana canggung menjadi cair. Gadis itu akhirnya tertawa pelan.

Melihat lucunya Shilla tertawa meski pelan, Dikka jadi ikut tertawa. "Hahaha, oke. Lo duduk aja dulu."

Deja vu, rasanya Shilla pernah mendengar perintah 'Lo duduk aja dulu' dari Dikka. Ah, Shilla tak mau ambil pusing. Ia langsung menuruti perintah Dikka -duduk di kursi panjang taman yang bercat putih di sisi trotoar jalan. Sambil menunggu, ia menghirup bunga matahari pemberian Dikka tadi, sedangkan Dikka pergi untuk membeli minum.

Tak berapa lama, Dikka datang dengan membawa sebotol air mineral. Ia ikut duduk di samping Shilla, kira-kira berjarak setengah meter. Lantas menyodorkan botol berisi air mineral itu pada Shilla.

"Buat lo mana? Kok, cuma satu?" tanya Shilla saat menyadari Dikka hanya membawa sebotol air.

Dikka cuma tersenyum. Sumpah demi Allah, senyumnya benar-benar manis, bikin orang yang melihatnya terbang melayang sampai ke awan.

"Minum aja," titah Dikka halus.

Lagi-lagi Shilla hanya menurut. Ia membuka tutup botol air mineral yang masih disegel itu. Gara-gara tangannya sedikit basah dan licin, beberapa kali Shilla jadi gagal untuk membuka tutup botol tersebut. Dikka yang melihatnya bertanya, "Kenapa Shill?"

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang