"Lo mau ke mana?" Dikka bertanya pada sahabatnya yang sudah menaiki motor ninja berwarna hitam lokomotif.
"Gue mau ketemu doi, dong." Pemuda bergingsul itu menjawab dengan semangat 45 yang membara.
Akhir-akhir ini, ia memang sering bertemu Fika, gadis cantik yang sudah mengisi relung hatinya selama setahun lebih. Dua hari yang lalu, mereka baru saja merayakan anniversary yang pertama. Dengan menlaktir kekasihnya makan malam romantis di restoran berbintang lima ala orang Amerika.
"Gue capek-capek ke sini dan lo mau pergi?"
Aryo memakai helmnya agar aman saat berkendara. "Siapa yang suruh lo ke sini? Lagian acara sosial bulanan kan udah pas kemarin-kemarin."
"Gila! Gue 'kan emang sering ke sini!" sengit Dikka.
Aryo menghela napas kasar. "Terus? Lo mau ikut? Emangnya lo gak iri, liat gue ciuman sama Fika nanti?"
"Ck, dasar mesum!" Dikka langsung mengumpat.
"Hahaha!" Aryo malah tertawa mendengarnya. "Lo juga mau? Sana sama Friska. Eh, iya dia 'kan udah pindah ya."
Dikka mendesis. "Apa sih?"
"Ah, udah ya, gue mau capcus dulu!"
"Pacaran mulu lo," ucap Dikka sarkasme.
"Biarin, yang penting gue masih dalam batas wajar."
"Cowok mesum macam lo? Gak percaya!"
"Ya, Allah. Kalau gue cowok brengsek, Fika udah hamil sekarang."
Dikka ingin mendebat. Namun ia urungkan niat itu. Memorinya kini mengingat sesuatu. Fika. Nama itu.
Bukankah Shilla ada janji dengan yang namanya Fika? Dan bukankah Fika adalah gadis yang ditemuinya di pedagang kaki lima beberapa waktu silam? Ah, ya! Fika pacarnya Aryo adalah sahabat Shilla.
"Fika anak SMA Tunas Bangsa?" tanya Dikka memastikan. Sebenarnya, Dikka baru tahu seperti apa pacar sahabatnya. Selama ini, ia hanya tahu nama dan foto yang pernah Aryo tunjukkan saja.
SMA Tunas Bangsa. Lima gadis itu: Shilla, Alyna, Fika, Ita, dan Gatha, bersekolah di sana. Alyna yang memberitahunya saat mereka chatt-an waktu itu.
"Iya, siapa lagi? Parah lo, katanya sahabat gue. Masa gak tahu pacar gue siapa? Ck!" Aryo mendecakkan lidahnya. Ia lantas menstarter motornya dengan sedikit kesal karena pertanyaan bodoh Dikka tadi.
Begitulah Dikka, tidak pernah ingin tahu ataupun tertarik dengan urusan orang lain. Apalagi kisah percintaannya. Namun, sekarang Shilla-lah yang suskes membuatnya jadi orang terkepo sedunia.
Kalau begitu, Dikka akan ikut, sebab Shilla juga pasti ada bersama Fika. Ia kemudian menunggangi bagian jok yang kosong di belakang Aryo tanpa seizin empunya sebelum pemuda itu menekan gigi. Dan Aryo baru menyadari kalau Dikka naik motor ninjanya setelah mereka melaju beberapa meter dari pekarangan rumah. Sial! Ia melihat kaca spion yang menampilkan sosok Dikka menyeringai puas.
***
"Aryo, gue mau kita putus." Fika menatap pemuda jangkung kurus di depannya sekilas. Bola matanya dengan segera ia gerakkan untuk menatap arah lain, namun masih semampai dengan wajah pemuda hitam manis itu.
Bukankah kita harus menjaga pandangan?
Pemuda di depannya mengangkat sebelas alis, memasang ekspresi bingung. Pertama datang ke sini dan menemuinya, ia sudah dibuat bingung dengan penampilan kekasihnya yang mengenakan jilbab dan kerudung.
"Kamu sehat?"
"Jangan bercanda!" tegas Fika.
"Fika, kamu yang jangan bercanda. Lagian ... wajah cantik kamu gak pantes buat ngelawak," ujar Aryo melembut. Tersungging senyum manis di bibirnya dengan gingsul yang sedikit terlihat. Ia terus menatap gadisnya lekat.
Dikka tentunya ada di sana, sama-sama memasang mimik heran. Ia berdiri di samping Aryo dan di depannya terdapat Shilla.
Shilla menemani Fika. Dugaannya benar 'kan? Pasti, intuisinya memang tidak pernah salah kalau tentang Shilla.
Sesekali, cowok itu mencuri pandang pada Shilla. Tersenyum, lalu menunduk kikuk. Kenapa gadis itu selalu membuat jantungnya deg-degan sih?
"Gue beneran. Mulai detik ini, kita udah gak ada hubungan apa-apa! Dan lo gak usah ngehubungin gue lagi."
Wajah Aryo mendadak pucat pasi. Kekasihnya itu sepertinya tidak main-main. Bukan karena panggilan lo-gue, selama mereka pacaran Fika memang memanggilnya dengan panggilan tersebut. Nada bicara dan tatapannyalah yang membuat ia sadar kalau Fika memang sedang berbicara serius.
Ia langsung membingkai pipi kekasihnya dengan kedua tangan. Membawa kepala Fika yang memaling untuk menatap ke wajahnya. Ditatapnya sepasang mata yang terus menghindari kontak dengannya itu.
Masih tak percaya dengan yang gadis itu ucapkan, ia lantas berucap lemas, "Please, jangan main-main, Sayang."
Kasar. Fika langsung menepis dua tangan yang menangkup pipinya. "Jangan pegang-pegang. Belum mahram." Ia mundur selangkah. Menahan dadanya yang menggemuruh.
"Kamu apa-apaan sih, Fi? Bukan mahram? Kenapa baru bilang sekarang? Apa kamu lupa, apa aja yang udah kita lakuin selama pacaran? Saat kamu-"
"DIAM!" Fika berteriak.
Tidak peduli beberapa orang yang berada di taman sekarang menatapnya heran nan tajam. Fika menutup telinganya rapat. Sungguh menyesal pernah melakukan itu. Bukan, bukan berhubungan intim. Ia masih tahu batasan. Tetapi semua yang 'Hampir'. Kalian pasti tahu sendiri.
Aryo menatap Dikka di sampingnya. Mengisyaratkan kalau pemuda itu sebaiknya menyingkir sejenak. Dikka yang mengerti langsung menarik tas selempangan Shilla. Ia tahu, sahabatnya itu juga pasti tidak nyaman jika harus berdebat di depan Shilla.
Yang tas selempangannya ditarik sontak saja memekik. Setelah sedikit menjauh, ia mengerti. Pembicaraan pribadi antara Fika dan Aryo tidak sepantasnya juga Shilla dengar.
"Please, Aryo. Ngertiin gue. Gue pengen berubah. Gue pengen jadi orang yang lebih baik lagi. Gue pengen jadi hamba yang deket sama Tuhannya."
"Tapi kenapa harus putus?"
"Ini jalannya, gue gak mau berbuat dosa lagi. Lo cowok, kalo bener-bener sayang harusnya ngejaga, bukannya ngerusak." Fika menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Fi, berpikir dewasa ...."
"Justru pikiran elo yang gak dewasa, elo kekanakan. Lo cuma main-main. Lo enggak serius sama gue. Lo ngelakuin hal kotor yang harusnya dilakuin saat kita udah sah. Cuma aksi lo yang dewasa, enggak dengan pikiran."
"Fika, aku serius sama kamu. Aku serius dengan hubungan ini. Kalau gak serius, ngapain aku kenalin kamu ke orangtuaku?"
Dua kali Fika langkahkan kakinya untuk mundur. Tubuhnya melemas, hingga ia memilih untuk duduk di kursi taman yang panjang bercat putih polos. Sayang, dirinya tak seputih dan sepolos cat itu.
"Apa kamu udah lupa? Aku yang selalu ada di samping kamu. Selalu ada saat kamu butuh. Aku yang selalu ngusap air mata kamu saat kamu nangis, nyediain pundak saat kamu perlu sandaran, ngasih pelukan saat kamu rapuh, ngegenggam tangan kamu saat kamu lemah. Aku Fi, aku."
Fika memalingkan mukanya pada bunga-bunga yang melayu karena sudah sore. Matanya yang berair terangin-angin, seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, dan itu rasanya sangat perih. Meski tak seperih hatinya kini.
Aryo tahu segalanya tentang Fika. Dalam setahun, ia cukup mengenali bagaimana gadis itu. Ia orang pertama yang akan bertanya Kamu ada masalah apa? pada Fika. Lalu dengan senang hati menawarkan pada Fika untuk menceritakan semua masalahnya.
Gadis itu bukanlah tipe orang yang terbuka. Ia amat tertutup. Namun, Aryo bisa tahu semuanya lewat tatapan itu. Matanya bisa menembus tumpukan kepura-puraan yang Fika sembunyikan hingga menemukan dasar kebenaran di manik gadis itu.
"Kasih tahu aku alasan yang jelas, Fi," pinta Aryo pada akhirnya. Sedikit menyerah, ia tidak bisa menatap penyalur informasi itu, mata Fika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
EspiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...