34.b

1.1K 72 2
                                    

"Assalamu'alaikum." Alyna mengucapkan salam seraya mengetuk pintu kamar Shilla yang terbuka lebar beberapa kali.

Lamunan Shilla seketika buyar. Ia menjawab salam Alyna lalu menengok ke arahnya.

"Masuk, Lyn," intrupsinya saat Alyna hanya berdiri di ambang pintu. Shilla kemudian berjalan menuju tempat tidur dan duduk di sana.

Alyna tersenyum lebar. Ia menghampiri Shilla dan ikut duduk. "Gue nginep ya, Shill. Besok 'kan libur ini."

"Boleh-boleh aja ..." setuju Shilla.

"M ... Shill. Gue pengen cerita nih."

Shilla mengangkat kedua alisnya ke atas. Ia merapatkan bibir lalu mengangguk. "Ya ... cerita aja. Gue siap dengerin kok."

Alyna tampak menghela pelan. "Gue baru tahu, kalau alasan Sesi ngebenci gue selama ini, itu karena dia cinta sama Reza. Dan Reza malah cinta sama gue." Alyna membicarakan topik utama.

"Reza mantan pradana putra itu?"

Alyna mengagguk. "Iya. Makanya, Sesi yang gak terima selalu nge-bully gue."

"Terus-terus, gimana?" Shilla makin penasaran.

"Waktu hari libur terakhir, gue pergi ke cafe. Di sana, gue ketemu Sesi. Sesi tiba-tiba numpahin cokelat panas ke baju gue, sampe tembus ke dada dan perut. Panas banget, sumpah."

"MasyaAllah," pekik Shilla.

Alyna melanjutkan ceritanya."Saat itu juga, Reza muncul dan nasihatin Sesi. Tapi Sesi makin ngamuk dan ngungkap segalanya tentang dia yang cinta sama Reza tapi Rezanya malah cinta sama gue. Terus Reza bilang kalau dia enggak ada perasaan apa-apa sama Sesi. Dan kalau Sesi berani nyakitin gue lagi, Reza akan bertindak lebih."

"Terus Sesi sadar gak?"

"Mungkin sedikit," tebak Alyna. "Ah, lupain tentang Sesi. Ini tentang Reza dan gue."

"Kalian?"

Alyna mengangguk semangat dan tersenyum lebar. "Ya. Gue gak nyangka banget Reza cinta sama gue. Alhamdulillah, ternyata cinta dalam diam gue membawakan hasil yang manis. Cinta gue terbalaskan, Shill!"

"Terbalaskan?" Shilla mengernyit bingung. Apa maksudnya?

"Iya, Shilla. Terbalaskan, gak bertepuk sebelah tangan! Lo tahu, Shill? Gue udah cinta sama Reza dari pertama kali masuk SMA. Saat gue pertama kali denger dia ngaji di kelas pas jam istirahat!" cerita Alyna dengan semangat.

"Loh, bukannya lo cintanya sama Dikka?" akhirnya pertanyaan ini bisa Shilla lontarkan juga.

"Dikka?" kini giliran Alyna yang mengernyit.

"Iya, cowok yang lo cinta yang inisial huruf terakhirnya 'A'. Dikka 'kan?"

Sontak saja Alyna tertawa. "Hahaha! Ya ampun, Shill! Jadi lo nyangkanya itu Dikka? Bukanlah, itu Reza!"

Shilla makin melongo.

"Aaah! Pokoknya gue bahagia banget, Shilla!" Alyna memeluk sahabatnya yang berada di samping dia.

Beberapa detik kemudian, Shilla mematri senyum lebar di bibirnya. Entah mengapa, hatinya terasa menghangat saat mengetahui Dikka bukan orang yang dicintai Alyna. Berarti, ia hanya salah memahami kenyataan. Ia salah menyimpulkan keadaan.

Kini, satu hal yang bisa ia simpulkan. Bahwa kenyataan tak semenyedihkan apa yang ia pikirkan.

"Shill," panggil Alyna kemudian. Ia melepaskan pelukannya.

"Ya?"

"Lo gak berpikiran kalau gue cinta sama Dikka 'kan?" tanya Alyna sedikit serius.

Shilla tersenyum malu. Ia tertawa kecil. "Ya ... gue sempet nyangka gitu sih."

"Ya ampun, Shilla. Kenapa bisa berpikiran gitu?" Alyna bertanya gemas. Ia yakin, sahabatnya yang mencintai Dikka ini sampai menangis saat mengira ia juga mencintai Dikka. Bayangkan saja bagaimana rasanya.

Shilla menggaruk kepalanya yang terbalut kerudung. "Abisnya, lo yang paling deket sama Dikka. Terus, kalau ada apa-apa tentang Dikka, lo juga pasti ada. Kayak kejadian di mall seminggu yang lalu. Dan pas tadi gue ketemu Dikka, Dikka masih aja bawa-bawa nama lo."

Alyna tertawa keras. "Hahaha! Shilla, Shilla. Polos banget sih?"

Bibir Shilla kini manyun. "Ah, rese banget deh," decaknya.

Sekarang Alyna berhenti tertawa. "Ohya, Shill. Kemarin tuh, gue kebetulan ketemu Dikka. Terus kita gak sengaja ngeliat lo bareng Gavin. Dari awal ngeliat, Dikka kayak gak rela banget kalian berduaan di ujung rak buku itu. Dia terus berusaha buat nyamperin kalian, tapi gue cegah. Gue tahu ... kalian punya masalah yang perlu diomongin."

Alyna berhenti sejenak. Raut wajah Shilla yang mendadak serius dipandangnya. "Gue juga kaget banget pas Dikka tiba-tiba nonjok Gavin gitu aja."

"Apa coba maksudnya?" tanya Shilla spontan.

"Gak tahu, gue juga gak ngerti. Padahal kalian lagi ngomong baik-baik, ya? Dan sepengetahuan gue, Dikka mukul Gavin setelah Gavin bilang kalau dia bakal ngelamar lo."

Shilla mendesah lemas. "Gavin emang bilang gitu. Gak tahu serius atau cuma bercanda, tapi kayaknya serius deh."

"M ... mungkin aja, Dikka gak rela, Shill."

"Gak rela? Kenapa gak rela? Emang dia siapanya gue? Apa hak dia terhadap gue?" tanya Shilla, emosinya tersulut.

Alyna jadi bingung harus berkata apa. Ia tidak punya hak untuk memberitahu tentang perasaan Dikka terhadap Shilla.

"Shill, lo cinta gak sama Dikka?" tanyanya hati-hati. Meski seratus persen ia yakin bahwa Shilla mencintai Dikka, namun ia ingin mendengar langsung pengakuan dari bibir sahabatnya.

Shilla tersenyum. "Kalaupun gue cinta sama dia, gue gak mau terlalu berharap, Lyn."

"Kenapa?"

"Kayak quotes dari Imam Syafi'i: 'Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.' Berharap sama manusia itu sakit."

Decakan kagum keluar dari bibir Alyna setelah mendengar ucapan Shilla barusan.

"Jujur, gue sempat berharap lebih sama Dikka. Bahkan gue sampe lalai sama kewajiban, mulai jauh sama Tuhan. Ujungnya, gue ngerasain kecewa. Dan mulai sekarang, gue gak mau terlalu berharap lagi," pungkas Shilla diakhiri senyuman.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang