36. Benarkah?

1.4K 72 5
                                    

Gadis itu dengan spontan membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O besar. Matanya yang tertimpa cahaya lampu ruang keluarga kini melebar untuk beberapa detik. Ia benar-benar terkejut mendengar ucapan papanya barusan.

Shilla kemudian mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Perlahan, ia menutup mulutnya yang menganga. Embusan napas yang harusnya keluar lewat hidung sekarang malah tertahan di diafragma. Tubuhnya pun secara mendadak terasa menegang.

"Maksud Papa apa? Dijodohin?" tanyanya ulang. Barangkali, Shilla tadi salah dengar dengan ucapan papanya yang ingin menjodohkan dia.

"Iya, Shilla. Kita ingin menjodohkan kamu dengan anak teman Papa." Papa berujar dengan nada lembut namun berhasil menohok hati Shilla.

"Please deh, Pa. Papa cuma bercanda 'kan? Ini enggak mungkin," elak Shilla, menahan emosi agar tidak berkata kasar karena keterkejutannya.

"Papa benar, Shilla." Zia yang duduk di samping Afdan kini angkat bicara. Nadanya terdengar meyakinkan. "Ini sudah direncanakan sejak Mama hamil. Dulu, kalau Mama melahirkan anak perempuan, kita akan menjodohkan anak kita."

Ketika Shilla ingin protes, papa dengan cepat menyela, "Kita merencanakan perjodohan ini tentunya dengan dipikir matang-matang, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Dan keputusan untuk menjodohkan kalian adalah hal yang tepat. Dan lagi, ini waktu yang tepat. Shilla bakal lulus SMA."

Gadis itu langsung merespons, "Shilla enggak mau, Pa." Ia menekankan setiap kata yang diucapkannya. Shilla tentu tidak terima dengan keputusan mendadak ini. Lagipula, ini bukan zamannya Siti Nurbaya. Kenapa mesti dijodoh-jodohkan? Ya, Allah.

"Kuno banget, tahu gak?" Shilla setengah ngambek.

"Shilla ... Mama tuh, khawatir. Saat ini banyak gadis yang terjerumus pergaulan bebas. Ujung-ujungnya hamil di luar nikah, punya anak tanpa ayah. Tujuan kita ngelakuin ini adalah untuk jaga-jaga, Shill."

"Astagfirullah, jadi Mama nyangka kalau Shilla itu gadis enggak bener?"

"Bukan seperti itu maksudnya, Shilla. Kalau kamu punya suami, pastinya ada yang jagain saat kamu gak sama kita."

"What?! Suami?" Shilla makin kaget. "Shilla enggak mau nerima perjodohan ini. Dan suami? Ya, ampun, Ma. Shilla belum pengen nikah. Shilla masih pengen kuliah, ngejar cita-cita. Shilla udah daftar di salah satu universitas negeri dan belum tahu Shilla keterima apa enggak di sana. Kenapa secara tiba-tiba ada acara ngejodohin gini? Sebelumnya kalian setuju 'kan Shilla kuliah buat ngewujudin impian Shilla?

"Shilla pokoknya enggak setuju, enggak setuju! Lagian Shilla itu masih muda banget ... masa mau nikah? Kalian tahu? Remaja yang menikah di umur yang sangat muda, kecil kemungkinannya untuk mempertahankan pernikahan. Terus kalau hamil, rahimnya belum-"

Mama memotong, "Dengerin dulu, Shilla," ucapnya lembut. "Mama tuh, selalu cemas kalau kamu keluar rumah sendirian, kalau kamu pulang les ataupun bimbel malem, dan saat kita enggak ada di rumah. Mama takut terjadi hal yang enggak-enggak. Apalagi nanti Shilla kuliah."

"Shilla udah gede Ma, bisa jaga diri sendiri."

Papa menengahi, "Wanita memang makhluk kuat dan hebat, Shill. Tapi terkadang juga butuh perlindungan, butuh seseorang yang menjaga. Enggak semua orang itu baik, bahkan kadang dunia tak terlihat sekejam aslinya.

"Tenang saja, Shilla masih bisa kuliah, bisa ngejar cita-cita Shilla buat jadi designer. Dan saat Shilla kuliah, Shilla udah ada yang jagain. Setelah pengumuman kelulusan, kita ketemu sama calon suami kamu. Terus tentuin tanggal lamaran dan pernikahan."

Jantung Shilla nyaris berhenti setelah mendengarnya. Apa-apaan ini?! Shilla hanya bisa mendengus pasrah, "Ini beneran?"

"Beneran lah, Shilla." Mama tersenyum, sedikit meluluhkan hati Shilla yang mengeras emosi.

"Emang anak teman Mama dan Papa itu siapa?" tanya Shilla kemudian. Saking terkejutnya, ia sampai lupa menanyakan lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu siapa.

Katanya, jodoh itu cerminan diri sendiri. Lalu, siapakah cerminan dirinya itu?

"Yang pasti, Shilla pasti suka sama dia." Papa memberi kode, bukan jawaban. Membuat Shilla sedikit kesal.

"Shilla pikir-pikir lagi, ya?" pintanya, amat berharap mereka menyetujui. Entah nanti dirinya menerima perjodohan ini atau menolaknya matang-matang: tidak menolak secara mentah-mentah seperti tadi.

"Bersiap-siap ya," lagi-lagi papa memberi jawaban yang tidak Shilla inginkan.

***

Belum siap.

Sekiranya dua kata itu yang sedang menggambarkan hati Shilla. Ia belum siap dilamar, apalagi menikah. Ia tidak bisa menerima dengan mudahnya perjodohan konyol ini. Sungguh, ini terlalu berat, menekan, dan perlahan menyiksa.

"Ya Allah ... jika perjodohan ini memang telah Kau tetapkan dalam kitab lauful mahfudz, semoga seseorang yang dijodohkan denganku memang jodoh halalku.

"Dan Dikka, saat dia yang hamba harapkan bukan jodoh hamba, lapangkan dan ikhlaskanlah hati ini, ya Allah.

"Kuserahkan semuanya pada-Mu. Bantulah hamba dalam memantapkan hati untuk menentukan keputusan yang terbaik."

Shilla berdoa usai melaksanakan salat istikharah di sepertiga malamnya. Rasa dilemanya ia curahkan semua pada Allah SWT. Gadis itu kemudian melepas mukenanya lalu beranjak ke kasur.

Sudah beberapa kali ia mencari posisi nyaman untuk tidur. Setelah beberapa saat, posisi nyaman sudah ia dapatkan dengan tubuh dan kepala miring ke kanan. Namun, matanya malah enggan untuk terpejam. Shilla insomnia.

"Dijodohin? Bentar lagi? Sama siapa?" Shilla bertanya-tanya. Ia bingung, heran, penasaran, semas, rasanya campur aduk.

Pikiran Shilla mengingat seseorang. "Gavin? Apa jangan-jangan dia?" tebak Shilla sesak. "Nggak. Jangan sampe, ya Allah!" pekiknya.

Lampu temaram yang berada di samping nakas kini jadi objek lamunan. Mata Shilla memandang dengan tatapan kosong. Makin lama, mulai berair perlahan.

"Gue belum siap, gue enggak mau dijodohin, hiks." Shilla terisak.

Drrrttt

Ponsel Shilla tiba-tiba bergetar, Shilla dengan malas menoleh ke samping, melirik pesan di pop-up layar ponselnya.

Gavin: Assalamu'alaikum, calon istri :)

Setelah membaca pesan dari cowok itu, Shilla langsung mengambil bantal guling untuk menutupi wajahnya yang basah karena air mata.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang