31.b

1K 77 2
                                    

"Pokoknya Dikka mau pulang."

Dikka tetap bersikukuh pada Karin yang sedang duduk di samping tempat pembaringannya. Sudah beberapa kali ia membujuk wanita berkerudung merah jambu itu agar dia bisa pulang ke rumah.

Berada di rumah sakit ternyata tidak senyaman yang ia pikiran. Di sini bau obat-obatan yang terasa menyengat ke indra penciuman, bikin tidak betah. Pantas saja Shilla sangat membenci yang namanya rumah sakit.

"Kamu tuh, ya. Tinggal berbaring dan istirahat aja susah banget. Suruh siapa enggak jaga kesehatan? Suruh siapa telat makan? Suruh siapa tiap malem begadang terus? Jadi drop gini 'kan?" Karin setengah mengomel.

Begadang ngerjain tugas juga. Dikka memanyunkan bibir. Mama dari tadi mengomelinya terus. Menyuruhnya istirahat dan jangan banyak gerak. Tidak tahukah beliau bahwa tubuhnya yang berbaring seharian serasa kaku?

"Tubuh juga punya hak untuk istirahat, Mas Kka. Jangan disortir terus. Pas sakit gini baru kerasa 'kan?"

"Ma, Dikka cuma pengen pulang. Itu aja."

"Kamu belum sembuh total, masih harus banyak istirahat."

"Istirahatnya di rumah."

Karin menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ditatapnya pemuda dengan wajah pias yang terbaring di brangkar itu. Ia lalu mengarahkan sesuap bubur kepada Dikka. Ini waktunya makan siang.

"Buka mulutnya, aaa," intrupsi Karin.

"Gak mau."

"Mas Kka .... Kamu dari pagi belum makan apa-apa selain roti dua suap tadi. Perut kamu kosong, jangan bikin tambah sakit."

"Kenyang, Ma," tolak Dikka halus.

"Ayolah, jangan bikin Mama khawatir," sendu beliau.

Hening beberapa saat.

"Assalamu'alaikum ...."

Ucapan salam yang terdengar dari beberapa orang membuat Karin menurunkan sendok yang disodorkan ke Dikka. Ia menjawab salam sembari menengok ke sumber suara, mendapati beberapa teman Dikka yang sedang berjalan ke arahnya. Ia pun menaruh semangkuk bubur utuh itu lalu berdiri.

Dikka mengganti posisinya jadi duduk. Karin yang berada di sampingnya pun langsung sigap membantu. Hal itu membuat Dikka hanya bisa mengembuskan napas singkat.

"Apa kabar, Tante?" Tina bertanya seraya menyalami tangan mamanya Dikka.

"Alhamdulillah, baik. Yang enggak baik kabarnya Dikka tuh," tunjuk beliau dengan arah pandang tertuju ke anaknya.

"Maaf ya, Tan. Kita baru bisa jenguk Dikka sekarang." Aryo mewakili yang lain.

"Iya, gak pa-pa kok. Yang penting doanya. Kalau gitu, Tante keluar dulu, ya. Assalamu'alaikum."

Mereka menjawab salamnya.

"Ya ampun Bro, gak tega gue lihat lo kayak gini." Ino menghampiri Dikka. "Cepet sembuh ya, syafakallah."

Dikka tersenyum manis dan mengamini.

"Kebanyak dosa sih, lo. Jadi sakit kayak gini 'kan?" Kalvin menyaut. "Tapi beruntung juga lo sakit, karena katanya, sakit itu buat ngegugurin dosa."

"Iyain," saut Dikka cuek.

Aryo dan Ino yang mendengarnya tertawa. Sedangkan Tina hanya tersenyum kecil. Walau sedang sakit, sikap Dikka gak ada berubah-berubahnya.

"Jangan lama-lama di rumah sakitnya ya, Kka. Kasihan suster dan dokternya," ujar Aryo.

"Kenapa?" Dikka bertanya. "Mereka bosen ngerawat gue?"

"Bukan."

"Terus?"

"Lo bau, kelamaan gak mandi," jawab Aryo diakhiri tawa.

"Njiiir!" Dikka menjitak kepala Aryo pelan, tidak pakai tenanga.

Satu-satunya gadis di ruangan itu kini bersuara. "Cepet sembuh ya, Kka. Gue khawatir banget pas tahu lo masuk rumah sakit-" ucapan Tina terhenti saat mendapat tatapan mata dari mereka semua.

Ia tergugup sebentar lalu mengubah arah bicaranya. "Maksudnya. Ya, 'kan ... lo patner gue buat ngerjain tugas-tugas dari dosen. Wajarlah gue khawatir. Yang ngebantu gue jadi gak ada."

"Oh ...." Dikka ber-oh panjang. "Thanks doanya."

"Sama-sama." Tina tersenyum malu. Cukup bahagia dengan ucapan simpel Dikka. Sejenak, ia melupakan masalah tentang gadis kelas tiga SMA bernama Shilla yang digadang-gadang sedang dekat dengan Dikka.

"Kalian juga harus jaga kesehatan ya, jangan terlalu sibuk sama tugas. Tugah mah, ke dua," pesan Dikka.

"Duh, ucapan lo kayak kata-kata terakhir dari orang yang mau mati aja Kka!" celetuk Kalvin yang langsung mendapat pelototan tajam Dikka dan tawa dari yang lain.

***

-Windy, yang lagi sibuk ngurusin class meeting.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang