24.b

105 11 0
                                    

Bersama langit-langit kamar yang putih polos, ia merebahkan tubuhnya yang terasa penat di kasur. Terlentang dengan kedua telapak tangan menopang kepala bagian belakang sebagai bantal. Pikirannya sedang berlayar ke satu titik.

Papa.

"Gue bego, ya? Selalu menganggap papa salah, jahat, dan egois. Padahal gue yang harusnya dapat predikat jelek itu."

"Papa mana yang enggak sayang sama anaknya? Enggak ada. Tapi kalau anak mana yang enggak peduli sama papanya, mungkin itu gue."

"Astagfirullah ... ampuni pendosa seperti hamba ya Allah ...."

Bunyi ponsel pertanda pesan masuk dengan refleks menghentikan kegiatan merenung Dikka. Ia melirik benda persegi panjang dengan logo apel tergigit itu di nakas. Lalu diambilnya cepat. Rasanya ingin tahu saja isi pesan itu apa, sekalipun mungkin dari operator.

Dik, gue pengen balikin jaket lo.

"Shilla?!" Dikka memekik senang. Guratan bahagia kini tercetak indah di wajah tampannya. Ia dengan gerakan cepat langsung mengubah posisinya untuk duduk. Mulai mengetikkan balasan untuk Shilla.

Dikka: Sini, Shill. Ke rumah gue. Pintu rumah maupun pintu hati terbuka lebar untuk lo.

Shilla: Dih, masa cewek yang nyamperin cowok? Harkat martabat cewek enggak serendah itu kali.

Kekehan kecil seketika keluar di antara bibir seksi Dikka usai membaca balasan dari Shilla itu. "Hihi, ajaib banget pake bawa-bawa harkat martabat segala." Ia jadi teringat martabak kelapa yang ia berikan pada papa tadi. Semoga saja papa sedang memakannya dan suka.

Dikka: Oh, jadi ... mau gue yang ke rumah lo? Oke. Gue sekalian mau minta izin ke papa lo, buat ngejaga anaknya seumur hidup.

Dikka tersenyum usil. Mengetikkan sesuatu yang lebih parah lagi dan bikin anak orang dijamin baper. Ia mendapat kata-katanya dari internet.

Dikka: Shill, tolong bilangin ini ke orangtua lo ya. 'Om, tante, please ... kasih anaknya buat saya ya. Nanti saya ganti deh, sama cucu yang unyu-unyu dan ngegemesin.'

Shilla: Ada kresek buat muntah gak?

Dikka: Gak ada. Adanya aku buat kamu.

Shilla: Jaket lo gimana balikinnya? Serius!

***

Shilla menahan rasa jedag-jedug yang nyaris meledak di dalam dadanya. Ia menatapi beberapa pesan yang dikirim Dikka. Isinya mungkin receh, namun Shilla tidak bisa menganggap remeh. Bagaimanapun juga ia tetap seorang perempuan, punya perasaan yang mudah luluh saat diperlakukan manis. Meski hanya dengan kata-kata.

Bohong kalau dia enggak baper. Dusta kalau ia mengaku biasa saja. Jujur, ia dibuat melayang dengan kalimat lugas nan romantis Dikka. Entah pemuda itu bercanda atau tidak, tanpa sadar Shilla menganggap itu serius.

Makanya ... nulis pesan itu pakai jari, bukan hati. Hati nuraninya seolah mencibir.

Dilka: Jam dua, di taman kota, gue tunggu lo, Shill. Jangan bikin gue lama menunggu jodoh dari Allah, ya?

Gadis itu berusaha sekuat tenaga menahan bibirnya untuk tidak tertarik ke atas. Namun ia kalah, senyum lebar malah tercipta. Bahkan hingga memperlihatkan deretan gigi atasnya yang putih rapi.

Ia segera beristigfar dalam kalbu. Menyebut nama-nama mulia Allah. Membuat hatinya meredam rasa baper yang overdosis. Shilla tahu dan sadar, ia sudah kelewat batas meladeni pesan-pesan gombal Dikka.

"Dikka sialan!"

***

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang