14.b

1.6K 36 5
                                    


Seorang gadis menenteng kantong plastik sambil berdiri di depan sebuah kedai. Arloji pink di tangan kanannya ia lirik, sudah jam tujuh lebih. Namun, ia belum beranjak dari tempat itu karena hujan mencegahnya.

Shilla tidak mengeluh. Ia malah senang menatapi rintik hujan yang menderas. Hujan itu rezeki yang diturunkan oleh Allah melalui perantara Malaikat Mikail, patut disyukuri.

Malam Minggu. Katanya, para jomblo ngenes sangat membenci malam laknat itu. Biasanya mereka akan meminta Tuhan untuk segera menurunkan hujan. Dan malam ini, Tuhan sangat baik dengan mengabulkan doa mereka. Hujan turun dengan deras, dan pasangan kekasih mengeluh malas.

"Mama pasti nungguin baksonya," ucap Shilla pelan. Prihatin dengan nasib bakso yang mungkin kadar panasnya berkurang.

Ia melihat wanita cantik turun dari sedan hitam, membuka payungnya, lalu menghampiri dirinya. Shilla tersenyum manis saat wanita itu berada tepat di sampingnya, ia sedang menutup payung lalu menepuk-nepuk baju berlengan panjangnya yang sedikit bahas oleh percikan hujan.

"Baksonya masih ada Mba? Belum habis?" tanyanya penuh harap. Menatap beberapa pengunjung kedai yang sedang menikmati santapan hangatnya.

Alis Shilla nyaris bersatu kala mendengarnya. Sedetik kemudian, ia tersadar. "Oh, maaf, saya bukan pegawai kedai ini," ucapnya sopan.

Wanita itu tampak tersenyum kikuk. "Iya, sih, masa cewek secantik kamu jadi pelayan, hihi."

Shilla terkekeh pelan. "Cantik? Ah, Tante bener aja."

***

"Kamu masih di sini?" Karin bertanya pada gadis cantik yang ia sangka pegawai kedai tadi. "Menunggu seseorang ya?"

"Enggak kok, Tan. Cuma lagi nunggu hujan reda," jawabnya. Memanggil wanita itu dengan sebutan "Tan", tante, bukan mantan.

"Emang ke sini naik apa? Gak ada yang jemput? Rumah kamu di mana? Tante anter mau?"

"Jalan kaki, enggak ada. Rumahnya deket dari sini kok, di deket pertigaan sana. Ah, gak usah repot-repot, Tan." Shilla tersenyum ramah, menjawab rentetan pertanyaan wanita berkerudung itu.

"Udah, ayo. Tante bukan orang jahat kok." Karin memayungi gadis itu. Berjalan selangkah, lalu berhenti. Menatap gadis itu yang tidak mengikuti langkahnya. Ia tersenyum lebar, "Hey, ayo!"

Shilla mengangguk ragu. Ia melangkahkan kakinya dan menempatkan diri di samping si wanita cantik nan muda itu. Mereka berjalan seiringan menuju mobil, di bawah naungan payung biru laut dengan hujan yang mengguyur.

Dua kaum Hawa itu segera masuk ke dalam mobil. Mereka sekarang duduk bersebelahan di jok belakang. Di depan ada seorang pria yang sedang menyetir, sepertinya suami dari tante ini.

"Saya Herlan, sedangkan itu Istri saya, namanya Karin." Pria itu memperkenalkan diri dan istrinya. "Kalau nama kamu siapa?" Herlan bertanya, memecah keramaian hujan.

Shilla tersenyum manis sambil mengangguk-anggukkan kepala saat mendengar om itu memberitahu namanya dan nama tante yang sedang duduk di sisinya sekarang. Dia lalu menjawab, "Shilla."

"Shilla? Nama kamu Shilla? Beneran?" Karin bertanya-tanya, seolah mendapat anugerah besar. Sejak tadi, dia belum menanyakan siapa nama gadis itu.

"Hahaha, iya, Tante. Emangnya kenapa, Tante? Namanya pasaran banget ya?" tanya Shilla ceria.

"Iya, Mama kenapa kaget gitu?" Herlan menatap dua perempuan itu lewat kaca spion di atas. Kemudian fokus menyetir lagi.

"Ah, enggak." Karin tersenyum misterius. "Kamu kelas berapa, Shilla?"

Shilla jadi penasaran sendiri, ia lalu menjawab, "Kelas tiga, Tante."

"Ouhhh." Karin manggut-manggut.

"Sekolah di mana, Shilla?" kali ini Herlan bertanya lagi, ingin tahu sedikit.

"SMA Tunas Bangsa, Om."

"Kalau anak Tante udah kuliah. Baru semester dua."

"Oh, ya? Cewek yah, Tan?" tanya Shilla semangat. Tante Karin begitu baik padanya, siapa tahu dia juga punya anak cewek.

"Dia cowok, bandel banget, Shill." Herlan yang menjawab.

Karin mendengus kesal sedangkan Shilla tertawa kecil. "Tapi berprestasi tahu, nurun Mamanya. Kalo bandelnya itu nurun dari Papa."

"Hey, tapi ganteng bangetnya nurun dari Papa." Herlan tak mau kalah.

"Iyalah, dia ganteng. Orang cowok. Coba kalau cewek, pasti cantik kayak Mamanya."

Shilla hanya terkekeh pelan menyaksikan tingkah dua orang itu. Mereka tak jauh beda dengan orangtuanya. Saat Shilla melihat rumahnya dari jendela mobil, ia terkesiap. "Om, Om, berhenti Om. Ini rumahnya."

Herlan menyudahi perdebatan kecilnya. Dengan segera ia menekan rem, dan mobil pun seketika berhenti. Ia lantas menatap bangunan itu dengan seksama. "Ini bukannya rumah Pak Afdan?"

Shilla mengangguk. "Iya, Om. Itu Papa saya," ucap Shilla membenarkan. Gadis itu keluar dari mobil.

"Oh ... kamu anaknya Bu Zia?" tanya Karin sebelum melepas kepergian Shilla.

Shilla mengangguk. "Iya. Tante, Om, terima kasih udah nganter saya. Saya masuk dulu ya, Assalamu'alaikum."

Herlan dan Karin menjawab salamnya. Mereka terlihat berbincang. Shilla tidak tahu mereka sedang membicarakan apa.

Beberapa saat kemudian, mobil mereka melaju hingga hilang dari pandangan.

Gadis itu membalikkan badannya. Kakinya melangkah memasuki gerbang. Hujan sudah reda, namun tidak dengan senyum manisnya.

***

Shilla menyeruput teh manisnya. Usai hujan seperti ini, enaknya memang menikmati minuman hangat. Ditambah canda tawa dari keluarga dan obrolan kecil sebagai pelengkap. Baginya, itu sudah menunjukkan kalau bahagia memang sederhana.

"Ma, Pa, ternyata ada pasangan lain yang suka ribut kayak kalian lho, tadi Shilla pulangnya dianter sama mereka karena hujan gede."

"Mama sama Papa gak suka ribut, Shilla. Syukurlah, jadi kamu gak basah kuyup." Zia memasukkan bulatan bakso yang dibeli Shilla tadi ke mulutnya, lalu dikunyah santai.

Afdan menaruh cangkir kopinya di meja. "Yah, nasib kalo nikah sama yang seumuran emang kayak gini. Enggak ada yang mau mengalah, kalo enggak Papa."

Zia hanya mendengus sambil terus mengunyah. Setelah baksonya lembut, segera ia telan. Ia lantas bertanya pada anaknya, "Emang siapa, Shill?"

"Om Herlan sama Tante Karin. Mama kenal?"

"Ouh, Herlan? Dia itu mitra kerja Papa."

"Dan Karin temen arisan Mama," timpal Zia. "Dulu-"

"Ma ...." Afdan menghentikan ucapan istrinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah seperti itu. "Gak baik makan sambil ngomong," alibinya.

Saat Shilla akan protes dengan tindakan papanya yang memotong ucapan mama, di saat bersamaan ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Gadis itu segera meraihnya.

Assalamu'alaikum. Ini Shilla kan?

Pesan itu dari Dikka. Shilla mengernyit sejenak. Ini Dikka amnesia atau bagaimana sih?

Dia menggigit bibir bagian bawahnya lalu menjawab salam dalam hati. Kemudian membalasnya cepat: Ya, gue sendiri.

"Shilla, dari siapa?" Afdan bertanya.

"Bukan siapa-siapa. Ah, Shilla ke kamar duluan yah." Gadis itu cepat-cepat pamit. Sebelum beranjak ke kamar, ia mendaratkan ciuman di pipi kedua orangtuanya. "Pay, pay ... Mama, Papa ..

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang