"Jadi ... selama ini lo cuma anggap gue sebagai teman lo? Gak lebih?"
Gadis yang memakai baju rajut berwarna kuning cerah itu bertanya lirih. Ia menatap sosok pemuda tampan di depannya, kemudian menyeka air mata yang nyaris tumpah. Tina tak menyangka kalau keputusannya untuk mengungkapkan rasa yang selama ini sedikit membuatnya tak nyaman malah akan berujung kecewa.
Ia pikir, setelah mengungkapkan perasaannya pada Dikka secara gamblang dan terang-terangan akan membuat hatinya sedikit lega. Ternyata tidak, semuanya di luar harapan, ekspektasinya salah besar. Dan sekarang, yang hatinya rasakan bukanlah kelegaan, melainkan kekecewaan.
Sedari awal, harusnya ia tidak terlalu berharap. Berharap lebih pada pemuda itu memang sebuah kesalahan fatal. Sebab nyatanya, selama ini Dikka tidak tertarik padanya. Dikka tidak menyukainya. Dikka tidak mencintainya. Dikka hanya menganggapnya sebagai seorang teman, tidak lebih.
"Kalo aja lo gak ngasih gue harapan, gue gak mungkin berharap lebih, Kka."
"Gue gak pernah ngasih lo harapan, Na," ucap Dikka datar. Mencoba menyadarkan Tina.
"Iya ya? Lo bener, lo gak pernah kasih gue harapan. Guenya aja yang bego, terlalu kebaperan."
"Sorry, Na. Gue gak bermaksud kasih lo harapan ataupun menyakiti lo, sama sekali gak ada niatan kayak gitu. Lo cuma salah ngertiin sikap gue," tutur Dikka. Semua sikap manisnya pada Tina hanya sebuah tindakan biasa yang dilakukan terhadap sesama. Dan Tina salah mengartikan itu.
Tina tersenyum di balik lara. Ia mengedip-ngedipkan matanya agar bulir hangat itu sirna dan tidak menetes. Tak ingin menatap wajah Dikka yang hanya akan membuat dadanya berdegup sakit, Tina menatap sekitar. Masih ada beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di kantin ini.
Ia jadi menyesal sendiri. Menyesal telah menyimpan perasaan terhadap Dikka hingga perasaan itu tumbuh dan menjalar kuat. Menyesal telah menemui Dikka di kantin ini lalu menyatakan perasaannya. Ia benar-benar menyesal.
Lebih menyakitkan mana? Mencintai seseorang tetapi orang itu tidak mencintai kita, atau dicintai seseorang namun kita tidak mencintainya? Bagi Tina, tentu lebih menyakitkan opsi yang pertama.
Dengan lemas, Tina bangkit dari duduk. Menyampirkan tali tas selempangan kecil pada bahunya. Semuanya sudah cukup dan teramat jelas. Sampai di sini ia berbicara dengan Dikka, tak ingin lebih lama lagi. Tak ingin lebih sakit hati lagi.
"Gue duluan ya, Kka." Tina yang biasanya cerewet dan suka bicara panjang lebar kini hanya mampu mengucapkan kalimat itu. Kosa kata di kepalanya seakan habis.
Saat Tina berlalu Dikka sama sekali tidak mencegahnya. Tina menyempatkan diri untuk menengok ke belakang, menatap Dikka yang sedang mengusap wajahnya dengan pelan. Cowok itu sama sekali tidak melarangnya pergi, sebegitu tidak ada rasanyakah dia terhadap dirinya?
Kka, mungkin lo malah dengan senang hati mempersilakan gue untuk pergi dari hidup lo ya?
Haha, gue memang bodoh karena masih aja berharap sama lo.
***
Usai meninggalkan Dikka di kantin tadi, Tina langsung pergi ke taman belakang kampus untuk menemui Kalvin. Seperti biasa, Kalvin ada di sana, sedang mendengarkan musik dari earphone-nya. Gadis itu lantas menghampirinya kemudian bercerita tentang semua kejadian tadi pada Kalvin.
Meski Kalvin itu kalau bicara suka pedas dan menyakitkan hati, namun kalau ia curhat padanya itu sangat nyambung, enjoy, dan membuatnya nyaman. Berbeda dengan Ino, biarpun bijak dan dewasa, dia terkadang suka sensi sendiri kalau Tina bercerita tentang perasaannya. Kalau Aryo, dia tidak terlalu dekat dengan pemuda itu. Jadi, ia lebih sering curhat pada Kalvin.
Sejak Tina bercerita kalau dia mencintai Dikka, raut keterkejutan langsung ditampilkan Kalvin. Dia tidak menyangka kalau Tina ternyata mencintai Dikka. Gadis itu bahkan baru saja mengungkapkan perasaannya.
"Na ..." panggil Kalvin pelan, setelah cukup lama membiarkan Tina menangis di pundaknya. Ia tahu gadis manis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu sedang butuh sandaran.
Kalvin lalu mengembuskan napas. Mencoba menyemangati dia. "Masih banyak cowok yang lebih tampan dari Dikka."
Tanpa menatap sahabatnya, Tina berucap sambil terisak. "Gue cinta sama Dikka bukan karena wajah ataupun fisiknya, tapi karena akhlak dia yang baik, Vin."
Pemuda itu tersenyum. "Akhlak? Masih banyak cowok yang akhlaknya lebih baik dari Dikka, Na. Ya ... bukannya gue ngejelek-jelekin Dikka."
"Gue tahu, di luaran sana banyak yang lebih baik dari dia. Tapi gue sukanya sama dia, emang salah?" tanya Tina menangis.
"Gak ada yang salah. Lo bebas menyukai Dikka sesuka hati lo. Tapi untuk membalas rasa lo, gue yakin Dikka gak bisa."
Tina mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu Kalvin. "Kenapa?"
"Dia udah cinta sama seseorang, dan orang itu pastinya bukan lo."
"Te-terus s-siapa?" tanyanya gugup dengan sorot mata yang meminta jawaban, terlihat pula kilatan kecewa di sana.
"Maaf, Na. Gue gak berhak ngasih tahu. Itu privasi dia."
Tina mengusap air matanya. Ia hanya menghela napas panjang lalu mengembuskannya, berusaha menenangkan diri.
"Kayaknya gue udah tahu. Shilla 'kan?"
Bahunya Kalvin kedikkan. Ia lalu berucap, "Saat rasa lo yang gak berbalas membuat lo tersiksa, gue mau lo berhenti, jangan biarin diri lo terus tersiksa. Toh, buat apa ngejar yang gak pasti? Lo cuma perlu mengikhlaskan dan membuka hati untuk yang lain."
Gadis itu hanya mengulas senyum tipis, sekadar mengurangi rasa sakitnya. Bisakah ia melakukan seperti yang diomongkan Kalvin?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/110420113-288-k146233.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
EspiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...