🐢🐢🐢
Di bawah naungan langit biru yang menjulang tinggi tanpa tiang penyangga, dua gadis itu berjalan beriringan dengan segudang canda. Awan-awan yang berarak turut mengikuti langkah ceria mereka dari atas sana. Pepohonan lebat yang berbaris rapi pun seolah memayungi. Begitu lengkap dengan ditambah sepoi-sepoi angin sore yang membelai seluruh raga.
Pukul setengah lima sore, terik matahari tak terlalu menyengat lagi. Moment berjalan kaki untuk membeli camilan memang kerap dilakukan Alyna dan Shilla. Suasana yang asri, jarak rumah dengan pedagang kaki lima yang tak terlalu jauh, serta nikmat luar biasa berupa kesehatan merupakan alasan mereka berjalan kaki.
"Kira-kira kita mau beli apa ya, Lyn?" tanya Shilla melihat jejeran pedagang di pinggir jalan.
"M ... Apa ya? Ah, gimana kalau nasi goreng? Kasian Ita kelaperan."
"Oke, ide bagus. Yuk, kita beli ke sana."
"Bang, nasi goreng lima ya." Shilla memesan saat mereka tiba di penjual nasi goreng. Si Abang pun langsung membuat pesanan mereka, akhirnya ada pelanggan juga.
"Ohya, Shill. Gue waktu itu ketemu Dikka lho!" Alyna kini beralih topik pembicaraan. Dia tersenyum ceria.
Seketika, Shilla menautkan kedua alisnya. "Terus?"
Alyna jadi menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, senyumnya pun pudar dan berubah menjadi cengiran. "Gue ngasih tahu, Shill."
Shilla tertawa pelan melihatnya. "Ada-ada aja lo, Lyn."
"Neng, ini nasi gorengnya."
Pembicaraan mereka pun terhenti saat tukang nasi goreng ini mengintrupsi mereka.
"Oh, makasih. Ini uangnya." Shilla menerima pesanan mereka yang sudah jadi dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan pada abang itu.
🐢🐢🐢
Tengkuk leher Dikka menunduk, dagunya nyaris menyentuh pita suara. Kebiasaan cowok menawan itu memang memainkan ponselnya sembari berjalan. Entah dia sedang iseng membalasi pesan maupun komenan para penggemarnya di dunia maya ataupun meng-kepo-i sosmed Shilla-kebiasaan barunya akhir-akhir ini. Sudah sepuluh menit Dikka berjalan di kawasan pejalan kaki yang menuju rumah sahabatnya, Aryo.
Dari arah berlawanan, ada Shilla yang berjalan dengan kepala tertunduk dan tangan yang memegang bungkusan plastik lumayan besar. Tak jauh di belakangnya, tampak Alyna yang sedang sibuk memgoperasikan ponsel.
Saat jarak Dikka dan Shilla sangat dekat, Handphone mahal Dikka tiba-tiba jatuh. Tepat di depan flat shoes Shilla.
Gadis berwajah imut itu dengan refleks berhenti melangkah. Menatap benda persegi panjang berwarna hitam yang berjarak satu inci dari kakinya. Shilla sedikit mendongakkan kepala untuk menatap seseorang di depannya.
Deg! Dengan tubuh mematung, Dikka menatap wajah mungil di hadapannya. Mata mereka bertemu. Beradu di satu titik dan terperangkap sejenak. Rotasi bumi seolah terhenti, waktu yang berdetik seakan mati. Meski hanya kurang dari tiga detik mereka berpandangan karena gadis itu cepat-cepat menunduk, namun itu cukup menghadirkan desiran hangat di hati Dikka. Rasanya cenat-cenut tak menentu.
Tersadar, Shilla beristigfar dalam batin. Ia menundukkan pandangannya lalu berjongkok untuk mengambil ponsel pintar itu. Ia kemudian berdiri lagi dan menyodorkannya ke si pemilik. "Ini, Dik. Tadi jatoh."
Dikka masih terdiam. Membeku di tempat. Menatap lekat-lekat gadis yang selama ini bersemayam di otak dan pikirannya. Halusinasinya mungkin sudah melampaui batas, sampai-sampai menganggap ini Shilla sungguhan. Tidak, ini pasti hanya delusinya semata.
"Dikka!" Shilla melambai-lambaikan ponsel itu di wajah Dikka.
Alam sadar kini menarik Dikka. "Oh, iya." Cowok itu mendadak kikuk sendiri. Tidak seperti biasanya yang tampak cool dan cuek di depan para cewek.
"Kenapa sih? Gue aneh ya?" tanya Shilla lantas menatapi tubuhnya. Ia tidak tahu kenapa pemuda itu terus memandanginya dengan tatapan sedemikian lekat. "Apa muka gue kayak setan?" cecar Shilla. Kali ini Shilla memegang pipinya dengan ponsel berada di tangan.
"Eng-gak kok."
Shilla tersenyum geli. "Eh, ini ponselnya. Gue saranin, kalo jalan jangan main HP. Ngerugiin orang lain dan diri sendiri."
Berusaha bersikap biasa saja dan sekalem mungkin, Dikka lantas berterimakasih. "Thanks." Ia pun menerima uluran ponselnya. "Lo perhatian yah," gumam Dikka pelan.
"Hah? Apa?" tanya Shilla. Telinganya tadi mendengar gumaman yang tak jelas dari mulut pemuda itu.
"Ah, enggak-Eh, tangan lo gimana? Masih sakit? Gue harap udah sembuh," raut wajah Dikka mendadak berubah cemas. Ia masih ingat bagaimana derasnya darah yang mengalir dari telapak tangan Shilla hingga wajah cantiknya pucat pasi dan pingsan.
Shilla malah tertawa pelan. "Ha ha. Udah kok, dari kemarin-kemarin malah. Cuma tinggal bekasnya doang," jawab Shilla yang bikin hati Dikka melega.
"Hai, Kka!" Alyna menyapa Dikka dengan senyum cerianya.
"Hai, Lyn. Omong-omong, kalian barengan? Abis dari mana?"
"Dari sana, beli nasi goreng." Shilla sedikit menengok ke belakang lalu menatap Dikka lagi sambil mengangkat bungkusan tersebut dan memamerkannya.
"Lo mau, Kka?" tawar Alyna selanjutnya.
"Tapi beli sendiri." Shilla menyaut cepat sebelum Dikka menjawab.
"Yah, gak asik lo, Shill."
"Bodo, haha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritüelFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...