Sejak banyak tugas kuliah yang harus Dikka selesaikan, ia memilih untuk keluar dari pekerjaan yang hampir enam bulan ini digeluti. Tidak bisa dimungkiri, pemuda itu kewalahan sendiri dalam membagi waktu. Antara kuliah, mengerjakan tugas, kerja di bengkel, mengikuti pengajian umum, aktivitas di rumah, atau acara lainnya.
Semua itu terkadang bentrok. Tidak sesuai ekspektasi. Ia pikir segalanya akan berjalan normal, baik-baik saja. Namun, nyatanya tidak.
Jika dulu hobi yang menyita banyak waktunya adalah prioritas utama, namun sekarang tidak ada lagi yang harus dilebihutamakan. Karena semua unsur saat ini penting. Mulai dari hobi, pendidikan, ilmu umum maupun akhirat, hubungan keluarga, hingga event sosial. Semua sama-sama berharga, enggak ada yang lebih dominan.
Jalan satu-satunya agar waktu dia lebih banyak ya mengundurkan diri sebagai pegawai di bengkel milik Papa Aryo. Syukurnya, tidak ada kendala sama sekali atas keputusan finalnya itu. Papa Aryo pun memahami karena ia tahu betul bahwa anaknya juga sedang disibukkan oleh tugas akhir semester.
"Kamu beneran keluar dari bengkel?" Herlan membuka pembicaraan di ruang tamu yang hanya ada beliau dan Dikka. Nada bicaranya barusan membuat suasana malam jadi terasa serius.
Kini dipandangnya Dikka dengan tatapan lembut. Anaknya itu sedang mengetik keyboard laptop di pangkuan, jari-jarinya bergerak gesit. Manik bulatnya fokus menatap ke layar monitor. Pria paruh baya itu hanya terkekeh pelan melihat tampang serius Dikka.
"Ya." Dikka menjawab seadanya. "Dan nanti mungkin bakal sering main ke kantor Papa."
Herlan terkejut. "Ha? Beneran kamu mau main ke kantor Papa?" ulangnya, barangkali telinganya salah dengar. Selama ini Dikka selalu menolak jika diajak ke perusahaan, bahkan Dikka benar-benar tidak mau meneruskan bisnis keluarga kalau bukan dia yang memaksa.
"Iya, biar abis wisuda nanti gak kaget gimana caranya ngelola perusahaan."
Demi apa pun, Herlan begitu bahagia mendengarnya! Pria itu tersenyum lebar, mengangguk-anggukkan kepala.
"Papa senang 'kan?" enggak ada maksud apa pun dalam pertanyaannya ini.
"Ya, Papa senang karena kamu mau menuruti perintah Papa. Nanti saat kamu sudah punya anak, kamu bakalan merasakan sendiri gimana rasanya kalau anak kita selalu melawan. Enggak menuruti perintah orangtua. Malah selalu saja membangkang. Uh, rasanya ...." Herlan menggantung ucapannya, kelewat gereget.
Dikka menatap sendu papa. "Maaf, Pa ..." hanya dua kata itu yang mampu mewakili rasa bersalahnya saat ini.
Tersenyum, Herlan menepuk pundak anaknya pelan. Menguatkan dia. "Enggak apa-apa. Papa juga yang salah. Selama ini, Papa terlalu mengekang dan mengatur ini-itu yang enggak sesuai kemauan kamu."
"Tujuan Papa sebenarnya cuma agar kamu enggak terlibat pergaulan bebas dan gak buang-buang waktu dengan ngutak-atik mesin. Papa enggak pengen lihat kamu kerja berat dan kotor-koran. Apalagi, kerja di bengkel itu banyak risikonya. Dan Papa gak mau kamu kenapa-kenapa."
"Tetapi ... semakin Papa mengekang dan mengatur kamu, kamu malah semakin melanggar. Yah, seperti menggenggam pasir di telapak tangan. Semakin erat menggenggamnya, pasir itu malah semakin keluar dari celah-celah jari. Beberapa minggu belakangan, Papa berusaha biarin kamu, biarin hobi kamu, sesuai apa yang kamu mau, enggak melarang lagi. Dan syukurlah, dengan begitu kamu malah sadar sendiri. Ya, 'kan?"
"Ya," saut Dikka menghela pelan. Mata Dikka sekarang sudah berkaca-kaca. Jika sekali saja ia berkedip, mungkin air matanya akan jatuh menetes.
Pemuda itu tak ingin berlama-lama dalam suasana sedih seperti ini. Ia fokus kembali dengan pekerjaannya. Mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda paham dengan semua ucapan papa.
Cukup lama diam, Dikka lalu bertanya, "Papa tahu dari mana masalah ini?"
"Kamu pikir, Papa enggak perhatiin kamu? Papa tahu semuanya, Dikka. Bahkan sejak pertama kali kamu kerja di bengkel itu."
"Pantes, awal-awal Papa nyindir terus. Bilang, 'Mau ngelawan orangtua mentang-mentang bisa cari uang?'" Dikka menirukan suara papa yang memarahinya waktu itu.
Herlan tertawa kecil. Jika sudah begini, ia sangat menyesal telah memarahi anak semata wayangnya. Secepat kilat, ia beralih tema pembicaraan. "Gimana kuliahnya, Kka?"
"Baik-baik aja," jawab Dikka sekenanya. Tanpa beralih tatap.
"Kamu nyaman gak?" tanya beliau, sejenak mengusik aktivitas piawai Dikka dalam mengoperasikan laptopnya. Kali ini anaknya malah enjoy-enjoy saja meski diganggu. Biasanya, diusik sedikit saja Dikka langsung ... kalian bisa menyimpulkan sendiri.
"Nyaman? Ini tuh, pelajaran ... Pa, bukan hubungan."
Lagi-lagi Herlan tertawa kecil. Bisa-bisanya Dikka melawak. "Hahaha. Kamu ini, maksud Papa, kamu paham enggak sama pelajarannya, betah enggak, gitu."
Tanpa menoleh sedikit pun, Dikka tersenyum tipis. Sampai-sampai papa mungkin tidak menyadari senyumnya. "Heum, ya gitu. Namanya juga pelajaran. Kadang gampang, enggak jarang pula susah. Tergantung diri sendiri sih, ngadepinnya gimana. Belajar terus atau menyerah."
"Betul itu." Herlan menganggukkan kepala beberapa kali. "Intinya, enggak ada sesuatu yang sulit kalau belajar."
"Ih, kata siapa?" sanggah Dikka, menatap papanya sekilas. "Papa enggak tahu aja gimana pusingnya Dikka ngerjain semua tugas ini. Sulit banget."
Karin datang dengan membawa tiga gelas berisi jus jeruk di penampan. Ia menghampiri keluarga kecilnya. Menaruh minuman itu di meja. Lalu duduk di sisi kiri anaknya.
"Kamu sih, tugas dikerjain, bukannya diselesaiin. Emang tugasnya enggak marah apa dikerjain? Ih, kamu jahat banget."
Herlan tertawa, disusul tawa geli dari Karin, sedangkan Dikka hanya melongo.
"Omong-omong ... jam dua kemarin, Mas Kka ketemu siapa di taman kota?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
EspiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...