22. Misterius

1.7K 82 23
                                    

"SHILLAAA! LO PUNYA NOMOR DIKKA?!"

Teriakan maut milik Ita barusan menghancurkan suasana hati Shilla. Gadis yang sedang merangkai untaian kata sebagai luapan emosi galaunya kini menatap Ita kesal. Shilla segera bangkit dari kursi belajar kesayangannya. Ia lantas menghampiri Ita yang duduk di tepi ranjang sebelah kanan.

"Apa sih, Ta?" tanya Shilla berusaha sabar, berdiri di ranjang sisi kiri, dan menanti jawaban Ita.

Jangan marah-marah, Shilla. Astaghfirullah. Batinnya mengingatkan.

"Lo punya nomor Dikka sejak kapan??" Ita bertanya secara histeris.

Ia sibuk menyalin nomor pemuda itu di ponselnya. Kesempatan emas belum tentu datang dua kali, jadi harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Itu prinsip yang dipegang teguh oleh Ita.

Shilla menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan dengan malas. Ia kemudian duduk di kasur empuknya. Itu menghasilkan sedikit pergerakan kecil berupa pantulan.

"Gak tahu, lupa," jawabnya cuek.

"Ck." Gadis yang sering menginap di rumah Shilla saat malam Minggu seperti ini berdecak meremehkan atas minimnya ingatan Shilla.

"Pasti udah lama kan? Ah, kenapa lo gak ngasih tahu gue kalo lo punya nomor Dikka?! Lo tahu? Selama ini gue stalking sosmed Dikka, itu buat mantengin apa aja kegiatannya. Terutama buat dapat nomornya. Tapi gue gak dapet-dapet. Ah, Shilla .... Temen macem apa lo?" Ita uring-uringan sendiri.

Shilla melirik Ita jengah. "Rempong banget sih, Ta. Lo tinggal chatt dia aja, apa susahnya?"

"Setiap gue chat gak pernah dibales. Boro-boro dibales, dibaca aja enggak. Nyesek emang," curhat Ita mellow.

Malas. Pipinya Shilla kembungkan, udara yang terkandung lalu dikeluarkan cepat. "Mungkin dia lagi sibuk," ucapnya berusaha berpikir positif.

Dengan cuek, Ita mengabaikan ucapan Shilla. Sekarang gadis itu tengah memandangi ponsel sahabatnya dengan sorot penuh selidik.

Ita mulai membuka berbagai aplikasi yang terdapat di benda canggih itu. Mulai dari WA, line, messenger, hingga e-mail. Ia mengecek dan menelitinya satu per satu secara cermat. Kelakuannya sudah seperti detektif di animasi favoritnya saja.

"Ko, ggak ada nama Dikka? Lo samarin namanya ya?" tanya Ita kecewa. Ia hanya mendapati pesan dakwah berantai yang berfaedah-faedah semua. Ia hanya membacanya sekilas tadi.

"Gue gak pernah chat-an di aplikasi begituan."

"Nah, nah, ini. Di pesan, Dikka SMS!" pekik Ita heboh.

"Dikka SMS."

Ucapannya barusan, entah sebuah pertanyaan atau harapan. Shilla langsung menengok ke arah layar ponselnya. Di sana tertera beberapa pesan mereka berdua.

"A-na musy-ta-qun i-la-ik." Ita mengeja pesan terakhir dari Dikka layaknya anak SD yang baru belajar membaca. Di penghujung pesan, terlihat tanggal, tepat dua minggu yang lalu.

Shilla langsung merebut ponselnya dari genggaman Ita. Secepat kilat yang menyambar, ia langsung menghapusi pesan itu. Jantung Shilla berdebar keras setelah mendengar kalimat yang diucapkan Ita barusan.

Bukan ucapan Ita penyebabnya, namun karena kalimat itu dikirim oleh Dikka untuknya, seminggu yang lalu. Dan mungkin sekarang Shilla sedang merasakannya.

"Aduh ... ada apa sih? Berisik banget! Gue BAB aja gak bisa tenang!" Fika keluar dari kamar mandi. Gadis dengan tinggi semampai itu memegangi perutnya yang sedikit buncit, lebih terkesan meremas tepatnya.

***

Cowok yang memakai kaos putih polos serta celana jeans hitam panjang itu berjalan melewati ruang keluarga. Ia menyisir rambutnya dengan jari tangan. Wajahnya terlihat berseri-seri dengan ulasan senyum manis. Ditambah perawakan tegap sebagai penunjang ketampanannya.

"Dikka, mau ke mana?"

Pertanyaan papa membuat ia berhenti melangkah, diiringi senyum yang memudar. Wajahnya kini tampak datar. Dikka lantas menoleh ke samping. Mendapati kedua orangtuanya yang sedang duduk di sofa.

"Ke rumah Aryo." Dikka menjawab seperlunya.

Pemuda itu memang jarang berbicara, terlebih pada Herlan. Ia akan berbicara seperlunya saja. Tidak banyak membuang kata. Bahkan untuk sekadar basa-basi pun tak pernah.

"Mau hujan, jangan ke mana-mana." Herlan mencegah.

Ia menatap ke depan lagi. Tatapannya lurus. "Dari dulu, Papa emang selalu ngelarang apa yang Dikka suka. Selalu mengekang apa pun yang Dikka lakuin kalau itu gak sesuai dengan keinginan Papa."

Herlan mengernyit dengan ucapan yang dilontarkan Dikka barusan. Apa maksudnya?

"Mas Kka, kok ngomongnya gitu?" Karin bertanya. Bermaksud untuk menegur anaknya.

Sekarang Herlan mengerti apa tujuan Dikka berbicara demikian padanya. Dengan pelan, ia mengusap garis-garis lelah di wajah tampannya yang mulai menua. Sikap Dikka masih sama, hanya sedikit sekali perubahannya.

Pria itu memijit pelipisnya yang berdenyut pusing. Entah cara apa lagi yang harus ia lakukan untuk memperbaiki hubungan antara ayah dan anak. Kini, ditatapnya punggung tegap milik Dikka.

"Kka, kamu sekalinya berbicara sama Papa seperti itu. Barusan menyindir, ya?" tanya Herlan halus, mencoba untuk bersikap lebih manis.

Ia mengembuskan napas pelan. "Asal kamu sadar Kka, yang Papa lakuin selama ini, itu semata-mata demi kebaikan kamu. Untuk diri kamu sendiri. Bukan untuk Papa ataupun Mama."

"Memang percuma. Toh, Papa larang pun kamu pasti akan tetap melakukannya," tukas Herlan akhirnya.

Papa benar, ia memang akan tetap melakukan apa yang disukainya meski beliau melarang. Dikka akan tetap mengutak-atik mobil di bengkel, jadi tukang tambal ban dadakan saat ban motor ninjanya bocor, maupun jadi tukang servis mendadak saat mobilnya tiba-tiba mogok di jalan. Ia akan tetap melanggar larangan Herlan jika itu menyangkut dunia hobinya.

Dikka mengembuskan napas berat. Berharap sesak yang menghimpit dadanya jadi sedikit lega. Ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

"Ma, Dikka pamit. Assalamu'alaikum ...."

***

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang