Moment yang paling disukai Ita saat sekolah adalah ketika bel istirahat dan bel pulang sekolah berdering. Terutama saat guru ada rapat mendadak hingga pulang sekolah jadi dipercepat.
Wuih, dijamin Ita langsung jingkrak-jingkrak di atas meja! Bahkan jika bisa, ia mungkin akan guling-guling mengitari menara miring di kota Pisa, Italia. Atau mungkin meloncat-loncati julangan tinggi piramida di Mesir. Ah, moment keberuntungan itu sedang didambakan Ita sekarang.
"Ita, fokus ke depan."
Shilla menegur Ita saat teman sebangkunya itu sedari tadi hanya bersandar pada tembok sembari memandang ke atas. Menatapi lelangitan yang dipenuhi cicak putih. Mungkin ia sedang mengagumi kehebatan para cicak yang mampu menahan atap gedung. Sampai-sampai mengabaikan guru sejarah yang sedang menerangkan di depan.
"Gue tuh, lelah ... Shill. Diginiin terus."
Ita menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari tembok yang terdapat banyak semut. Mereka sedang mengamuk karena kawanan sebagiannya dipitesi oleh Ita tadi. Pelampiasan kebosanan dan kurang kerjaannya.
"Curhat?"
"Ish, Shilla. Gue lagi laper banget tahu! Tadi mau beli nasi kuning dua bungkus, tapi tinggal satu. Ya, meski gue gak suka diduain, tapi makan satu bungkus doang, mah, itu gak bikin gue kenyang."
Shilla geleng-geleng kepala. Sangat prihatin pada anak konda di dalam perut Ita yang kelaparan. Pulang masih lama, sekitar setengah jam lagi. Ibu dan anak itu agaknya harus menahan lapar selama 1.800 detik lagi.
"Baca surah Yasin gih, nanti lo kenyang."
"Tapi sayang," desah Ita lemas.
"Sayang apa?" tanya Shilla, kembali menatap guru yang sedang berceloteh mengenai pelajaran.
"Cie, lo panggil gue sayang."
"Eh, kampret!" Shilla mendaratkan pandangannya pada Ita lagi. Sial, ia berhasil dikerjain gadis somplak itu.
Ita cekikikan sendiri. "Gue gak hafal, Shill."
"Makan cilok mau?" tawar Shilla.
Mata Ita seketika berbinar. "Mana? Mana? Gue mau! Lumayan buat ganjel perut."
"Tuh," alis Shilla diarahkan pada Pak Jarwo, guru berumur setengah abad dengan kepala yang tengahnya botak. Mungkin karena sering memikirkan dan mengingat masa lalu rambutnya jadi rontok di tengah seperti itu.
"Itu ciloknya ...?" gumam Ita kecewa.
"Ada yang tahu berapa keajaiban dunia? Iya, kamu Ita, berapa?" tanya Pak Jarwo saat pandangannya tertuju pada Ita dan muridnya itu juga menatapnya.
Gadis itu tersentak. Ia gugup setengah hidup. Ita melirik Shilla yang berada di sampingnya. Agaknya tengah menahan semburan tawa.
"Ita, ayo, berapa? Masa gak tahu?" cecar Pak Jarwo.
Seisi kelas memandanginya. Termasuk Gatha, Fika, dan Alyna. Mereka menyimak dengan saksama.
Ita jadi makin kikuk. Otaknya berusahan mengingat-ngingat. Ia menggigit bibir bagian bawahnya untuk sedikit meredam gugup.
"Tu, tujuh?"
"Yap, benar. Sebutkan," pinta guru itu.
Perutnya kosong. Ita benar-benar tidak fokus. Semasa bodoh, ia menjawab asal saja.
"Tujuh keajaiban dunia: satu, Keajaiban bernapas. Dua, keajaiban berpikir. Tiga, keajaiban melihat. Empat, keajaiban mendengar. Lima, keajaiban berbicara. Enam, keajaiban mencium bau. Tujuh, keajaiban bergerak."
Guru tua itu tertegun. Muridnya yang satu itu cerdas sekali. Ia menyadarkannya arti sebuah keajaiban selama ini.
Tepuk tangan ia tunjukan pada Ita. Diikuti anak-anak yang lain. Shilla pun sama, ia terkagum-kagum dengan jawaban asal Ita yang ternyata luar biasa. Suasana ruangan mendadak riuh dengan tepuk tangan.
Sedangkan Ita hanya mematung, jawaban gue salah, kok pada tepuk tangan sih? Pikirnya bingung.
"Waw, kamu menyadarkan Bapak, Ta.
"Keajaiban dunia ternyata tidak harus dicari sampai ujung bumi ataupun keliling belahan benua. Tetapi, ada di sekitar kita. Bahkan ada di diri kita sendiri."
Memang, tak perlu jauh-jauh untuk melihat sebuah keajaiban. Banyak sekali keajaiban yang sudah melekat pada kita dan orang lain belum tentu memilikinya. Karunia luar biasa dari Allah SWT.
***
"Apakah sanggup?"
Penjelasan mengenai tugas tadi membuat sebagian besar mahasiswa mengeluh. Ingin rasanya protes, namun mana berani mereka menolak. Dosen di depan mereka termasuk dosen yang bertipe galak kronis. Padahal, hari ini mereka baru saja mengumpulkan tugas. Eh, dikasih tugas lagi.
"Sangguuup!" sorak mereka serempak. Terdengar nada terpaksa yang mendominasi.
"Kalau begitu, pertemuan hari ini saya akhiri. Saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Selamat sore."
Dikka menatap datar punggung si dosen yang menghilang di balik pintu. Ia mengusap wajah lesunya dengan pelan. Segera memasukkan buku bersampul merah marunnya ke dalam tas. Memasuki akhir semester, ia dibebani oleh tugas seabrek.
"Pulangnya bareng ya?"
Seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang sepunggung, sweater cokelat berlengan panjang, dan rok di atas lutut itu berdiri di depan kursi lipat Dikka.
Pemuda itu mendongak, menatap gadis cantik yang tinginya mungkin sealis dia. Cukup tinggi, padahal dia tidak memakai hak. Dikka menyampirkan tas gendongnya di bahu sebelah kanan seraya berdiri. Menatap gadis itu datar.
"Jalan kita 'kan searah, sama-sama Jalan Pramuka nomor dua. Gue tuh, tadi berangkatnya naik taksi, dan sekarang uang gue udah ludes. Sedangkan jarak kampus ke rumah itu berkilo-kilo meter, jauh banget. Jadi, gue nebeng lo, ya, Kka?"
Dikka melewati gadis itu. Tidak menghiraukan curhatannya yang merentet. Ia berjalan santai menuju pintu. Fisiknya terlalu capek untuk menghadapi gadis yang pindah jurusan seminggu lalu itu.
"Kka! Dikka!" Ia memanggil.
Sekali lagi, Dikka tetap tidak peduli.
"Gue pikir, gue bakal punya temen baru di jurusan ini." Ia memberenggut.
Punggung tegap yang naik turun dan semakin menjauh itu ditatapnya nanar. Entah mengapa, sebulir air tiba-tiba menyapa pipi putih bersihnya. Dikka adalah orang terbodoh karena telah mengabaikan gadis secantik dan sebaik dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...